Habis Pegawai Pungli, Terbitlah Jaksa Peras: KPK Teledor, Perlu Di-instal Ulang

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 30 Maret 2024 09:52 WIB
Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK (Foto: Dok MI)
Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Habis dugaan pungutan liar (pungli) di rumah tahanan negara (Rutan) menyeret puluhan pegawai, terbitlah Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diduga melakukan pemerasan terhadap saksi dan tersangka kasus dugaan korupsi. 

Menurut pengamat, lembaga antirasuah itu sudah teledor. Selain teledor, KPK juga dinilai telah menelantarkan dugaan pemerasan itu. Maka perlu di "instal ulang".

Pasalnya, Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) menyatakan bahwa mestinya melaui Dewan Pengawas KPK bisa ditangani. Malah dilemparkan ke Pimpinan KPK. Kemudian pimpinan KPK juga belum bertindak apa-apa, diduga orangnya pulang ke instansi asal.

"Kalau sudah kembali ke instansi asalnya, kalau bener oknumnya Jaksa, berdasarkan UU Kejaksaan, untuk pemeriksaan Jaksa, harus izin tertulis dari Jaksa Agung, kalau masih di KPK kan bisa ditangani saat itu juga," ujar Boyamin saat dikonfirmasi Monitorindonesia.com, Sabtu (30/3/2024).

Boyamin menilai kesalahan awal ada di Dewas KPK yang tidak menggelar sidang etik terhadap oknum tersebut. "Kita menyayangkan sikap Dewan Pengawas KPK yang menelantarkan perkara ini. Mestinya bisa ditangani tapi tidak ditangani, malah dilemparkan ke Pimpinan KPK. Kemudian pimpinan KPK juga belum bertindak apa-apa," katanya.

Lantas Boyamin menyinggung soal pengakuan pelaku makelar Kasus di Mahkamah Agung (MA) Dadan Tri Yudianto. Dadan pernah mengatakan dimintai uang enam juta dolar Amerika Serikat (AS).

"Dewan Pengawas dan pimpinan KPK sama teledornya, tidak bertindak cepat dalam kasus isu lain, Dadan Tri Yudianto, dalam pledoinya mengatakan pernah diminta uang enam juta dolar, gegara tak mau akhirnya jadi tersangka. Harusnya kan didalami ini (yang minta uang) siapa," katanya.

Melihat di dua kasus tersebut Boyamin mengatakan KPK tak gerak cepat mengatasi adanya dugaan korupsi tersebut. Seharusnya, kasus tersebut segera disidangkan.

"Baik Dewan Pengawas maupun KPK tak gerak cepat, Gercep, dalam isu dugaan permintaan uang terhadap saksi maupun calon tersangka ini. KPK harus gerak cepat untuk menuntaskan, dan menyeret ke pengadilan atas dugaan tindak pidana korupsi," katanya.

Sementara itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) mengatakan menyebut KPK dan Dewas lambat dalam menangani aduan jaksa memeras saksi. ICW meminta agar KPK tak menutup-nutupi kasus tersebut.

"Bagaimana tidak, aduan itu telah disampaikan akhir tahun 2023, namun hingga saat ini belum ada tindak lanjutnya. Ditambah dengan pernyataan dari Pimpinan KPK, Nurul Ghufron, yang malah menyebutkan tidak tahu menahu mengenai aduan itu," kata Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana, Jumat (19/3/2024).

ICW meminta agar KPK segera menyelesaikan kasus tersebut. Jangan sampai kasus itu ditutup-tutupi oleh KPK. "Kami mendorong agar Pimpinan KPK segera memanggil jajaran Direktorat Penyelidikan KPK untuk menanyakan perkembangan penanganan perkaranya".

"Bila ada indikasi ingin mengendapkan atau menutup-nutupi aduan tersebut, maka Direktorat Penyelidikan KPK harus dievaluasi menyeluruh," katanya.

