8 Tahun Kasus Vina Cirebon: Penyidik Cacat dalam Tugas, Semua Harus Diperiksa!

Firmansyah Nugroho
Firmansyah Nugroho
Diperbarui 9 Juni 2024 21:49 WIB
Pegi Setiawan (tengah) dihadirkan pada konferensi pers yang digelar di Gedung Ditreskrimum Polda Jabar, Bandung, Jawa Barat, Minggu (26/5/2024).
Pegi Setiawan (tengah) dihadirkan pada konferensi pers yang digelar di Gedung Ditreskrimum Polda Jabar, Bandung, Jawa Barat, Minggu (26/5/2024).

Jakarta, MI - Reaksi publik terpecah dalam merespons kasus pembunuhan Vina dan Eky Cirebon. Sebagian masyarakat percaya bahwa Pegi Setiawan adalah korban salah tangkap oleh pihak kepolisian, sementara yang lain mendukung tindakan polisi dan memuji kinerja mereka yang dianggap sudah sesuai dengan SOP penangkapan. Tetapi kriminolog menilai penyidik kasus ini cacat dalam tugas. Semua harus diperiksa!

Kasus tragis ini kembali menjadi perbincangan publik setelah dirilisnya film dokumenter "Vina Cirebon", yang menceritakan kisah nyata kematiannya pada tahun 2016. Viralitas film ini membawa nama Pegi Setiawan ke permukaan sebagai terduga otak di balik pembunuhan tersebut. 

Polda Jawa Barat menangkap Pegi Setiawan alias Perong sebagai tersangka kasus pembunuhan Rizky Rudiana alias Eky dan Revina Dewi Arsita atau Vina di Cirebon, Jawa Barat. 

Pegi merupakan DPO kasus Vina, bersama delapan orang lainnya yang telah divonis penjara pada tahun 2017. Polisi juga melakukan penggeledahan terhadap rumah milik keluarga Pegi.

Pada Minggu, 26 Mei 2024, Polisi menjelaskan alasan penangkapan Pegi membutuhkan waktu 8 tahun, dikarenakan narapidana lain tidak berani mengungkap sosok Pegi. 

Saat konferensi pers Pegi sempat mengelak disebut pelaku pembunuhan, yang kemudian dijawab oleh pihak Kepolisian dengan “hak tersangka nanti di sidang pengadilan".

Pegi diduga melakukan pembunuhan dan pemerkosaan terhadap Eky dan Vina yang melanggar Pasal 340 KUHP jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 81 UU No. 35 Tahun 2014 sebagaimana diubah dengan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dengan ancaman pidana mati, seumur hidup, atau paling lama 20 tahun penjara.

Terhadap pemenuhan hak tersangka Pegi pada kasus ini. Kriminolog Universitas Indonesia (UI) Kurnia Zakaria menegaskan bahwa penyidik kepolisian Jawa Barat harus memastikan bahwa setiap orang yang menjalani proses peradilan pidana terpenuhi hak-haknya sepanjang proses pemeriksaan, mulai dari tingkat penyidikan, penuntutan, hingga putusan pengadilan.

Sesuai amanat KUHAP bukan hanya di sidang pengadilan saja seperti yang disampaikan Kombes Pol Jules Abraham Abast selaku Kabid Humas Polda Jawa Barat.

"Salah satu hak penting yang wajib dipenuhi oleh penyidik terhadap Pegi adalah ia tidak boleh dipaksa bersaksi melawan dirinya sendiri dan mengaku bersalah (self incrimination), tersangka juga memiliki hak atas asas praduga tidak bersalah," tegas Kurnia kepada Monitorindonesia.com, Minggu (9/6/2024).

Kurnia Zakaria soal Vina ditangkap Pegi Setiawan
Kurnia Zakaria (Foto: Dok MI)

Dalam KUHAP, asas praduga tidak bersalah tertuang dalam Penjelasan Umum Butir Ketiga yang menyebutkan bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap. 

