Kasus Taruna STIP Jakarta: Telan Cabe hingga Salah Latihan Pedang Pora Berujung Hilangnya Nyawa

Tim Redaksi
Tim Redaksi
Diperbarui 5 Mei 2024 12:20 WIB
Taruna STIP Jakarta (Foto: Dok MI/Net/Ist)
Taruna STIP Jakarta (Foto: Dok MI/Net/Ist)

Jakarta, MI - Kasus dugaan tindak pidana kembali menyelimuti sekolah kedinasan. Kali ini pada sekolah di bawah naungan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) yang di nahkodai Budi Karya Sumadi. Adalah Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Jakarta.

Ini bukan pertama kali terjadi dugaan kekerasan hingga menghilangkan salah taruna sekolah itu. Padahal, Kemenhub sebelumnya menegaskan tidak mentolerir kekerasan dalam bentuk apapun di sekolah binaan mereka. 

Teranyar, taruna berinisial P (19) tewas karena diduga dianiaya seniornya. Keluarganya pun menyatakan akan menuntut pertanggungjawaban pihak kampus atas kejadian tragis tersebut. 

"Saya mau tuntut yang memukul itu sama pihak sekolah, anak saya sehat-sehat saja tiba-tiba meninggal dunia," kata paman korban, Nyoman Budi Arto di Jakarta, Sabtu.

Paman korban meminta pertanggungjawaban kampus atas kejadian yang menghilangkan nyawa dari keluarganya dan meminta agar pelaku dihukum berat sesuai dengan perbuatannya. "Saya punya anak dibegitukan, seandainya juga dia punya anak digituin juga bagaimana, saya akan tuntut pihak kampus," ujar Nyoman Budi Arto menegaskan.

Menurut informasi yang diterima, pihak STIP menghubungi keluarga korban pada Jumat pagi sekitar pukul 09.00 WIB yang memberitahukan bahwa taruna tingkat satu angkatan 2023 berinisial P meninggal dunia. P merupakan anak pertama dari tiga saudara yang masuk sebagai taruna sekolah yang berada di bawah Kementerian Perhubungan tersebut.

Dari keterangan yang didapat, Nyoman mengetahui bahwa anaknya dibawa ke toilet dan dihajar oleh seorang senior. "Iya dihajar tapi tidak jelas apa sebabnya sampai korban dihajar," kata dia.

Ketua STIP Ahmad Wahid telah menyatakan bahwa budaya kekerasan atau aksi perpeloncoan senior kepada junior di kampus tersebut sudah dihapuskan meskipun kembali siswa tewas akibat aksi penganiayaan. 

Namun, Polres Metro Jakarta Utara mengungkapkan bahwa taruna tingkat dua STIP berinisial TRS sebagai pelaku penganiayaan yang menyebabkan korban taruna tingkat satu STIP bernama Putu Satria Ananta Rustika (19) meninggal pada Jumat (3/5/2024).

"Kami melakukan pemeriksaan dalam 24 jam dan menetapkan satu orang pelaku yang menyebabkan taruna tingkat satu meninggal dunia," kata Kapolres Metro Jakarta Utara Kombes Polisi Gidion Arif Setyawan di Jakarta, Sabtu kemarin.

Tersangka yang telah ditetapkan ini dijerat dengan Pasal 338 juncto subsider Pasal 351 Ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan ancaman pidana kurungan maksimal 15 tahun. Penetapan tersangka dilakukan setelah petugas melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP) dan memeriksa 36 orang saksi dari berbagai pihak terkait.

Sementara itu, hasil autopsi jenazah Putu Satria Ananta Rustika yang dilakukan di Rumah Sakit Polri Kramat Jati, Jakarta Timur, mengungkapkan bahwa korban mengalami luka memar di berbagai bagian tubuhnya. "Secara umum didapatkan berupa memar pada mulut, lengan atas dan dada, luka lecet di bibir, memar pada paru, dan perbendungan organ dalam," kata Kepala Rumah Sakit (Karumkit) Polri Brigjen Hariyanto.

Meskipun begitu, penyebab kematian korban masih dalam pendalaman penyidik. "Cara kematian dari autopsi sedang didalami penyidik," ungkapnya.

Dengan adanya perkembangan ini, keluarga korban bersiap untuk mengambil langkah hukum selanjutnya sambil menunggu hasil penyelidikan lebih lanjut dari pihak berwenang.

