Kapolri Diminta Mundur - Audit Belanja Polisi

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 29 Agustus 2024 20:55 WIB
Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo (Foto: Dok MI/Ist)
Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo (Foto: Dok MI/Ist)

Jakarta, MI - Kepolisian Republik Indonesia diminta segera membebaskan para pengunjuk rasa yang kini masih ditahan, dan mengembalikan semua barang-barang yang dirampas.

Demikian salah satu tuntutan Forum Guru Besar, Akademisi, Tokoh Masyarakat Sipil, Pegiat Hak Asasi Manusia (HAM), Aktivis 1998, dan lain-lain yang memprotes pembegalan konstitusi, di Markas Besar Kepolisian RI (Mabes Polri), Rabu (28/8/2024) sore.

Mereka juga meminta polisi menghentikan cara-cara brutal dan tidak manusiawi pada kegiatan penyampaian aspirasi menolak pembegalan konstitusi berupa revisi kilat Undang-Undang (UU) No 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

Aktivis Perempuan dan HAM dari Yayasan Humanis, Tunggal Pawestri mengungkapkan telepon seluler milik para mahasiswa demonstran menolak revisi UU Pilkada pada Kamis (22/8/2024) lalu masih disita oleh polisi. “Termasuk telepon genggam milik mahasiswa yang sudah dilepaskan aparat,” kata Tunggal Pawestri di Jakarta, Kamis (29/8/2024).

Aparat di kepolisian daerah, katanya, juga memaksa mahasiswa memberikan sandi pembuka telepon genggam tersebut.

Menurut Direktur Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid, banyak foto dan video dari 17 kota lokasi demonstrasi yang memperlihatkan kebrutalan aparat. “Saat ini sudah ada 72 dokumen visual yang berhasil diverifkasi yang memperlihatkan aparat berlaku kasar mulai dari ancaman, pukulan, tendangan, penggunaan water canon, gas air mata hingga mengeluarkan senjata api, meski belum digunakan, terhadap mahasiswa dan masyarakat sipil,” kata Usman Hamid.

Sejak Kamis (22/8/2024) lalu, belum diperoleh kejelasan berapa banyak sebenarnya yang ditangkap polisi di seluruh Indonesia. Untuk menyebut Jakarta saja, kata Usman, di Polres Jakarta Barat ada 109 orang yang ditangkap; lalu di Polda Metro Jaya sebanyak 29 orang termasuk anak sekolah, 11 di antara mereka ditetapkan sebagai tersangka.

Selain itu, berapa banyak korban luka belum benar-benar diketahui. Padahal, kata Omi Komaria Madjid, Ketua Dewan Pembina Nurcholish Madjid Society, aksi-aksi mahasiswa itu dimaksudkan untuk menjaga dan membela negaranya.

“Mereka memang bukan membela pemerintah, karena pemerintah itu bisa salah. Apakah kita akan membela pemerintah bila salah? Sekarang ini ada kesalahan (pemerintah), sehingga mahasiswa berdemonstrasi,” jelas Omi Komaria.

“Kapolri (Jenderal Listyo Sigit Prabowo) harus menjelaskan itu semua ke masyarakat sebagai bentuk pertanggungjawaban,” sambung Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia (UI).

Mahasiswa, katanya, mungkin saja melakukan perusakan fasilitas umum atau gerbang kantor pemerintah,
namun kejadian itu tidak dapat dijadikan alasan aparat untuk memukul dan menginjak-injak mahasiswa.

Menurut Sulistyowati, “Polisi adalah bagian dari masyarakat sehingga dalam menjalankan tugasnya, polisi harus membangun budaya hukum yang baik dan tidak semata-mata mengandalkan aturan teknis.”

Mantan Duta Besar RI yang juga ahli hukum Todung Mulya Lubis meminta kepolisian kembali kepada khittah-nya. Maksudnya, kembali kepada fungsi dan tugas polisi untuk mengamankan, menjaga ketertiban sipil dan mengayomi warga. “Pada banyak kasus yang terjadi sebaliknya, termasuk saat menangani kasus-kasus kriminal di masyarakat,” jelas Lubis.

Lubis mengingatkan, “Polisi itu aparatur sipil negara, jadi jangan melanggengkan budaya militeristis seperti saat mereka berada di bawah ABRI/TNI.”

“Apa yang terjadi setelah tahun 1999 ketika pemisahan Polri dari TNI/ABRI adalah capaian yang sangat strategis. Jika polisi masih satu keranjang dengan TNI, saya tidak menyalahkan kalau masih terimbas budaya militeristis. Tapi, sekarang kan sudah lama terpisah,” lanjutnya.

Wakil Ketua Komnas HAM 2002-2007 Zumrotin K Susilo khawatir polisi tidak mengetahui apa yang sungguh-sungguh sedang terjadi di masyarakat. Polisi juga dianggap tidak bekerja sesuai perintah undang-undang. “Sebab, bila polisi bekerja sesuai UU No 2 Tahun 2002 tentang Polri, yang terjadi adalah masyarakat akan menghormati polisi. Sekarang kan tidak,” ujar Zumrotin.