Dia ingin agar Jaksa bersikap kooperatif membongkar kasus tersebut. Jangan ada sikap saling melindungi antar Jaksa dalam kasus itu. "Bila aduan ini benar dan terbukti secara etik maupun pidana, kami berharap rekan-rekan jaksa yang lain bertindak kooperatif dengan membantu membongkar skandal tersebut. Jangan ada tindakan saling menutupi atau melindungi kesalahan antar rekan sejawat," katanya.

Jika kasus Jaksa peras saksi ini terbukti, ICW memberi catatan seluruh jajaran penindakan KPK terlibat praktik korupsi. Kondisi ini menjadi PR bagi Ketua KPK Sementara.

"Sekali lagi, bila aduan ini benar, maka lengkap sudah struktur jajaran penindakan terlibat praktik korupsi, mulai dari penyidik (Robin Pattuju), teradu Jaksa, dan Pimpinan KPK (Firli Bahuri)," katanya.

"Bagi kami, ini waktu yang tepat bagi Ketua KPK sementara, Nawawi Pomolango, untuk mereformasi total jajaran struktural penindakan KPK," imbuhnya.

Adapun Dewas KPK juga telah membenarkan adanya pengaduan dugaan pemerasan. Diduga pemerasan itu dilakukan oleh jaksa KPK yang memeras saksi sebesar Rp 3 miliar.

Dewas KPK menyebut aduan itu sudah diteruskan ke Deputi Penindakan dan Deputi Pencegahan KPK.

"Benar Dewas menerima pengaduan dimaksud dan setelah diproses sesuai POB di Dewas sudah diteruskan dengan Nota Dinas tanggal 6 Desember 2023, ke Deputi Penindakan dan Deputi Pencegahan untuk ditindaklanjuti sesuai kewenangan dan peraturan yang berlaku, dengan tembusan ke pimpinan KPK," kata anggota Dewas KPK Albertina Ho kepada wartawan, Jumat (29/3).

KPK Perlu Di-instal Ulang

Puluhan pegawai KPK terlibat dalam skandal pungutan liar di rumah tahanan negara (Rutan) sendiri. Hal ini membuat sks penyidik dan mantan ketua Wadah Pegawai KPK, Yudi Purnomo Harahap, terkejut. Menurut dia, jumlah tersebut sangat banyak dan turut merusak integritas, sistem dan kebersihan KPK.

Kata dia, kejadian ini menunjukan bahwa benar teori ikan busuk dari kepala. Setelah sebelumnya ketua KPK 2019-2023 Firli Bahuri juga terbukti melanggar etik berat dan menjadi tersangka kasus korupsi terkait Kementerian Pertanian.

“Tentu ironis sekali apa yang terjadi di tubuh KPK ini,” kata Yudi bulan lalu.

Pun dia berharap Dewas dan KPK dapat bersikap tegas dan jernih dalam menindak kasus tersebut. Sebab, menurut Yudi seharusnya KPK memiliki “zero tolerance” terhadap praktik korupsi, bukan malah terlibat melakukannya. 

“Bagi saya, yang penting ungkap semua. Jangan ditutupi. Yang salah dihukum agar efek jera dan pecat agar tidak meracuni yang lain,” ujar Yudi.

Sementara itu, Peneliti Pusat Kajian Anti-Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (PUKAT UGM), Zaenur Rohman, hal ini menunjukkan bahwa KPK sudah “hancur dari berbagai sisi”, mulai dari kepimpinan hingga pengawasan yang lemah.

“Dari sisi internal terjadi pengeroposan nilai integritas karena pimpinan KPK itu sendiri yang memberi contoh buruk. Dari sisi dasar hukum, KPK-nya sendiri bukan lembaga negara yang independensinya tinggi berdasarkan UU No. 19 2019, dari revisi Undang-Undang KPK,” kata Zaenur belum lama ini.

Oleh karena itu, menurut Zaenur KPK perlu “di-install ulang” dengan memecat para pegawai dan pimpinan yang terbukti melakukan pelanggaran serta melakukan review terhadap sistem yang ada.

