Dosen Unpar Bandung Diberhentikan, Mengapa Pelecehan Seksual di Kampus Masih Terjadi Meski Sudah Ada Permendikbudristek?

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 16 Mei 2024 22:36 WIB
Kasus Syarif Maulana ini mengagetkan sejumlah mahasiswa Unpar. Pasalnya, Dosen Luar Biasa di Fakultas Filsafat tersebut cukup popular di lingkungan kampus (Foto: Getty Images)
Kasus Syarif Maulana ini mengagetkan sejumlah mahasiswa Unpar. Pasalnya, Dosen Luar Biasa di Fakultas Filsafat tersebut cukup popular di lingkungan kampus (Foto: Getty Images)

Jakarta, MI - Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung resmi memberhentikan seluruh aktivitas akademis maupun nonakademis terhadap Dosen Luar Biasa Fakultas Filsafat, Syarif Maulana, terduga pelaku pelecehan seksual pada sejumlah korban perempuan.

Hal ini disampaikan lewat surat pemberitahuan pemberhentian dosen pengampu mata kuliah Filsafat Sosial dan Politik ini. 

"Sejak munculnya beragam unggahan di media sosial yang menyatakan bahwa Syarif Maulana sebagai pihak yang terduga melakukan tindakan kekerasan seksual, yang bersangkutan sudah tidak diperkenankan untuk melakukan kegiatan apapun, tidak terbatas pada kegiatan akademik dan non-akademik di lingkungan Unpar, yang diselenggarakan baik secara daring maupun luring per 13 Mei 2024," kata Unpar dilansir dari keterangan resminya dikutip pada Kamis (16/5/2024).

Pemberhentian tersebut dilakukan untuk memudahkan proses pemeriksaan dan pelaporan serta upaya pencegahan agar tidak terulang dan tidak meluas.

"Dengan demikian, sejak tanggal tersebut, seluruh kegiatan yang dilakukan oleh yang bersangkutan [jika ada] di luar Universitas Katolik Parahyangan, tidak terafiliasi dengan Universitas Katolik Parahyangan," jelas Unpar.

Melalui Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS), Unpar membuka saluran aduan bagi semua pihak yang mengalami kekerasan seksual oleh Syarif Maulana.

Mereka juga memastikan aduan yang masuk melalui Satgas PPKS Unpar akan direspons secara normatif dan administratif, serta menjadi dasar bagi Unpar untuk mengambil tindakan tegas terhadap Syarif Maulana.

"Unpar akan terus mengawal kasus ini, sesuai dengan komitmen Unpar untuk menjamin kampus aman tanpa kekerasan seksual. Apabila diperlukan, Unpar juga akan memberikan pendampingan bagi sivitas akademika Unpar yang menjadi korban," imbuhnya.

Kronologi
Pengakuan atas tindakan kekerasan seksual disampaikan oleh Syarif Maulana melalui akun media sosial X @syarafmaulini yang diunggah pada 10 Mei 2024 pukul 11.31 WIB.

"Nama saya syarif maulana. Menyikapi postingan yang beredar di X dan media sosial lainnya, saya memohon maaf sebesar-besarnya dan menyampaikan pengakuan sebagai berikut: Saya mengaku bersalah atas perbuatan mengirimkan pesan lewat Whatsapp, DM X, atau Instagram pada sejumlah orang yang saya kenal langsung atau sebatas mutual di media sosial, yang berisi pesan genit dan flirting seperti permintaan foto diri (PAP), ajakan untuk bertemu, ajakan untuk berelasi".

"Dan dalam kasus tertentu berujung pada pengiriman pesan mesum, tidak sopan dan tidak senonoh hingga ajakan untuk berhubungan seksual, yang menyebabkan perasaan tidak nyaman dan bahkan trauma pada korban," jelas Syarif.