Maka, Pegi sebagai tersangka wajib dijamin haknya untuk bersaksi atau memberikan keterangan sejak pemeriksaan di tingkat penyidikan.

Terkait tersangka yang secara terang-terangan membantah tuduhan pembunuhan dan pemerkosaan terhadap korban Eky dan Vina, penyidik dan publik perlu mengantisipasi pernyataan tersangka tersebut sebagai potensi kasus salah tangkap, mengingat kasusnya sudah terjadi sejak tahun 2016 (delapan tahun lalu) dan ditambah lagi tersangka secara eksplisit membantah tuduhan tersebut. 

Selain salah tangkap, publik juga perlu antisipasi adanya tindakan kekerasan dan penyiksaan dalam perolehan pengakuan tersangka Pegi.

Mengenai potensi terjadinya penyiksaan, beberapa pasal di dalam KUHAP sebenarnya sudah mengarah pada aturan bebas dari penyiksaan, antara lain melalui pernyataan bahwa tersangka atau terdakwa berhak untuk memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim (Pasal 52 KUHAP), keterangan tersangka kepada penyidik harus diberikan tanpa tekanan dari siapapun atau dalam bentuk apapun (Pasal 117 KUHAP). 

Pun tercermin secara tidak langsung melalui aturan bahwa tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian (Pasal 66 KUHAP) serta keterangan terdakwa hanya dapat dipergunakan bagi dirinya sendiri (Pasal 189 Ayat (3) KUHAP). 

Pasal-pasal itu menegaskan bahwa keterangan tersangka bersumber pada kehendak bebas sehingga harus bebas dari kekerasan atau penyiksaan.

Tidak hanya itu, sejumlah ketentuan di dalam KUHP juga dapat digunakan terhadap penegak hukum yang melakukan penyiksaan terhadap tersangka pada proses penyidikan. 

Pasal 422 KUHP secara tegas memberikan ancaman pidana penjara terhadap seorang pejabat yang dalam suatu perkara pidana menggunakan sarana paksaan, baik untuk memeras pengakuan, maupun untuk mendapatkan keterangan. 

Pasal-pasal terkait penganiayaan juga dapat dikenakan terhadap penegak hukum yang melakukan penyiksaan kepada tersangka.

Di samping itu, ke depan, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP Baru juga sudah mengatur tentang tindak pidana penyiksaan dengan mengadopsi sejumlah konvensi internasional, antara lain Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia). 

"Sehingga Polisi dan aparat penegak hukum lainnya harus sangat berhati-hati dalam melakukan pengambilan informasi dari tersangka ataupun terdakwa," beber Kurnia.

Pegi harus segera dibebaskan
Ada banyak alasan untuk Pegi harus segera dibebaskan dari kasus Vina tersebut. Nicholas Kili Kili, kuasa hukum Pegi menyampaikan akan membawa sejumlah bukti kuat di praperadilan jika Pegi tidak bersalah.

Dengan adanya bukti-bukti yang sudah kami dapatkan, kami yakin satu juta persen klien kami tidak bersalah," tegas Nicholas Kili Kili dalam sebuah wawancara dikutip Monitorindonesia.com, Minggu (9/6/2024).

Timnya menggandeng Kombes Pol (Purn) Jidin Siagian untuk mengusut investigasi kebenaran soal Pegi tak bersalah. "Kami ada 68 tim pengacara dan kami semua solid, salah sudah membuat tim investigasi yang ketuanya adalah Kombes Pol Jidin Siagian SH MH dan beliau sudah bergerak jauh fakta sudah kami dapatkan," ungkapnya.

"Beliau ini sampai pensiun pun jadi penyidik, jadi gak mungkin lah mengada-ada atau tidak valid, ini sangat amat valid," kata Nicholas.

