Pemerkosa-Pembunuh Siswi SMP di Palembang Dipulangkan, Rawan Berulah Lagi!


Jakarta, MI - Proses hukum terhadap empat pelaku pembunuhan dan pemerkosaan siswi SMP inisial AA, yakni IS berusia 16 tahun merupakan pelaku utama, MZ 13 tahun, MS 12 tahun, dan AS 12 tahun masih menuai sorotan hingga keluarga korban merasa kecewa "mereka tak manusiwai".
Tiga tersangka selain IS tidak ditahan. Bahwa Polrestabes Palembang menyerahkan mereka ke panti rehabilitasi di kawasan Indralaya, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan (Sumsel).
“Undang-Undang melindungi mereka dari terpencil mengingat usia dan status mereka sebagai anak-anak,” kata Kapolrestabes Palembang, Kombes pol Harryo Sugihhartono, Jumat (6/9/2024).
Harryo mengatakan ketiga pelaku akan dibina sesuai Undang-Undang Perlindungan Anak Pasal 32 dengan status Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH).
Selain itu, pertimbangan hukum polisi juga menggunakan pertimbangan keselamatan jiwa dari ketiga pelaku.
Menurut pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar para pelaku kasus tersebut tak bisa dihukum pidana mati dan penjara seumur hidup. Sebab, mereka terbilang anak di bawah umur. "Di peradilan anak itu tidak dikenal hukuman seumur hidup atau mati," kata Abdul Fickar Hadjar kepada Monitorindonesia.com, Jum'at (9/9/2024).
Namun kata dia, tiga pelaku selain IS itu tetap menyandang status tersangka. "Tiga pelaku tetap statusnya itu sebagai tersangka. Hanya saja tidak ditahan Tapi, tetap diproses, karena kan belum tentu dia juga bersalah. Jadi polisi itu tidak punya kewenangan untuk menyatakan orang salah atau tidak salah," lanjut dia.
"Polisi itu penyidik, (berkas) dilempar ke pengadilan, dan nanti pengadilan lah yang punya kewenangan menentukan orang itu salah atau tidak,” timpalnya.

Saat ditanya soal kaitannya dengan pemberian rehabilitasi kepada para pelaku, Abdul Fickar menilai hal tersebut bukan ranah kepolisian. “Rehabilitasi itu bukan urusan polisi. Jadi (pelaku) tetap statusnya itu sebagai tersangka Hanya saja tidak ditahan,” tegasnya lagi.
BACA JUGA: Awal Mula Pembunuhan dan Pemerkosaan Siswi SMP di Palembang hingga Pelaku Kecanduan Nonton Bokep
Memang benar bahwa pelaku tindak pidana yang masih berusia di bawah 18 tahun tidak dapat divonis hukuman mati atau seumur hidup. Hal ini dapat menjadi jawaban bagi maraknya “tuntutan” masyarakat agar anak yang melakukan tindak pidana berat, seperti pembunuhan, mendapatkan hukuman setimpal.
Itu bedanya anak-anak dengan orang dewasa. Setidaknya ada pengecualian terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Yakni, sidang berlangsung tertutup dan dihadiri hanya oleh orang tua dan saksi.
Kemudian, ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara menjadi 10 tahun. Sebab, hukuman yang dijatuhi harus separuh dari hukuman yang dikenakan.
"Begitu keistimewaan anak-anak itu," kata Abdul Fikar Hadjar.
Kendati, menurut hukum, anak Indonesia tidak lagi menjadi domain orang tua, tapi milik negara yang harus diperhatikan agar tumbuh dengan baik tanpa kekerasan.
Sehingga terciptalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) untuk memberikan kepastian perlindungan bagi mereka. Dalam UU SPPA, seseorang dikategorikan sebagai anak, sejak dalam kandungan sampai sebelum usia 18 tahun.
Kemudian, anak yang berhadapan dengan hukum dapat dibagi menjadi anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban hukum, dan anak sebagai saksi tindak pidana.
Khusus anak yang berkonflik dengan hukum atau sebagai pelaku, batasan usianya adalah 12 sampai 18 tahun. Batasan usia ini merujuk pada Konvensi Hak Anak.
Anak usia di bawah 12 tahun tidak boleh diproses hukum, sehingga sanksinya berupa tindakan, seperti pengembalian kepada orang tua atau wali, kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta.
Untuk diketahui, UU SPPA seorang pelaku tindak pidana anak dapat dikenakan dua jenis sanksi, yaitu tindakan dan pidana. Perihal pro kontra anak yang sudah menikah sebelum usia 12 tahun pun tidak dapat dikategorikan sudah dewasa karena pengecualian itu tidak disebutkan dalam Undang-Undang Perkawinan dan Perlindungan Anak.