Selama hari-hari unjuk rasa sejak 22 Agustus, ratusan mahasiswa, pelajar dan masyarakat ditangkap. Di media sosial beredar video dan foto aksi-aksi kekerasan aparat di pelbagai kota. Warganet meminta kekerasan itu disudahi, tapi aparat tidak berhenti.

“Sebagai seorang Ibu, saya sedih sekali melihat mahasiswa, pelajar dan masyarakat ditindak semena-semena. Mereka disepak di jalanan. Mereka itu manusia, dan apa yang mereka tuntut itu sesuatu yang harus diperhatikan,” kata Tini Hadad, pendiri lembaga konsumen dan sejumlah organisasi non-pemerintah.

Pendidik Yayasan Cahaya Guru, Henny Supolo, mengingatkan, “Tidak akan mungkin ada generasi emas bila para mahasiswa berdiam diri, mendiamkan kesewenang-wenangan yang terjadi, yang mencederai rasa kebangsaan rakyat Indonesia.”

Henny mendorong mahasiswa untuk terus melakukan aksi dan meminta polisi menahan diri.

Mereka kemudian mendesak Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengundurkan diri sebagai bentuk pertanggungjawaban para anak buahnya di lapangan yang bertindak brutal dalam mengatasi aksi unjuk rasa.

Audit Belanja Polisi

Sementara itu, audiensi yang berlangsung Rabu (28/8/2024) petang kemarin tidak dihadiri oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Ia disebut sedang menghadiri suatu acara internasional. 

Akhirnya, kedatangan forum masyarakat sipil itu diterima oleh Koordinator Staf Ahli Kapolri, Irjen Hadi Gunawan; Kadiv Propam Mabes Polri Irjen Abdul Karim; dan Staf Ahli Media Sosial Mabes Polri, Rustika Herlambang, Tuntutan lain yang disampaikan oleh perwakilan masyarakat sipil itu adalah audit atas belanja dan penggunaan alat-alat keamanan yang dilakukan Polri.

Todung Mulya Lubis menyoroti pembelian alat-alat penyadapan yang digunakan untuk mengawasi masyarakat. Menurut dia, kepolisian tidak dapat begitu saja masuk ke wilayah pribadi masyarakat.

Kata Lubis, “Menegakkan hukum dan menjaga ketertiban harus memperhatikan kaidah dan menghormati prinsip-prinsip hak asasi manusia.”

Antropolog dan aktivis, Sandra Hamid menggugat mengapa polisi harus sekeras itu menghadapi mahasiswa. “Kalau mahasiswa melempar batu, polisi memiliki tameng. Tapi kalau polisi memukulkan tongkat dan melontarkan gas air mata, mahasiswa tidak punya apa-apa untuk menangkis atau bertahan. Saya meminta kejelasan, apakah ada kebijakan dari Kapolri agar menghadapi mahasiswa dengan begitu keras?” tanya Sandra Hamid.

Kapolri Mundur

Pada akhir pertemuan, forum menyampaikan tuntutan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk mundur sebagai pertanggungjawaban. Hal ini diminta bila Kapolri tidak selekasnya membebaskan, mengembalikan barang yang dirampas, dan tidak membuka kemungkinan audit atas belanja barang yang digunakan untuk mengawasi masyarakat sipil.

Di pihak lain, Kadiv Propam Mabes Polri Irjen Abdul Karim mengungkapkan akan segera mengeksekusi permintaan forum setelah mendapat arahan dari Kapolri.

Selain mengenai pembebasan segera, ia memberi perhatian juga kepada pengembalian barang-barang milik mahasiswa yang masih disita meski pemiliknya sudah dibebaskan.

Mereka yang hadir di Mabes Polri mewakili Forum Guru Besar, Akademisi, Masyarakat Sipil, dan Aktivis yang memprotes pembegalan konstitusi adalah Benny Susetyo, Henny Supolo, Heru Hendratmoko, Mamik Sri Supatmi, Omi Komaria Madjid, Sandra Hamid, Simon Petrus, Lili Tjahjadi, Sulistyowati Irianto, Tini Hadad, Todung Mulya Lubis, Usman Hamid, Zumrotin K Susilo, Alif Iman Nurlambang, Nong Darol Mahmada, dan Tunggal Pawestri.

Forum ini juga didukung oleh Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid, Andreas Harsono, Atika Makarim, Bivitri Susanti, Connie Rahakundini Bakrie, Erasmus Napitupulu, Erry Riyana Hardjapamekas, Goenawan Mohamad, Ikrar Nusa Bhakti, Karlina Supelli, Meuthia GanieRochman, Ray Rangkuti, Saiful Mujani, Ubedilah Badrun, dan Wakil Kamal.

Topik:

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo Kapolri Diminta Mundur Belanja Polisi