Pun, Kombes Pol Jidin Siagian membenarkan bahwa dirinya akan memimpin tim investigasi membela tersangka Pegi. "Saya sudah melakukan investigasi, sebelum saya mau tanda tangan surat kuasa, saya terlebih dahulu melakukan investigasi supaya saya tidak salah membela orang atau melontarkan kata-kata salah," ungkap Kombes Pol Jidin Siagian.

Setelah melakukan investigasi, kata Jidin, dirinya menemukan fakta bahwa Pegi merupakan korban salah tangkap. "Setelah saya investigasi apa tadi yang dibilang pak Nicholas Kili Kili tadi sangat-sangat tepat, sebenarnya kalau mau jujur waduh ini gambang untuk membuktikan siapa yang melakukannya, yakin saya mereka tau, karena ketika saya melakukan investigasi kok begini," tandasnya.

Pegi di mata tentangga
Di mata tetangga Pegi alias Perong dikenal bekerja sebagai kuli bangunan dan pernah ikut membangun rumah di daerahnya.

Menurut Masniah, Pegi pernah bekerja dirumahnya saat membangunan rumah beberapa waktu lalu. Namun, tidak menyangka kalau Pegi yang dicari polisi pada kasus Vina Cirebon, adalah Pegi tetangganya.

"Kalau dilihat foto yang beredar sih mirip, tapi kalau memastikannya mukanya udah lupa, waktu kerja dirumah kan banyak orang tuh," katanya, Rabu (22/5/2024).

Masih kata Masinah, Egi sempat tiga kali pulang kerumah saat hari Raya Idul Fitri.  "Kalau lebaran Egi balik kerumah, setiap tahunnya, udah tiga kali pulang," ungkapnya.

Meskipun begitu, tetangga tidak mengetahui keseharian Pegi yang disebut-sebut menjadi anggota geng motor. "Saya tahunya Egi kuli bangunan, gak pernah tahu kalau Egi anggota geng motor,"ujarnya.

Informasi yang dihimpun Monitorindonesia.com, rumah yang ditinggali Pegi, harus melewati kebon bambu yang cukup lebat, sekitar 200 meter dari gang utama. Rumah Pegi cukup sederhana, tidak terlihat mewah. 

Kondisi ini sekaligus mematahkan isu Pegi berasal dari keluarga kaya yang punya jabatan penting.

Periksa semua penyididik kasus ini!

Sementara soal kronologis kejadian di BAP berdasarkan, dinilai Kurnia Zakari, kriminolog UI itu terlalu mengada-ada kejadian yang tidak ada relevansi dan kewajaran dugaan anatar tindakan tersangka satu dengan lainnya kejadian peristiwa kejahatan saat malam kejadian tanggal 27 Agustus 2016. 

"Dimana agak aneh DPO Pegi sebagai pemimpin geng motor Monraker saat itu kenapa mengendarai motor dibonceng bukan bahwa motor sendiri, DPO Pegi pun tidak ikut menyetubuhi korban Vina," jelasnya.

Apakah memang anak geng motor ada yang  bekerja sebagai kuli bangunan, agak aneh. "Lalu mengapa Polisi tidak melakukan pemeriksaan digital forensik terhadap HP para Pelaku maupun korban? Mengapa Motor Suzuki Smash warna pink atau oranye DPO Pegi sejak awal tidak disita?," tanya Kurnia.

Atas hal ini, agar jelas semuanya, Kurnia mendesak Propam Mabes Polri memeriksa semua penyidik kasus Vina tersebut. "Penyidik perlu diperiksa tim gabungan irwasda, kadiv propam, kompolnas, komnas HAM adalah apakah kesalahan penyidikan. Sanksi bagi penyidik hanya bersifat administrasi seperti demosi, penundaan kenaikan pangkat dan gaji," cetusnya.

Di lain sisi, dia menegaskan bahwa seharusnya semua pihak yang memberikan keterangan penunjang informasi baru dan kesaksian dalam berbagai aplikasi media sosial dan para netizen yang bereaksi setelah menonton  film “VINA: Sebelum 7 Hari” menuntut keadilan.

