Pengandaian Romo Magnis "Presiden Mirip Pemimpin Mafia"

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 3 April 2024 02:32 WIB
Romo Magnis saat menjadi ahli di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (2/4/2024).
Romo Magnis saat menjadi ahli di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (2/4/2024).

MAHKAMAH KONSTITUSI (MK) kembali menggelar sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) presiden dan wakil presiden tahun 2024 pada Selasa (2/4/2024) kemarin.

Sidang Perkara Nomor 2/PHPU.PRES-XXII/2024 digelar dengan agenda pembuktian pemohon dengan mendengarkan keterangan ahli dan saksi dan pengesahan alat bukti tambahan dari paslon 03.

Profesor Filsafat STF Driyakara, Franz Magnis Suseno atau Romo Magnis, salah satu ahli yang dihadirkan dalam sidang menyampaikan bagaimana peran Presiden menggunakan kekuasan demi keuntungan sendiri dan keluarganya.

Romo Magnis menyampaikan sejumlah unsur-unsur yang bila itu benar terjadi, merupakan pelanggaran etika yang serius dan itu memiliki implikasi. Dalam awal pemyampaiannya, Romo Magnis kemudian menyampaikan soal etika yang merupakan ajaran tentang baik dan tidak baik, sebagai kualitas manusia sebagai manusia.

“Etika membedakan manusia dari binatang. Binatang hanya mengikuti naluri-naluri alamiah, tetapi manusia sadar bahwa naluriah hanya boleh diikuti apabila baik dan bukan tidak baik,” kata Romo Magnis ditukil Monitorindonesia.com dari YouTube Mahkamah Konstitusi RI, Rabu (3/4/2024).

Menurutnya, apakah manusia itu baik atau tidak baik, itu dapat diukur apakah dia hidup secara etis atau tidak. Kemudian yang kedua terkait masalah hukum. Menurutnya, tuntutan-tuntutan paling dasar sejak ribuan tahun, dituangkan manusi di dalam ketentuan-ketentuan hukum.

“Tidak memperhatikan hukum yang berlaku, dengan sendirinya merupakan pelanggaran etika. Saya tidak masalah konsensus objek,” katanya. 

Sementara etika dan hukum, agar manusia dinilai secara etis, tidak cukup melanggar hukum. Etika justru menuntut lebih. Keempat dibahas Romo Magnis soal etika dan penguasa. Tentu berlaku untuk seorang Presiden. Tidak cukup hanya tidak melanggar hukum, Presiden dituntut lebih.

Bahwa Presiden tak hanya harus melanggar hukum, tapi juga dituntut lebih dengan yang berkaitan dengan etika. Karena memiliki kekuasaan, harus bertanggungjawab atas keselematan seluruh bangsa.

Disampaikan kembali, bahwa Presiden harus menjadi milik semua. Tidak hanya sebagi milik mereka yang memilih.  Meski dari partai, setelah menjadi Presiden, seluruh tindakannya harus dilaksanakan untuk keselamatan seluruh rakyat. 

“Memakai kekuasaan untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu membuat Presiden menjadi mirip dengan pimpinan organisasi mafia. Di sini dapat diingatkan bahwa wawasan etis Presiden Indonesia dirumuskan dengan bagus dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,” bebernya.

Sementara terkait dengan etika dan pemilu. Setidaknya, yang dituntut secara etis dan hukum adalah seluruh proses menjamin warga dapat memilih sesuai apa yang mau dipilih. “Masyarakat akan menuruti pemerintah dengan senang, apabila pemerintah bertindak atas dasar hukum yang berlaku. Dan hukum yang berlaku adalah adil dan bijaksana,” katanya.

“Apabila penguasa bertindak tidak atas dasar hukum, dan tidak demi kepentingan seluruh masyarakat, melainkan memakai kuasanya untuk menguntungkan kelompok, kawan, keluarganya sendiri, motivasi masyarakat untuk menaati hukum akan hilang,” ungkapnya.

Menurut Romo Magnis, bila itu yang terjadi. Hidup masyarakat tidak lagi aman. Negera hukum akan merosot menjadi negara kekuasaan dengan wilayah kekuasaan seperti mafia.

Namun demikian, pasca persidangan, Romo Magnis menyebut presiden seperti mafia itu contohnya adalah pemimpin Jerman dulu, Adolf Hitler. Adapun Jokowi, menurut dia, bukan mafia. 

"Jokowi jelas bukan mafia. Jokowi dalam banyak sudut juga masih banyak saya kagumi tetapi tentu pertanyaan-pertanyaan etika perlu dijawab," ujarnya kepada wartawan.

Romo Magnis menegaskan, keterangan yang ia sampaikan dalam persidangan merupakan penjelasan terkait etika dalam politik. Dirinya tidak memberikan penilaian atas kehidupan politik di Indonesia karena memang tidak punya keahlian penuh terkait isu tersebut.  

"Saya tidak diminta dan juga tidak penuh keahlian memberi penilaian tentang kehidupan politik di Indonesia. (Saya) menjelaskan faktor etika di dalam politik. Saya bilang kalau begitu maka, kalau begitu maka," ujarnya menjelaskan bahwa keterangannya dalam persidangan merupakan pengandaian.

Apa kata kubu Prabowo-Gibran?

Ketua Tim Pembela Prabowo-Gibran, Yusril Ihza Mahendra menegaskan bahwa seharusnya Guru Besar Filsafat STF Driyarkara Franz Magnis Suseno atau Romo Magnis tidak memvonis Presiden Joko Widodo atau Jokowi melanggar etika.

Yusril mengatakan, pihaknya sebenarnya menghormati keputusan penggugat, pasangan Ganjar-Mahfud, menghadirkan Frans Magnis atau Romo Magnis untuk menjadi ahli dalam persidangan.

Kubu Prabowo-Gibran sebenarnya berharap Romo Magnis sebagai filsuf dan pastur Katolik untuk memberikan pendapat filosofis dan normatif. Dalam hal ini tidak memvonis Presiden Jokowi melakukan kesalahan.

"Tapi sangat disayangkan ada beberapa judgement, presiden melanggar ini, melanggar ini, kejahatan, yang saya kira tidak dalam posisi seperti itu seorang saksi dihadirkan," kata Yusril kepada wartawan usai sidang diskors, Selasa (2/4/2024).

Pakar hukum tata negara itu pun menyerahkan kepada majelis hakim MK untuk menilai keterangan Romo Magnis tersebut.