"Saya mengaku bersalah atas perbuatan yang dilakukan pada saat pertemuan tatap muka dengan sejumlah orang yang saya kenal langsung, yang menunjukkan dan menyampaikan pesan genit dan flirting, yang dalam kasus tertentu berujung pada pesan mesum, tidak sopan dan tidak senonoh berupa ajakan berelasi hingga ajakan berhubungan seksual, yang menyebabkan perasaan tidak nyaman dan bahkan trauma pada korban," sambungnya.

Dia bersedia diperiksa oleh tim investigasi mengenai kasus kekerasan seksual yang ia lakukan. “Terkait postingan di X perihal kasus kekerasan seksual saat saya bekerja di T**kom (antara tahun 2013 2017), saya bersedia diperiksa oleh tim investigasi dan bekerjasama penuh mengikuti segala proses yang diperlukan".

"Saya memohon maaf sebesar-besarnya pada para korban. Saya juga memohon maaf pada para pihak yang telah dirugikan akibat perbuatan saya ini, termasuk diantaranya teman-teman Kelas Isolasi, komunitas, jejaring, para penerbit, toko buku, penyelenggara acara, kampus, dan pihak-pihak lainnya yang pernah dan sedang bekerja sama dengan saya," tulisnya.


“Terkait masalah pinjol dan keterlambatan pengiriman buku yang telah dipesan selama hampir dua bulan (sebagaimana dituliskan juga dalam sejumlah postingan di X), akan saya selesaikan secepatnya dan segera menghubungi pihak-pihak yang dirugikan. Perbuatan yang saya lakukan ini adalah murni kesalahan saya pribadi dan tidak ada sangkut pautnya dengan komunitas, jejaring, dan pihak-pihak lain yang pernah dan sedang bekerjasama dengan saya".


"Saya meminta maaf, sangat menyesal atas perbuatan-perbuatan tersebut, berjanji untuk tidak mengulanginya, dan bersedia menerima segala konsekuensi, bekerjasama penuh dalam proses pemeriksaan yang dilakukan oleh tim investigasi, serta bertanggung jawab menanggung seluruh biaya dan menjalankan langkah-langkah yang diperlukan dalam rangka pemulihan psikis para korban,” tukasnya.

Mengagetkan sejumlah mahasiswa
Kasus Syarif Maulana ini mengagetkan sejumlah mahasiswa Unpar. Pasalnya, Dosen Luar Biasa di Fakultas Filsafat tersebut cukup popular di lingkungan kampus.

Seorang mahasiswa Fakultas Hukum, Rariq Muhammad, bilang terlapor terkenal sebagai dosen filsafat yang cukup modern. Cara mengajarnya pun disukai.

"Sebenarnya cukup kaget. Di kalangan mahasiswa, beliau terkenal sebagai dosen filsafat yang cukup modern, cara mengajarnya enak, terus tiba-tiba dapat kabar ini, kami beberapa mahasiswa yang pernah tahu beliau, sempat enggak percaya."

"Tapi pas ada klarifikasi dari Kelas Isolasi, salah satu ruang belajar dia, dan dapat klarifikasi dari akun Instagram-nya, kayaknya memang menjurus ke arah sana, cukup terpukul sih kami," ujar Rariq Muhammad, Kamis (16/5/2024).

Dia juga mengatakan kasus ini menjadi perbincangan di lingkup kampus lantaran baru pertama kalinya kasus kekerasan seksual dipublikasikan oleh Satgas PPKS Unpar. Selama ini, sepengetahuan Rariq, kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi tidak pernah terungkap atau dipublikasikan.

"[Kekerasan seksual oleh] pelaku [Syarif Maulana] ini hanya puncak gunung es. Sisanya masih banyak yang belum diungkap," kata Rariq.

Sementara, Omega menilai kasus kekerasan seksual yang melibatkan salah satu dosen Unpar ini memalukan.

"Sebenarnya cukup malu-maluin sih karena filsafat itu terlihatnya menjunjung tinggi kesetaraan, terus mereka sangat bebas berpikir. Cuma agaknya dosen ini bebas berpikirnya gimana gitu. Jadi, aku juga malu, sedih ada," tutur mahasiswi FISIP Unpar ini.

