Ungkap Presiden Intervensi Kasus E-KTP, Sahroni Pertanyakan Maksud Agus Rahardjo

Dhanis Iswara
Dhanis Iswara
Diperbarui 1 Desember 2023 16:34 WIB
Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni (Foto: Dhanis/MI)
Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni (Foto: Dhanis/MI)

Jakarta, MI - Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni, menanggapi pernyataan mantan Ketua KPK Agus Rahardjo soal Presiden Joko Widodo yang meminta kasus korupsi e-KTP yang dilakukan oleh Setya Novanto (Setnov) dihentikan.

Mendengar cerita tersebut, Sahroni justru mempertanyakan maksud Agus Rahardjo yang baru mengungkap peristiwa itu sekarang.

"Kenapa mesti sekarang Pak Agus mantan ketua KPK mengatakan hal yang dialaminya, kenapa? Dan why?," kata Sahroni kepada wartawan, Jumat (1/12).

Kata Sahroni, sebagai ketua KPK waktu itu seharusnya Agus mengungkapkannya. Bukan justru per hari ini yang sudah tak lagi menjabat sebagai penanggungjawab lembaga anti rasuah baru disampaikan. 

"Kalau dulu langsung disampaikan di muka umum kan lebih jelas, Pak Agus sebagai Ketua KPK bicara dengan Presiden tapi membocorkannya sekarang, what happen? Kita nggak paham apa maksudnya Pak Agus kok tiba-tiba bicara di muka umum hal demikian," ucap Sahroni.

Sahroni juga mengatakan, soal revisi UU KPK yang disinggung oleh Agus. Menurutnya, Jokowi tidak ada kaitannya dengan revisi UU KPK itu. Dan sebagai mantan ketua KPK, Agus semestinya prihatin dengan keadaannya saat ini. 

"Revisi UU KPK kan ada 9 fraksi dari dalamnya yang setuju atas perubahan tersebut, nggak ada kaitanya dengan Presiden. Pak Agus mestinya kasih semangat untuk KPK yang sudah prihatin, bukan jadinya bicara di muka umum tentang situasi yang belum tentu benar adanya," jelasnya. 

Diketahui, bahwa Setnov saat itu menjabat sebagai Ketua DPR RI dan Ketua Umum Partai Golkar, salah satu parpol pendukung Jokowi. Ia diumumkan menjadi tersangka oleh KPK pada 17 Juli 2017 lalu.

Sebelum mengungkapkan peristiwa itu, Agus menyampaikan permintaan maaf dan merasa semua hal harus jelas. “Saya pikir kan baru sekali ini saya mengungkapkannya di media yang kemudian ditonton orang banyak,” kata Agus.

“Saya terus terang, waktu kasus e-KTP saya dipanggil sendirian oleh presiden. Presiden pada waktu itu ditemani oleh Pak Pratikno (Menteri Sekretaris Negara),” sambung Agus.

Saat itu, Agus merasa heran karena biasanya presiden memanggil lima pimpinan KPK sekaligus. Namun, kala itu dipanggil seorang diri. Ia juga diminta masuk ke Istana tidak melalui ruang wartawan melainkan jalur masjid. 

Ketika memasuki ruang pertemuan, Agus mendapati Jokowi sudah marah. Ia pun heran dan tidak mengerti maksud Jokowi. Setelah duduk ia baru memahami bahwa Jokowi meminta kasus yang menjerat Setnov disetop KPK. 

“Presiden sudah marah menginginkan, karena baru masuk itu beliau sudah ngomong, ‘hentikan!’. Kan saya heran, yang dihentikan apanya? Setelah saya duduk ternyata saya baru tahu kalau yang (Jokowi) suruh hentikan itu adalah kasusnya Pak Setnov,” beber Agus.

Namun, Agus menolak perintah Jokowi. Sebab, Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (Sprindik) kasus E-KTP dengan dengan tersangka Setnov sudah terbit tiga minggu sebelumnya. 

Sementara, saat itu dalam aturan hukum di KPK tidak ada mekanisme Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). “Saya bicara apa adanya saja bahwa Sprindik sudah saya keluarkan tiga minggu yang lalu di KPK itu enggak ada SP3, enggak mungkin saya memberhentikan itu,” kata Agus. 

Merespons itu, Jokowi kemudian bertanya kepada Pratikno mengenai apa itu Sprindik. “Sprindik itu apa to?” ucap Agus menirukan Jokowi. 

Pertemuan itu tidak menghasilkan apa-apa karena Agus menolak perintah itu. Agus melanjutkan, beberapa waktu setelah kejadian itu, Undang-Undang KPK direvisi. Ketika masa revisi, lembaga antirasuah diserang buzzer dan dituding jadi sarang taliban atau radikalis. 

Hal itu membuat dukungan ke KPK begitu kurang. Setelah direvisi, KPK memiliki mekanisme SP3. 

Agus pun merenungkan dan menduga revisi UU KPK tidak terlepas karena keinginan penguasa mengendalikan lembaga tersebut. “Itu salah satu yang setelah kejadian revisi UU KPK kemudian menjadi perenungan saya, oh ternyata (penguasa) pengin KPK itu bisa diperintah-perintah,” jelas Agus. 

Adapun E-KTP merupakan salah satu megaproyek yang dikorupsi rama-ramai. Berdasarkan perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), negara rugi Rp 2,3 triliun. Setya Novanto pun akhirnya divonis 15 tahun penjara dalam kasus korupsi E-KTP itu. (DI/LA)