“Kalau dulu KPK terkenal sangat kuat di dalam menjunjung nilai integritas, bahkan air putih saja ditolak kalau itu diberikan oleh pihak-pihak yang ada kaitannya dengan tugas KPK.

“Sekarang jangankan menolak air putih, bahkan keluarga dari tahanan pun dipungli, ini artinya sudah sangat jauh berbeda antara KPK dulu yang dibangun di atas nilai-nilai integritas,” ujarnya.

Ia khawatir bahwa jika terus dibiarkan, kepercayaan publik terhadap lembaga antirasuah itu akan semakin jatuh. Tanpa adanya kepercayaan publik, KPK akan sulit melakukan pemberantasan dan pencegahan korupsi yang efektif.

Berdasarkan hasil survei Centre for Strategic and Internasional Studies (CSIS) pada akhir Desember 2023, tingkat kepercayaan publik terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terendah kedua di antara beberapa lembaga negara.

Posisi lembaga antikorupsi ini berada sedikit di atas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan angka 58,8%.

“Karena pemberantasan tidak selalu dalam arti penindakan, tapi juga dalam arti pencegahan. Itulah karena tidak ada keteladanan, susah untuk memasarkan nilai-nilai integritas,” ungkap Zaenur.

Internal KPK Sudah Sangat Lemah

Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, mengatakan bahwa selama periode kepemimpinan Firli Bahuri, telah terjadi setidaknya tujuh pelanggaran, baik di tingkat pimpinan maupun pegawai. Hal ini, menurut Kurnia, menunjukkan bahwa sistem pengawasan internal KPK sudah sangat lemah.

“Maka periode kepemimpinan komisioner KPK 2019-2024 ini menjadi yang terbanyak dan dulu kalau kita melihat belum ada Dewan Pengawas,” kata Kurnia belum lama ini.

Ia menilai pokok masalah berada pada revisi UU KPK, yakni UU No. 19 tahun 2019, yang sebelumnya mengatakan pengawasan KPK merupakan tugas Deputi Pengawas Internal dan pengaduan masyarakat.

“Bahkan, sudah ada dua instrumen pengawas, justru lebih buruk ketimbang yang dulu. Jadi ini menandakan ada permasalahan yang juga sudah kita sampaikan sebelumnya,” katanya.

Oleh karena itu, ia menyarankan agar pimpinan KPK berfokus pada pembenahan internal, yakni perbaikan tata kelola kelembagaan KPK serta merevisi UU KPK dan mengembalikannya seperti semula agar KPK dapat bekerja secara independen.

“Masyarakat tentu tidak akan lagi menaruh kepercayaan pada lembaga KPK khususnya dalam aspek penegakan hukum. Karena dalam periode saat ini justru terjadi jual-beli pengaruh yang sudah ditunjukan secara terang-berderang,” kata Kurnia

Berikut daftar pelanggaran etik nilai integritas berdasarkan hasil riset ICW dalam periode 2020-2023:

  1. Pengawal Tahanan KPK Inisial “TK“: Menerima gratifikasi dari tahanan KPK (2020).
  2. Penyidik KPK Robin Pattuju: Berhubungan dengan pihak berperkara dan menerima suap (2021).
  3. Pimpinan KPK Lili Pintauli Siregar: Berhubungan dengan pihak berperkara dan disinyalir menerima suap atau gratifikasi dari BUMN (2021).
  4. Pegawai KPK Inisial “IGAS“: Mencuri barang sitaan berupa emas seberat 1,9 kilogram (2021).
  5. Pegawai KPK Novel Aslen: Korupsi uang perjalanan dinas KPK (2023).
  6. Pegawai Rutan KPK Mustarsidin: Perbuatan asusila dengan istri tahanan KPK (2023).
  7. Pimpinan KPK Firli Bahuri: Berhubungan dengan pihak berperkara dan diduga menerima suap/gratifikasi serta melakukan pemerasan (2023).