Polemik Revisi UU KPK Jelang Pemilu 2024

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 1 Desember 2023 16:58 WIB
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (Foto: MI/Aswan)
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (Foto: MI/Aswan)
Jakarta, MI - Polemik Revisi Undang-Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menguak menjelang pemilihan umum (Pemilu) 2024.

Ini lantaran mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Raharjo buka suara, bahwasanya ia menilai komitmen Presiden Joko Widodo alias Jokowi dalam pemberatasan korupsi di periode kedua menurun.  Diketahui, revisi UU KPK dilakukan pada tahun 2019 lalu. 

Koordinator Staf Presiden Ari Dwipayan menegaskan bahwa revisi UU KPK itu atas inisiatif DPR bukan oleh pemerintah.

"Revisi UU KPK itu inisiatif DPR pada tahun 2019 bukan inisiatif dari pemerintah," kata Ari saat jumpa pers di Istana Kepersidenan, Jumat (1/12).

Presiden Jokowi saat itu sepakat penguatan KPK baik dari pemerintah, DPR maupun masyarakat terus dijalankan agar lembaga yang didirikan tahun 2022 itu dapat menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik, dalam penindakan maupun pencegahan korupsi. 

Pada saat itu juga, KPK tengah mengusut kasus dugaan korupsi E-KTP yang menyeret mantan polikus Partai Golongan Karya (Golkar) Setya Novanto.

Dan disaat itu pula Jokowi mendorong proses hukum kasus korupsi pengadaan KTP elektronik (KTP-el) dapat berjalan dengan baik.  Kasus ini terjadi pada tahun 2017 lalu.

Agus Raharjo yang merupakan Ketua KPK untuk periode tahun 2015 sampai dengan tahun 2019 mengaku sempat dimarahi Presiden Jokowi terkait kasus korupsi megaproyek KTP Elektronik ini.

Agus mengaku dipanggil menghadap Jokowi. Namun yang membuatnya heran ia dipanggil sendiri tanpa empat komisioner KPK lainnya. "Di sana begitu saya masuk, presiden sudah marah. Karena baru saya masuk, beliau sudah teriak 'Hentikan'," ujar Agus  Kamis (30/11) malam.

Namun akhirnya Agus mengerti, maksud Jokowi adalah agar dirinya dapat menghentikan kasus E-KTP yang menjerat mantan Ketua DPR RI Setya Novanto (Setnov).

"Setelah saya duduk, ternyata saya baru tahu kalau yang suruh hentikan itu adalah kasus Pak Setnov, ketua DPR pada waktu itu, mempunyai kasus KTP-el supaya tidak diteruskan," ungkap Agus. 

Namun, Agus mengaku tak menuruti perintah Jokowi untuk menghentikan pengusutan kasus tersebut, mengingat Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) telah diterbitkan.

"Saya bicara apa adanya saja bahwa sprindik sudah saya keluarkan 3 minggu yang lalu, saat itu di KPK tidak ada SP3, tidak mungkin saya memberhentikan itu," ungkap Agus.

"Karena tugas di KPK seperti itu, makanya kemudian tidak saya perhatikan, saya jalan terus," timpalnya. 

Kini Agus menyadari imbas dari penolakan perintah Presiden Jokowi untuk menghentikan pengembangan kasus korupsi pengadaan KTP Elekronik berujung pada pelemahan KPK.

KPK yang sebelumnya tidak memiliki aturan penerbitan surat perintah penghentian penyidikan atau SP3 dalam Revisi UU KPK aturan tersebut dicantumkan. 

Soal revisi UU KPK tersebut, baru-baru ini disinggung oleh Ketua KPK sementara Nawawi Pomolango yang menggantikan Firli Bahuri karena tersangka kasus dugaan pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL).

Nawawi setuju dengan rencana revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Akan tetapi revisi ini disebut Nawawi tidak harus dilakukan seluruhnya. 

Untuk revisi mengenai poin koordinasi KPK ke Kejagung dalam penuntutan, Nawawi menolaknya. Koordinasi penuntutan ini, kata Nawawi, membuat posisi KPK tidak independen. 

Selain itu, menurut Nawawi, UU KPK tak memberi peluang untuk menghentikan perkara alias tanpa kewenangan penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).  Sehingga status tersangka bisa dijabat seumur hidup. 

"Kalau you cari orang punya salah jangan gantung orang sampai mati. Dia terus tersangka tapi dia punya anak istri dan jabatannya," tegasnya.