Omega mengapresiasi langkah Satgas PPKS Unpar yang langsung menonaktifkan pelaku.

"Apa yang dilakukan oleh Satgas PPKS Unpar, menurut aku sudah tepat karena selain untuk menjadi safe guard buat mahasiswanya, tapi juga buat teman-teman yang mungkin sudah pernah menjadi korbannya si bapak," katanya.

Kendati demikian, Rariq menilai langkah Satgas jangan berhenti menonaktifkan pelaku. Menurutnya, Satgas juga harus melakukan upaya pemulihan kejiwaan para korban.

Selain itu, jika hasil penyelidikan menemukan tindakan pelaku masuk dalam ranah pidana, Rariq meminta, pelaku dipidana. "Kalau masuk ke ranah pidana, harus dipidanakan," tegas Rariq.

Rariq maupun Omega percaya, para korban akan aman melakukan pengaduan dan Satgas bisa menangani kasus ini dengan adil.

"Kebetulan Satgas PPKS ini yang megang dosen-dosen FISIP. Jadi, mereka sangat cepat tanggap ngurusin ini. Kalau one day misalnya, naudzubillah min dzalik, ada sesuatu terkait hal seperti itu, aku bisa melapor dengan tenang dan aman."

"Mungkin secara proses pasti lama, cuma dengan melihat cepat tanggapnya mereka di kasus ini, aku lumayan cukup pede untuk melapor," ucap Omega.

Hanya saja mereka berharap Satgas PPKS Unpar lebih giat menyosialisasikan isu kekerasan seksual agar mahasiswa lebih paham dan mencegah terjadinya kasus serupa.

Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, Alimatul Qibtiyah, juga mengapresiasi apa yang dilakukan Satgas. Sebab di beberapa perguruan tinggi, satuan tugasnya seperti mati suri lantaran tak ada dukungan penuh dari pimpinan.

Padahal peningkatan kesadaran soal bentuk dan jenis kekerasan seksual semakin tinggi di kalangan anak muda. Itu nampak dari perubahan tren laporan soal kekerasan seksual ke Komnas Perempuan dalam 21 tahun terakhir sebelumnya yang paling tinggi adalah pemerkosaan.

Namun setelah Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan Permenedikbudristek nomor 30 tahun 2021 dimplementasikan – atau dalam dua tahun terakhir laporan soal pelecehan seksual menjadi yang tertinggi.

"Selama 21 tahun, pemerkosaan yang banyak dilaporkan ke kami. Kini candaan seksis atau lainnya sudah dipahami sebagai bentuk kekerasan seksual juga," katanya.

Merujuk pada kejadian di Unpar, Alimatul berharap makin banyak korban yang berani membuka suara dan melaporkan pelaku ke Satgas yang ada di masing-masing Satgas PPKS di kampusnya.

Penelitian Komnas Perempuan, 80% korban memilih diam dan tidak melapor sehingga kasus-kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi dipandang sebagai fenomena gunung es. Hanya segelintir yang muncul dan terungkap.

"Jadi sekarang gunung es para korban untuk melapor mulai mencair, artinya korban makin percaya kepada mekanisme yang ada. Kampus pun harus menangani laporan yang masuk dan memutus seadil-adilnya," jelasnya.

Alimatul juga mengatakan keberadaan Permenedikbudristek nomor 30 tahun 2021 beserta pembentukan Satgas PPKS bukan berarti perguruan tinggi bakal bersih dari kasus-kasus kekerasan seksual.

Masih terus bermunculannya laporan ke Satgas PPKS mengindikasikan sosialisasi Permendikbudristek nomor 30 tahun 2021 belum berjalan baik.

"Jangan-jangan masih ada yang menganggap tidak penting untuk di baca. Selain juga persoalan perspekif negatif ke perempuan yang masih tumbuh subur di kalangan sivitas akademika dan pengajar," tandasnya.