MK Tolak Gugatan Sengketa Pilpres 2024, Pemerintah akan Tanggung Beban Berat Akibat Ulahnya Sendiri


Jakarta, MI - Mahkamah Konstitusi (MK) telah menolak seluruh gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) yang diajukan kubu Paslon 01 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN) dan kubu Paslon 02 Ganjar Pranowo-Mahfud MD, pada sidang putusan MK yang digelar pada Senin (22/42024) kemarin.
Untuk itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) selanjutnya akan menggelar penetapan presiden dan wakil presiden terpilih pada Rabu (24/4/2024) besok.
Kendati, Anggota Aliansi Penegak Demokrasi Indonesia (APDI) Roy Suryo, menilai pemerintah Indonesia kedepan akan menanggung beban sangat berat akibat ulahnya sendiri yang berani menggunakan segala cara untuk memenangkan kontestasi Pemilu 2024 dan ujung-ujungnya rakyat yang nantinya akan dikorbankan.
Roy Suryo awalnya menuturkan, meski putusan MK itu diwarnai dengan kontroversi disana sini, demontrasi di berbagai tempat dan dissenting opinion oleh tiga Hakim MK yang dipuji-puji oleh masyarakat sebagai hakim yang masih memiliki mata hati dan etika, yakni Hakim Saldi Isra, Arief Hidayat dan Eni Nurbaningsih, putusan MK tetap berlaku secara final dan mengikat.
Demontrasi itu sebenarnya bukan main-main, karena di berbagai sosial media juga muncul informasi tentang beberapa daerah di Indonesia yang dengan sangat keras mengecam hasil putusan MK tersebut.
Bahkan tak sedikit diantaranya yang sudah mengancam akan melakukan tindakan lebih jauh lagi meski hal tersebut tentunya sedapat mungkin dihindari karena akan membuat disintegrasi bangsa bahkan pemisahan diri.
Sementara disisi lain, para Profesor, Guru Besar dan berbagai Civitas Akademika berbagai kampus pun juga tak kalah tegasnya memberi ultimatum kepada hasil Pemilu yang disebut-sebut sangat tidak demokratis dan bahkan membuat Indonesia terpuruk ke titik nadir pasca reformasi 1998 ini.
Selain itu, di berbagai platform, mulai dari WhatsAap, TikTok, Instagram, X-space (Twitter), FaceBook, YouTube dan sebagainya beredar banyak sekali animasi yang menggambarkan "nisan demokrasi" alias "demokrasi sudah mati" (1998-2024) dengan berbagai teknologinya.
Dari yang sederhana sampai yang memanfaatkan Artificial Intelligence (AI).
Kreatifitas netizen memang sangat tampak digunakan untuk meluapkan ekspresi, bahkan emosi mereka. Wajar ini era Internet-of-Thing (IoT) dan society 5.0, jadi ekspresi masyarakat tidak berarti hanya diukur dari ratusan atau bahkan ribuan rakyat yang demo di depan patung kuda kemarin seperti tahun 1998 atau bahkan saat 1974 dan 1967 silam, karena memang sekarang era dan teknologinya berbeda.
"Kondisi ini tidak hanya didalam negeri, tetapi di mancanegara banyak Diaspora Indonesia yang menyuarakan hal yang sama, sebagaimana layaknya salah satu amicus curiae kemarin adakah berasal dari para ahli hukum Indonesia yang bermukim di Amerika," kata Roy Suryo dalam opini terbukanya yang masuk ke dapur redaksi Monitorindonesia.com, Selasa (23/4/2024).
Tidak hanya itu, media-media Internasional sekelas New York Times, The Economist, The Guardian-pun yang sebelumnya juga sudah sangat mengkritisi kondisi di Indonesia. Sekarang juga tampak menuliskan laporan komprehensif membedah bagaimana jalannya sidang MK kemarin berserta putusan Kontroversialnya.
"Hal ini sebenarnya sangat merugikan bagi Indonesia, karena kondisi nir etika dan rusaknya demokrasi disini bukan lagi dimengerti di dalam negeri, tetapi sudah di manca negara, seantero dunia," lanjut mantan Menpora itu.
"Oleh karena itu, pemerintahan kedepan sebenarnya menanggung beban sangat berat akibat ulahnya sendiri yg berani menggunakan segala cara utk memenangkan kontestasi Pemilu 2024 kemarin dan ujung-ujungnya Rakyat yg nantinya akan jadi dikorbankan," tegas Roy Sruyo.