Wacana Revisi UU KPK Sudah Lama

Waketum PPP, Arsul Sani, membantah Agus soal kaitan revisi UU KPK buntut kasus E-KTP yang melibatkan mantan Ketua DPR Setya Novanto itu.

"Saya tentu tidak tahu soal kebenaran pertemuan antara Presiden Jokowi dan Agus Rahardjo sebagai Ketua KPK saat itu," ujar Arsul Sani, Jum'at (1/12).

"Tapi kalau benar kejadian Presiden marah karena Setnov ditersangkakan dan kemudian dikaitkan hal itu menjadi titik tolak revisi UU KPK menurut saya tidak demikian faktanya," sambung Anggota DPR periode 2014-2019 ini.

Arsul menjelaskan naskah akademik dari RUU KPK bermula di Badan Legislasi (Baleg) DPR.  Menurutnya, wacana merevisi UU KPK sudah berjalan sejak lama, sebelum pemerintahan Jokowi, yakni era Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Revisi UU KPK itu inisiatif DPR, bukan inisiatif Presiden atau Pemerintah. Naskah akademik dan RUU-nya datang dari Baleg DPR periode lalu.

"Di DPR sendiri soal wacana revisi UU KPK itu sudah lama, bahkan sebelum Jokowi menjabat Presiden saya juga dapat draf RUU perubahan UU KPK yang diinfokan kepada saya sebagai anggota Baleg pada waktu itu, disusun pada zaman Pemerintahan SBY," katanya.

"Saya tidak tahu persis siapa timnya, tetapi diinfo bahwa Kemenkumham pada waktu itu juga turut menyusun. Cuma kepastiannya ya harus ditanyakan kepada teman-teman di Kemenkumham," sambungya.

Anggota DPR Fraksi PPP yang sempat bertugas di Komisi III DPR periode 2014-2019 dan 2019-2024 ini juga menyebut diskursus menambah kewenangan KPK untuk menerbitkan SP3 (Surat perintah Penghentian Penyidikan) telah muncul sebelum kasus E-KTP.

"Termasuk soal kewenangan menerbitkan SP3 itu sudah menjadi diskursus sejak lama sebelum ada kasus e-KTP," katanya.

"Sejak awal saya masuk di Komisi III DPR hasil Pemilu 2014, maka soal keinginan KPK itu juga bisa terbitkan SP3 memang sudah diaspirasikan juga dan disampaikan kepada kami di Komisi III DPR," tambah Arsul.

Sebagai catatan, bahwa saat ini KPK diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 

KPK adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebelumnya muncul karena kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dirasakan kurang efektif, lemahnya koordinasi antar lini penegak hukum, terjadinya pelanggaran kode etik oleh pimpinan dan staf Komisi Pemberantasan Korupsi.

Serta adanya masalah dalam pelaksanaan tugas dan wewenang, yakni adanya pelaksanaan tugas dan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi yang berbeda dengan ketentuan hukum acara pidana.

Lalu, kelemahan koordinasi dengan sesama aparat penegak hukum, problem Penyadapan, pengelolaan penyidik dan penyelidik yang kurang terkoordinasi, terjadi tumpang tindih kewenangan dengan berbagai instansi penegak hukum.

Serta kelemahan belum adanya lembaga pengawas yang mampu mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi, sehingga memungkinkan terdapat cela dan kurang akuntabelnya pelaksanaan tugas dan kewenangan pemberantasan tindak pidana korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

Untuk itu dilakukan pembaruan hukum agar pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi berjalan secara efektif dan terpadu sehingga dapat mencegah dan mengurangi kerugian negara yang terus bertambah akibat tindak pidana korupsi. 

Penguatan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kegiatan pencegahan bukan berarti kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi diabaikan. 

Justru adanya penguatan tersebut dimaksudkan agar kegiatan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, semakin baik dan komprehensif. 

Pembaruan hukum juga dilakukan dengan menata kelembagaan Komisi Pemberantasan Korupsi dan penguatan tindakan pencegahan sehingga timbul kesadaran kepada penyelenggara negara dan masyarakat untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi yang dapat merugikan keuangan negara.

Adapun penataan kembali kelembagaan Komisi Pemberantasan Korupsi dilaksanakan sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017. Di mana dinyatakan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan bagian dari cabang kekuasaan pemerintahan. (Wan)