Jauh sebelum kasus ini terjadi, Monitorindonesia.com, mencatat bahwa di sekolah yang sama ada nama taruna STIP Dimas Dikita Handoko tewas pada 25 April 2014 setelah dianiaya senior bersama enam rekan seangkatan, Agung Bastian pada 2008 juga tewas dianiaya senior dan terungkap setelah korban tiga hari dimakamkan, Daniel Roberto Tampubolon yang tewas pada 6 April 2015 dan Amirullah Adityas yang tewas pada 10 Januari 2017. 

Daniel Roberto Tampubolon
Peristiwa penganiayaan terhadap siswa STIP Jakarta ini terjadi pada Senin 6 April 2015 silam. Korban yang diketahui bernama Daniel Roberto Tampubolon, dianiaya dengan tangan kosong oleh seniornya.

Lalu Roberto juga dipaksa makan cabe rawit. Akibatnya perut Roberto mual dan sesak nafas akibat pukulan. Dia juga mengalami sakit di bagian ulu hatinya. Peristiwa tersebut sempat dilaporkan ke Kepolisian Daerah Metro Jaya.

Ternyata, diketahui ada tujuh mahasiswa yang disinyalir melakukan penganiayaan tersebut. Buntutnya, pihak STIP Jakarta memberikan hukuman kepada tujuh mahasiswa tersebut.

Hukuman diputuskan melalui sidang kehormatan sekolah. Di sidang tersebut dihadirkan para pelaku. Di hadapan para petinggi sekolah mereka mengakui perbuatan.

Hukuman yang diberikan berupa pemecatan dan sanksi skorsing selama 1 tahun. Sebanyak lima pelaku dipecat, mereka yaitu, PS, MM, ISS, HP, dan R.
Sementara, K dan AW di sanksi skorsing selama 1 tahun.

Dimas Dikita Handoko
Penganiayaan yang berujung kematian Dimas Dikita Handoko, mahasiswa semester satu Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Jakarta, sempat menggegerkan publik pada 2014.

Dimas tewas karena dianiaya para seniornya. Motif penganiayaan diduga karena Dimas dianggap tidak respek terhadap para seniornya.

Menurut Kapolres Jakarta Utara saat itu, Komisaris Besar Polisi Mohammad Iqbal, para pelaku yang berjumlah tujuh orang ditegur oleh senior semester empat bila para korban tidak memiliki respek terhadap mereka (senior).

Dimas beserta keenam temannya kemudian dipanggil ke kos para seniornya. Di sana mereka dipukul di bagian dada, perut dan ulu hati.

Akibat tindakan kekerasan tersebut, Dimas tersungkur, namun tetap dipukul ketiga pelaku ANG, FACH dan AD. Dimas yang tidak berdaya akhirnya pingsan. Melihat Dimas pingsan, para pelaku menggosok minyak angin di hidungnya dan juga menciprat-ciprat air di wajah Dimas agar dia siuman.

Dimas mengalami luka memar yang parah sehingga dibawa ke RS Pelabuhan Jakarta Utara. Namun, nyawanya sudah tidak tertolong lagi.

Sedangkan keenam teman korban mengalami luka yang parah di bagian wajah, dada sampai perut. "Dari hasil autopsi, korban Dimas mengalami pendarahan di otak karena benturan benda tumpul," katanya.

Polisi mengamankan tiga pelaku yang diduga menganiaya Dimas dan empat orang lainnya berinisial SAT, WID, DE dan AR yang diduga menjadi pelaku tindak kekerasan terhadap enam teman Dimas.

Polisi juga telah mengamankan barang bukti berupa seragam korban, sebuah gayung berwarna merah dan minyak angin Fresh Care. Dimas tewas akibat dianiaya para seniornya pada Jumat 25 April 2014 silam.

Keluarga curiga karena sejak beberapa hari dia mengaku serinh mengalami tindakan kekeraaan dari para seniornya.

Amirullah Adityas Putra
Dia tewas dianiaya para seniornya. Kasusnya terjadi pada 2016 lalu. Ada 4 senior yang terlibat dalam kasus ini. Keempat senior yang diduga menganiaya taruna tingkat satu itu berinisial SM (20), WS (20), IS (22), dan AR (20). 

"Benar, diperkirakan waktu kejadiannya semalam, Selasa 10 Januari sekitar pukul 22.30 WIB," ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya yang saat itu masih dijabat Kombes Pol (sekarang pangkat Irjen) Raden Prabowo Argo Yuwono, Rabu (11/1/2017).

Kasus ini berawal saat salah satu dari empat senior tersebut mengumpulkan junior setelah mereka selesai latihan drum band, sekitar pukul 22.00 WIB. Enam taruna STIP tingkat satu akhirnya mengikuti perintah empat seniornya itu. 