Contohnya adalah tidak dianggapnya Indonesia sebagai pasar yg menjanjikan oleh CEO Apple, Tim Cook kemarin. Bagaimana mungkin sebuah negara yang penduduknya 278,7 juta dan jumlah pengguna ponselnya mencapai 353,3 juta, pengakses Internet 185,3 juta jiwa dan pengguna sosial media mencapai 139 juta, bisa kalah investasinya dengan Vietnam yang jumlah penduduknya 84 juta jiwa saja.
"Investasi Apple disana sekitar 400 triliun Dong (mata uang Vietnam) atau setara sekitar Rp 255 triliun di negeri tersebut, dibanding Indonesia yang hanya sebesar Rp 1,6 triliun alias hanya 0, 62 % saja," kata Roy Sruyo yang juga pakar telematika.
Menurut Roy Suryo, investasi Apple inipun hanya berbentuk semacam Lembaga Pendidikan atau Academy di Bali. "Catatan saya sebelumnya Apple sudah memiliki 3 infrastruktur pendidikan serupa disini, yakni di Tangsel, Batam dan Surabaya," jelasnya.
Sementara di Vietnam, tambah mantan politikus Partai Demokrat ini, Apple telah menciptakan sekitar 200.000 lapangan pekerjaan, karena disana Apple memiliki 25 pemasok di tahun 2022, naik 4 dari 21 pemasok tahun 2020.
Beberapa di antaranya yaitu Foxconn, GoerTek, Luxshare, Intel, Samsung Electronics dan Compal. Foxconn sebagai mitra pemasok utama Apple juga konon berencana mengalihkan sebagian pabriknya dari Tiongkok.
"Indonesia harusnya juga bisa mendesak agar Apple membangun pabrik atau proses manufaktur disini, mengingat produk Apple yang cukup laris bagi masyarakat Indonesia," tuturnya.
"Namun, Apple belum mempertimbangkan permintaan ini mengingat kondisi dan citra Indonesia di titik nadir akibat proses demokrasi yang buruk dan bahkan sempat menjadi perbincangan PBB saat dipertanyakan oleh Komisi HAM tentang cawe-cawe Presiden dalam Pemilu 2024 lalu".
Dalam putusan MK kemarin, sekali lagi sayangnya kondisi Pemilu 2024 yang sangat karut-marut yang menggunakan teknologi Sistem Informasi Rekapitulasi Pemilu (Sirekap) seharusnya bisa menjadi teknologi yang membanggakan dengan proses OCR & OMR-nya.
Namun Putusan MK seakan menguatkannya hanya jadi "pepesan kosong" sebagaimana disebut dalam sidang sebelumnya.
"Hal ini lagi-lagi sangat ironis, sebab Sirekap sebenarnya justru alat utama Pemilu 2024 sesuai PKPU No 05/2024. Mengapa para Wakil Tuhan di MK kurang cermat dalam menetapkan detail Putusannya, khususnya tentang Sirekap? Ini yang saat ini juga sedang dibedah oleh APDI untuk menyampaikan catatan-catatan kritisnya," ungkap Roy Suryo.
"Mencermati ini, apakah kemudian kami dari APDI akan terus mengkritisi jalannya Pemerintahan terpilih ini. Ya. sudah pasti," timpalnya.
Meskipun hasil Putusan MK bersifat final dan mengikat tersebut dan harus dihormati bersama. "Namun bukan berarti kita kemudian harus seperti kerbau yang dicokok hidungnya kemudian hanya melenguh dan ikut kemana majikannya pergi. Tidak!," tegasnya.
"InsyaaAllah kami bersama segenap masyarakat yang kritis, termasuk para Civitas Akademika, Guru Besar, Profesor, Doktor, Master, Sarjana dan Mahasiswa (bukan "Mahasewa" seperti yang demo membela KPU didepan MK sebelumnya), kami-kami yang masih memiliki Idealisme tinggi, cinta NKRI dan insyaaAllah berintegritas, akan terus bersikap kritis dan progresif mengawal jalannya pemerintahan republik yang kita cintai bersama ini," katanya panjang lebar.
TI pengawas pemerintahan
Lebih lanjut, Roy Suryo menjelaskan bahwa pemanfaatan teknologi informasi sebagai ilmu pengetahuan aplikatif pengawas pemerintahan mendatang bisa dari segala sisi, termasuk pandangan, makro ekonomi, psikologi dan kajian hukumnya.