Perlu ada keterbukaan proses Investigasi dan penyusunan yang transparan dan sesuai posedur Hukum Acara Pidana BAP dugaan DPO Pegi alias Perong yang bernama Pegi Setiawan alias Robi Irawan bin Rudi Irawan.

"Jangan merasa malu mengakui jika pernah berbuat tidak profesional, karena etik profesi hukum adalah melakukan kinerja sesuai prosedur yang sama bagi setiap profesi yang sama dan situasi kondisi yang sama," ungkapnya.

Dalam meninjau sanksi apa bagi penyidik, tambah Kurnia, adalah tergantung putusan sidang kode etik terlebih dahulu bila ada kesalahan prosedur  penyidikan. "Tetapi kasus ini terjadi sudah lama sehingga menjadi cacatan cacat dalam tugas," tegasnya.

Sanksi pun hanya bersifat administrasi penundaan kenaikan pangkat dan gaji polisi. "Kecuali para terdakwa bisa mengajukan laporan polisi dengan bukti tertulis maupun saksi. Kita ingat mantan kasus penyidik KPK Novel Baswedan," tukas Kurnia Zakaria.

Soal penghilangan atau penghapusan 2 DPO dalam kasus ini, menurut Kurnia tidak bisa diadukan tentang pencemaran nama baik kecuali para terpidana nanti bebas dalam putusan PK di MA. 

"Artinya para terdakwa bisa mengajukan Praperadilan tentang ganti rugi pemulihan nama baik terpidana," tegasnya.

Adapun Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Barat menghapus dua nama dari Daftar Pencarian Orang (DPO) usai penangkapan Pegi Setiawan, salah satu terduga pelaku pembunuhan Vina dan Eky delapan tahun lalu. 

Perkembangan terbaru kasus pembunuhan ini menambah daftar panjang kejanggalan di balik penyelidikan polisi.

Pegi Setiawan bersama dengan dua nama lain, Andi dan Dani, masuk dalam daftar buron dalam kasus pembunuhan yang viral tersebut. Namun, dalam konferensi pers pada Minggu (26/5/2024), Polda Jawa Barat mengumumkan dua nama tersebut dihapus dari daftar buron.

Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Barat, Kombes Pol Surawan, beralasan dua nama tersebut dihapus karena delapan pelaku yang sudah diamankan sebelumnya hanya "asal sebut" dan identitas keduanya belum dapat dibuktikan.

“Ada yang [menyebut] tersangka [buron] tiga nama berbeda, ada menerangkan lima, ada satu. Setelah dilakukan pendalaman, dua nama yang disebutkan selama ini, itu hanya asal sebut [oleh para tersangka]," ujar Surawan.

Keluarga Vina, melalui kuasa hukum Putri Maya Rumanti, mengaku kecewa dengan keputusan penghapusan dua nama tersebut dan mendesak kepolisian berpegang pada amar putusan pengadilan yang menetapkan bahwa DPO dalam kasus Vina berjumlah tiga orang.

“Di dalam amar putusan ini sudah jelas sebagai DPO yang harus dicari. Jadi pertanyaannya siapa yang paling bertanggung jawab atas kematian Vina dan Eky kalau dua DPO itu dihilangkan?" kata Putri.

Menurut Kurnia, putusan pengadilan sejak PN Cirebon hingga MA tentang 3 orang tersangka DPO tidak bisa begitu aja dihilangkan. Pihak keluarga korban, tambah Kurnia, bisa mengajukan gugatan perkara perdata ke PN maupun pengadilan TUN yang menghilangkan DPO begitu saja tanpa ada putusan kode etik. (wan)

Redaksi Monitorindonesia.com turut berduka cita terhadap kejadian yang menimpah korban Vina, namun keadilan sesungguhnya hanya akan didapat dengan peradilan yang adil dan pengungkapan kasus yang seutuhnya tanpa cacat prosedur dan pelanggaran HAM dalam proses peradilan.