Sebagai hukum acara, UU SPPA memiliki sistem sendiri, berbeda dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Misalnya, anak tidak boleh diinterogasi, harus ada pengurangan hukuman satu per tiga dari orang dewasa, dan tidak boleh dihukum seumur hidup atau pidana mati apa pun perbuatan pidananya.
BACA JUGA: Cabuli Adik Ipar Hingga Hamil, Polisi Tangkap Pelaku
Perlu diingat bahwa ketika seorang anak melakukan perbuatan pidana, harus dapat melihat kenapa dia melakukan hal itu. Kalau anak diumpamakan kertas putih, siapa yang menggambar jadi bagus atau jelek? Orang tua, lingkungan rumah, sekolah, dan masyarakat.
Jika anak memperkosa atau melakukan pencabulan lalu berujung pembunuhan, dia memakai handphone orang tua yang banyak gambar-gambar dewasa, tanpa pengawasan. Lalu anak bisa membuka video porno di sekolah, berati guru tidak memberikan cukup kegiatan.
Karena itu, orang tua dan guru sama-sama mempunya kewajiban menolong dan membimbing anak. Dalam membimbing anak, orang tua harus menyesuaikan zaman. Anak zaman sekarang tidak bisa hanya dilarang, harus dijelaskan alasannya. Namun pada prinsipnya, hukuman pidana tetap mengedepankan kepentingan anak karena masa depannya masih panjang.
Orang dewasa saja bisa dibina apalagi anak-anak!
Orang dewasa saja dibina agar bisa jadi masyarakat yang baik lagi. Lantas apakah pidana penjara bisa memberikan efek jera? Banyak orang keluar dari penjara menjadi residivis.
Hal ini dikarenakan ada stigma masyarakat, dia dianggap sebagai orang jahat seumur hidupnya. Maka lingkaran setan harus diperbaiki. Orang dewasa tidak bisa mendapat pekerjaan, anak tidak diterima di sekolah umum dengan alasan reputasi sekolah, padahal mereka harus melanjutkan hidupnya.
Karena tidak diterima oleh masyarakat, mereka kembali lagi ke lingkungan yang negatif karena di situ dia diterima. Oleh karena itu UU SPPA mengatur tentang keadilan restoratif dan diversi.
Diversi merupakan praktik keadilan restoratif dengan mengalihkan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
Kendati, tidak semua perbuatan pidana yang dapat didiversi. Syaratnya, ancaman hukumannya di bawah tujuh tahun dan bukan tindak pidana pengulangan.
Maka, polisi, jaksa, dan hakim berperan sebagai fasilitator. Harus ada korban yang dihadirkan supaya bisa didengarkan apa yang diinginkan. Di lain sisi, pengadilan adalah upaya terakhir untuk menyelesaikan kasus pidana yang pelakunya adalah anak.
Tujuan pidana anak itu bukan pembalasan, karena anak-anak ini adalah generasi penerus di masa depan. Karena itu pula, ancaman hukuman yang diberikan untuk anak yang melakukan tindak pidana hanya setengah dari orang dewasa. Misalnya kasus pembunuhan yang ancamannya mencapai 20 tahun, menjadi setengahnya atau 10 tahun.
Pemerkosaan dan pembunuhan AA
Kasus pembunuhan dan pemerkosaan siswi itu terjadi di tempat pemakaman umum (TPU) Tionghoa di Palembang yang terjadi pada Minggu (31/8/2024) lalu, sekitar pukul 16.00 WIB.
Alibi sakit hati sehingga IS melakukan tindakan keji itu, yakni lantaran cintanya ditolak korban. IS lalu mengajak tiga siswa SMP yakni MZ (13), NS (12), dan AS (12) untuk menyekap dan memperkosa korban hingga tewas pada Minggu (1/9/2024).
IS juga terpapar film dewasa sehingga ingin melampiaskan nafsunya. IS telah menjalani pemeriksaan psikologi didampingi Biro SDM Polda Sumsel dan pengacara yang ditunjuk kepolisian.
Keputusan polisi memulangkan tiga orang tersangka pemerkosaan dan pembunuhan siswi SMP di Palembang dinilai dapat menimbulkan rasa sakit hati bagi keluarga korban.
Rawan berulah lagi
Pemerhati anak, Retno Listyarti, mengatakan bahwa para tersangka yang masih berusia anak itu semestinya dititipkan di balai rehabilitasi milik pemerintah, bukan dikembalikan ke rumah orang tua mereka.
"Jika anak dititipkan ke orang tuanya, ini bisa menimbulkan kemarahan dari pihak keluarga korban, karena mungkin tidak semua orang memahami UU SPPA, (Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak)," kata Retno kepada Monitorindonesia.com, Senin (9/9/2024).