"Karena niscaya kalau semua referensi itu digunakan sebaik-baiknya untuk kemaslahatan masyarakat Indonesia, tentu akan membuat Negara ini makin sejahtera dan bukan salah urus jatuh kedalam bencana akibat nepotisme dan kejahatan demokrasi yang baru saja terjadi," urainya.
Salah satu kajian ilmu yang bisa digunakan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat, menurut dia, diantara dengan menggunakan ilmu manajemen Organizational Citizenship Behavior (OCB) yang akan membuat masyarakat lebih bijak dan memiliki literasi, tidak mudah dikelabui alias dibodohi dengan semacam bansos alias teori "gentong babi" apalagi "sak babi-babinya" sampai menghabiskan uang rakyat ratusan triliun lagi.
"Pengawasan ini tentu tidak mudah, karena harus memperbaiki mekanisme termasuk di berbagai platform birokrasi sebagaimana detail putusan MK soal bansos dari Presiden yang dikritisi kemarin, juga harus menyadarkan kembali ke 580 wakil rakyat yang telah terpilih sebelumnya untuk periode 2024-2029 juga".
"Karena seharusnya kalau mereka sudah kritis sebenarnya tidak perlu lagi ada pengawas "extra parlemwnter" sebagaimana sekarang yang banyak terjadi akibat mandulnya DPR dan DPD selaku Anggota MPR-RI. Tapi terus terang apa yang mau diharapkan kalau sekedar usulan hak angket saja sangat sulit dan besar kemungkinan gagal. Ditambah keterpilihan mereka juga disinyalir banyak yang menggunakan cara-cara bukan berdasar kapasitas dan kapabilitas tetapi hanya soal isi tas," jelasnya.
Kesimpulannya, tambah dia, pra dan pasca tanggal 20 Oktober 2024 mendatang atau saat dilantiknya Presiden dan Wapres Indonesia baru, "kami tidak ingin akan ada "Dirty Government" apalagi "Dirty Regime" sebagaimana yang sudah diprediksi, diulas, dirinci dan dikhawatirkan dalam 2 Film "Dirty" yang sudah ada sebelumnya (Dirty Vote & Dirty Election)".
Sebagaimana juga statemen beberapa eliet dari partai politik pasca putusan MK kemarin yang tidak mempermasalahkan mau sebagai oposisi atau koalisi.
"Kami menyatakan intinya tetap harus Kritis dan bermakna positif bagi cita-cita Indonesia Emas 2045 yang akan datang. APDI akan tetap mengawal proses reformasi dan demokrasi di republik ini dengan berbagai cara kami".
"Termasuk penggunaan artificial intelligence dalam teknologi informasi sesuai kompetensi kami. Bak nenek moyang bangsa Indonesia yang telah lebih dahulu berjuang di seantero nusantara, dengan mengucap "Selamat Presiden & Wapres terpilih, layar sudah terkembang, pantang untuk digulung kembali dan kami tetap awasi," tutup Roy Suryo panjang lebar.
Penting diketahui, bahwa MK pada hari Senin kemarin, MK menolak gugatan terhadap pemilihan presiden yang dimenangkan oleh Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto, setelah saingan utamanya menuduh peraturan diubah secara tidak adil untuk memungkinkan putra pemimpin yang akan keluar itu untuk mencalonkan diri sebagai wakil presiden.
Prabowo dikukuhkan pada bulan Februari sebagai calon pemimpin berikutnya di negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, mengalahkan mantan Gubernur Jakarta Anies Baswedan dan saingannya yang ketiga (Ganjar Pranowo) dengan 58,6% suara.
Kampanye presiden terpilih ini terperosok dalam tuduhan bahwa pemimpin yang akan segera habis masa jabatannya, Jokowi telah ikut campur dalam upaya untuk mendukung kampanye Prabowo.
Ia dituduh merekayasa perubahan aturan yang memungkinkan putra sulungnya Gibran Rakabuming Raka mencalonkan diri sebagai wakil presiden.
MK juga menyatakan tuduhan nepotisme atau intervensi negara tak terbukti. Bahkan Ketua MK, Suhartoyo yang menyebut "pengadilan menolak eksepsi untuk seluruhnya. Menolak permohonan kasasi untuk seluruhnya". (wan)
Topik:
MK Sengketa Pilpres Roy Suryo