'Perang Terbuka Komisioner vs Dewas': 1.700 Orang di KPK, Wajar Bila Terjadi Konflik!

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 3 Mei 2024 11:57 WIB
Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK (Foto:  MI/Aswan)
Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK (Foto: MI/Aswan)

Jakarta, MI - Sebanyak 1.700 di lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK menjadi hal wajar jika terjadi konflik di dalamnya. Kali ini muncul konflik yang melibatkan Komisioner KPK dengan Dewan Pengawas (Dewas) KPK.

Konflik ini muncul setelah Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron melaporkan anggota Dewas KPK, Albertina Ho, ke Dewas KPK. Akar masalahnya adalah laporan dugaan pelanggaran etik yang dilakukan mantan jaksa KPK inisial TI di Dewas KPK. 

Lalu Jaksa TI dilaporkan atas dugaan memeras saksi sebesar Rp 3 miliar.  Selanjutnya, Anggota Dewas KPK, Albertina Ho menelusuri laporan tersebut. 

Albertina pun kemudian berkoordinasi dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk melihat riwayat transaksi jaksa TI.  

Dari sinilah Nurul Ghufron merasa Albertina telah menyalahi wewenangnya hingga melapor ke Dewas KPK.

Nurul Ghufron lalu melaporkan Albertina Ho ke Dewas KPK. "Saya sebagai insan KPK memiliki kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat 2 huruf b Perdewas No 3 Tahun 2021 menyatakan: Dalam mengimplementasikan nilai dasar integritas, setiap insan Komisi wajib melaporkan apabila mengetahui ada dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh insan Komisi," ujar Ghufron kepada wartawan, Rabu (24/4/2024).

"Materi laporan saya dugaan penyalahgunaan wewenang berupa meminta hasil analisis transaksi keuangan pegawai KPK, padahal Dewas sebagai lembaga pengawasan KPK, bukan penegak hukum dan bukan dalam proses penegakan hukum (bukan penyidik), karenanya tak berwenang meminta analisa transaksi keuangan tersebut," tambahnya.

Kamis (2/5/2024) kemarin, Nurul Ghufron, sedianya dijadwalkan menjalani sidang etik di Dewas KPK terkait kasus mutasi anak kerabatnya di Kementerian Pertanian (Kementan). 

Namun, Nurul Ghufron justru mangkir alias tidak hadir. Dalam pernyataan tertulisnya yang disampaikan ke Dewas KPK, Ghufron mengungkapkan alasannya tidak hadir. Salah satunya, berkaitan dengan menggugat Peraturan Dewas Nomor 3 Tahun 2021 dan Peraturan Dewas Nomor 4 Tahun 2021 ke Mahkamah Agung (MA).
 
"Sebelumnya perlu kami sampaikan bahwa sebelum persidangan dugaan pelanggaran etik dilaksanakan, kami telah mengajukan uji keabsahannya persidangan ini," kata Nurul Ghufron.

"Yaitu landasan hukum pemeriksaan sidang etik ini, sedang diajukan Hak Uji Materiil terhadap Peraturan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2021 tentang Penegakan Kode Etik dan Kode Perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Peraturan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pemeriksaan dan Persidangan Pelanggaran Kode Etik dan Kode Perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana terdaftar dalam kepaniteraan Mahkamah Agung pada tanggal 24 April 2024".

Sebelumnya, Nurul Ghufron juga menyinggung tentang laporannya ke MA tersebut. Menurutnya, laporan kepadanya terkait kasus etik itu telah kedaluwarsa dan tidak selayaknya naik proses sidang. "Oleh karena itu, karena baik tindakannya memeriksa saya yang dalam perspektif saya laporan dimaksud telah daluarsa, maupun peraturan yang mendasarinya itu sedang saya uji ke Mahkamah Agung, maka secara hukum saya berharap [sidang etik] itu ditunda," tuturnya saat ditemui wartawan di Gedung Merah Putih KPK.

Jika dilihat pada info perkara di laman resmi MA, tercantum gugatan Ghufron itu teregister dengan nomor perkara 26/P/HUM/2024 yang terdaftar pada Kamis, 25 April 2024. Dengan mempertimbangkan pertimbangan hukum pada Pasal 55 UU MK, Ghufron pun meminta sidang kasus etiknya pun ditunda.

Apakah KPK dalam masalah?
Nurul Ghufron melihat tindakan Dewas KPK Albertina yang meminta hasil analisis keuangan pegawai KPK kepada PPATK dianggapnya merupakan tindakan melanggar etik bahkan kini menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta.

Tindakan internalnya KPK ini, kata pakar hukum pidana Azmi Syahputra, tidak relevan, saling tekan, bias, bahkan diduga  bermuatan  adanya konflik kepentingan yang mengarah saling  mencurigai dan saling melaporkan perbuatan masing-masing .

"Tentunya hal ini akan berakibat dapat menghambat produktivitas dan efektivitas kerja termasuk menciptakan lingkungan kerja di tubuh KPK yang tidak kondusif," kata Azmi dalam keterangannya yang masuk ke dapur redaksi Monitoindonesia.com.

"Kesannya kok komisioner KPK ini lebih fokus pada mencari kesalahan diantara organ internal mereka, saling serang personal, tindakan komisioner KPK ini memicu keretakan".

Insan KPK untuk saling mencurigai dan tidak percaya satu sama lain, tambah Azmi, secara khusus sinergitas kolaborasi dan kerjasama antar personil komisioner dengan dewan pengawas KPK  akan terganggu.

Masa depan KPK jika keadaan seperti ini tidak tuntas, akan semakin  timpang dan sulit, akibat adanya management koordinasi yang belum solid, bagaimana KPK akan menyelesaikan masalah jika organ utama internalnya saja berhadap-hadapan dalam masalah. "Saling ego, bahkan melaporkan sampai menggugat ke PTUN ? Unik banget".

"Sudah selayak nya pimpinan KPK lainnya klarifikasi, evaluasi bersama dan  jatuhkan sanksi dan terutama minta maaf kepada publik atas keadaan ini termasuk mendorong pertanggungjawaban kinerja atas unit komisioner KPK dan Dewas KPK agar KPK dapat clear dimata publik," demikian Azmi Syahputra yang juga Sekretaris Jendral Masyarakat Hukum Pidana Indonesia (Mahupiki). (wan)