Kemudian mereka berkumpul di lantai 2, kamar M-205. Di lokasi, satu per satu para senior menganiaya taruna tingkat satu dengan tangan kosong. Seketika pukulan terakhir dilayangkan WS, tiba-tiba Amirullah pingsan dan ambruk ke dada seniornya itu.

Melihat hal itu, para senior langsung membaringkan Amirullah di tempat tidur. Empat senior tersebut lalu menghubungi seniornya di tingkat 4 dan langsung dilanjutkan ke pembina dan piket medis STIP untuk memeriksa kondisi korban. Dan saat itu kondisi korban sudah tidak bernyawa.

Menhub Budi Karya Sumadi saat itu menyatakan belasungkawa. Dia menyesalkan terjadinya tindakan kekerasan di STIP Jakarta hingga menewaskan tarunanya. "Berkaitan dengan pelaku. Karena ada yang sampai meninggal, kita nilai ini sebagai sesuatu ranah hukum," kata Budi Karya di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (11/1/2017).

Agung Bastian Gultom
Tim forensik Rumah Sakit Umum dokter Sutomo Surabaya lalu membongkar makam Agung, Sabtu 17 Mei 2008.  Saat itu Agung sudah dimakamkan 3 hari. 

Makam Agung dibongkar untuk mencari bukti kekerasan dalam tubuh korban. Sebab, tewas korban diduga dianiaya 10 seniornya di dalam kampus STIP di Marunda. Korban dihukum karena dianggap melakukan kesalahan dalam latihan pedang pora menyambut Agustusan.

Saat itu STIP menyebut Agung meninggal karena sakit. Hal itu disangkal ayah korban Baharuddin Gultom. Polres Jakut kemudian menetapkan 4 tersangka pembunuh Agung. Mereka bernama Lasmono, Anggi, Hari Nugraha, dan Anton.

Dari 4 tersangka itu, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara, memvonis 3 terdakwa lima tahun penjara terhadap Harry Nugraha, Lasmono, dan Anggi Dwi Wicaksono. 

Empat hari sebelum penganiayaan terjadi, sejumlah teman Dimas, termasuk Marvin Jonathan, dipanggil sejumlah taruna tingkat dua di ruang makan. Marvin mengaku diminta datang ke rumah kontrakan beberapa taruna tingkat dua di Semper Barat, Kecamatan Cilincing, bersama 13 teman satu angkatannya. 

Menurut keterangan korban luka dan sejumlah saksi, para senior tersinggung oleh sikap taruna tingkat satu yang dinilai tidak menghormati senior. Pada Jumat malam, sejumlah senior marah karena hanya separuh dari 14 taruna tingkat satu yang datang ke rumah kontrakan. Marvin, Dimas, dan sejumlah temannya pun dipukul. 

Dalam bahasa para taruna itu, pukulan itu dalam rangka ”pembinaan”. Metode ”pembinaan” serupa diduga lazim dilakukan taruna tingkat lebih tinggi kepada taruna di tingkat lebih rendah. 

”Ada pendarahan di otak belakang Dimas akibat benturan. Dia dipukul hingga jatuh beberapa kali,” kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Jakarta Utara Ajun Komisaris Besar Daddy Hartadi saat itu.

Tujuh taruna tingkat satu menjadi korban. Enam di antaranya luka memar. Saat Dimas terjatuh, mereka lalu membawanya ke rumah sakit. Sejumlah senior menyebut Dimas luka karena terjatuh. 

Namun, dokter curiga karena ada lebam yang diduga akibat pukulan. Naas, nyawa Dimas tak tertolong. Peristiwa itu mengagetkan orangtua siswa. Senin siang, mereka mendatangi STIP untuk menuntut penjelasan sekaligus jaminan dari pihak sekolah. 

Mereka tidak ingin kasus serupa terulang. 

Kepala Pusat Pembinaan Mental Moral dan Kesamaptaan STIP Jakarta Budi Purnomo mengatakan, sejak kasus tahun 2008, sebetulnya pengawasan diperketat, termasuk menyiagakan taruna dan memasang kamera pengintai. 

”Kasus kali ini terjadi di luar kampus di luar jam belajar. Namun, peristiwa ini menjadi bahan evaluasi untuk perbaikan,” kata Budi. 

Menurut Budi, tidak ada toleransi bagi kekerasan di kampus. ”Pembinaan di luar (kampus) itu ilegal,” ujarnya.