Agus Rahardjo Tolak Perintah Jokowi Setop Kasus Korupsi e-KTP, Pakar Hukum: Harus Dicontoh!

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 2 Desember 2023 21:27 WIB
Pakar Hukum Pidana, Abdul Fickar Hadjar (Foto: Dok MI)
Pakar Hukum Pidana, Abdul Fickar Hadjar (Foto: Dok MI)
Jakarta, MI - Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo, melayangkan tuduhan yang serius dengan mengaku bertemu dan mendapat perintah Presiden Joko Widodo atau Jokowi agar menghentikan kasus dugaan korupsi pengadadaan e-KTP yang menyeret Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat itu, Setya Novanto (Setnov).
Namun Ketua KPK periode 2015-2019 itu menolaknya, hingga ia mengklaim dimarahi Presiden Jokowi.

Kendati, uduhan ini dibantah pihak Istana. Koordinator Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana mengatakan, “Setelah dicek, tidak ada pertemuan yang disebut-sebut dalam agenda presiden”.

Meski begitu, pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai sikap Agus tersebut harus dapat dicontoh oleh arapat penegak hukum (APH)lainnya.

"Ya Agus sudah tegas, menolak permintaan presiden menghentikan kasus Setnov dan nyatanya perkaranya jalan terus. Karena itu permintaan presiden baik sebagai kepala eksekutif maupun kepala negara sudah ditolak oleh Agus pada saat itu. Karena memang nyatanya kasusnya lanjut sampai Setnov dihukum," ujar Abdul Fickar Hadjar saat dihubungi Monitorindonesia.com, Sabtu (2/12) malam.

Begitu disapa lagi, Abdul Fickar Hadjar memandang dari perspektif politis, bahwa hal ini sesuatu yang bisa dipahami seorang Presiden meminta dihentikan perkara seorang ketua DPR yang diproses korupsi oleh KPK, tetapi KPK tetap tegas dan Presiden tidak melakukan upaya lain untuk permintaan itu.  

Itu artinya, menurut guru besar hukum pidana ini, memang dibutuhkan ketegasan seorang penegak hukum atau Ketua KPK untuk menolak intervensi siapapun termasuk dari Presiden sebagai kepala negara, dan itu sudah dilakukan oleh Agus.

"Artinya keteguhan Agus ini bisa menjadi contoh, pelajaran dalam menerapkan sikap independen dan kemandirian sebagai penegak hukum," ungkap Abdul Fickar Hadjar.  

Di lain pihak, tambah dia, kecenderungan eksekutif atau Presiden ikut campur dan intervensi pada kekuasaan kehakiman tetap akan terus terjadi pada setiap rezim penerintahan ke depan.  "Maka dari itu dubutuhkan orang-orang yang teguh dan tidak berpolitik untuk memegang jabatan-jabatan penting penegakan hukum sekalipun ada di bawah eksekutif," pungkasnya.

Diberitakan, Agus Raharjo mengaku menghadap Jokowi saat kasus ini bergulir. Ketika itu, Agus merasa heran karena hanya dirinya yang dipanggil Jokowi untuk menghadap di Istana Negara. Dalam pertemuan tersebut Jokowi didampingi Menteri Sekretariat Negara (Mensesneg) Pratikno.

"Waktu kasus E-KTP saya dipanggil sendirian oleh Presiden. Saya heran biasanya manggil berlima, kok ini sendirian, dan dipanggilnya juga bukan lewat ruang wartawan. Begitu saya masuk, presiden sudah marah. Karena baru saya masuk, beliau sudah teriak 'Hentikan'," cerita Agus dalam wawancara pada Kamis (30/11).

Agus juga mengaku sempat merasa bingung maksud kata 'hentikan' yang diucapkan Jokowi. Namun kemudian Agus mengerti bahwa maksud Jokowi adalah agar dia dapat menghentikan kasus e-KTP yang menjerat Setnov.

"Saya heran yang dihentikan apanya. Setelah saya duduk, saya baru tahu kalau yang suruh hentikan adalah kasus Setnov, ketua DPR waktu itu, mempunyai kasus E-KTP," kata  Agus.

Namun Agus mengaku tak menuruti perintah Jokowi untuk menghentikan pengusutan kasus Setnov mengingat Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) telah diterbitkan 3 minggu sebelumnya.

"Saya bicara (ke Presiden) apa adanya saja bahwa sprindik sudah saya keluarkan tiga minggu yang lalu, di KPK itu enggak ada SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan), enggak mungkin saya memberhentikan itu," katanya. (LA)