Retno yang juga Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menjelaskan, UU SPPA memang mengatur bahwa anak-anak berusia di bawah 14 tahun memang tidak dapat ditahan, tetapi bukan berarti mereka tidak dapat diproses secara hukum.
Ia mengingatkan, proses hukum tersebut pun harus disesuaikan dengan psikologis para tersangka yang masih berusia anak.
Oleh karena itu, Retno menilai, polisi semestinya membawa para tersangka ke panti rehabilitasi yang mempunyai layanan psikologis ketimbang memulangkan mereka ke rumah orang tua.
"Polisi harus menjelaskan bahwa ini bukan soal melindungi pelaku, tetapi mengikuti ketentuan yang diatur dalam UU SPPA. Anak yang belum 14 tahun memang tidak bisa ditahan, tetapi mereka tetap akan diadili sesuai dengan proses hukum yang berlaku," kata Retno.
BACA JUGA: 10 Provinsi dengan Kasus Pemerkosaan Tertinggi di Indonesia, Aceh Teratas
Menurut Retno, menitipkan para tersangka ke balai rehabilitasi juga dapat menjadi jalan tengah untuk meredam kemarahan keluarga korban, menegakkan hukum, serta menjamin hak para tersangka yang masih berusia anak
"Dengan menitipkan ke balai rehabilitasi, proses hukumnya tetap berjalan, dan anak-anak tersebut bisa menjalani pendidikan jarak jauh (PJJ) sambil menunggu proses hukum," ujar Retno.
Keluarga korban kecewa
Keluarga korban kecewa karena pelaku yang berusia 12 dan 13 tahun hanya direhabilitasi dan dipulangkan ke orang tua masing-masing. Ayah korban, Safarudin, merasa tidak terima ketika ia mendengar kabar soal tiga dari empat pelaku tidak ditahan polisi.
"Barulah lega pelakunya dapat. Ini saya sudah tenang, sudah enak, nah ini jadi kacau lagi sekarang pikiran," ungkapnya.
Safarudin menilai, walau tiga pelaku masih berstatus di bawah umur, perbuatan mereka terhadap AA tidak manusiawi. Dia berharap agar kepolisian memberikan hukuman yang sama bagi keempat pelaku. Saya minta tolong sama bapak kepolisian mana keadilannya, kasih saja empat-empatnya hukuman setimpal," tandasnya.
Sementara itu Marlina, Wak kandung korban, mengatakan bahwa ia berharap empat tersangka tersebut dihukum setimpal atas perbuatan nya yang sudah membunuh dan merudapaksa keponakannya.
"Tega, masih kecil kok tega melakukan itu, saya mohon kepolisian agar menghukum setimpal. Keponakan saya, anak yang mandiri anak yang baik, soleha bahkan tidak pernah meminta-minta, saat ia ingin punya HP pun ia rela jualan balon jadi bisa terbayang berapa sedihnya kami," katanya.
Motif nonton bokep
Adapun Motif dari aksi pemerkosaan dan pembunuhan tersebut adalah menonton film porno dari handphone salah satu tersangka. Hal tersebut terungkap berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap para pelaku, terutama pelaku utama berinisial IS (16).
Harryo Sugihhartono, Kapolrestabes Palembang menjelaskan, IS mengumpulkan film porno maupun video cabul di dalam Hp miliknya. Hal itulah, katanya, yang memicu eksplorasi nafsu pelaku utama tersebut.
Harryo menjelaskan pembunuhan ini berawal korban AA diajak bertemu pelaku IS (16). Pelaku IS yang merupakan kekasih korban mengajak AA menonton pertunjukan kuda kepang di Kelurahan Pipa Reja, Kecamatan Kemuning. "Modusnya dengan mengajak korban jalan. Korban kemudian diajak ke lokasi (TPU) dekat krematorium," kata Harryo.

Ketika tiba di lokasi, pelaku membekap hidung dan mulut korban hingga lemas. Setelah itu, rekan-rekan pelaku yang berada di lokasi berinisial MZ (13), NZ (12), dan AS (12) ikut mencabuli korban.
"Setelah korban lemas, para pelaku kemudian mencabuli korban secara bergilir. Diawali oleh IS, MZ, NZ, dan AS," katanya.
Setelah korban dicabuli, para pelaku berpindah ke lokasi kedua berjarak kurang lebih 30 menit dari lokasi pertama. Harryo menyebut, di sanalah lokasi korban ditemukan tak bernyawa. "Di TKP kedua, korban kembali dicabuli dalam keadaan telah meninggal dunia. Mereka mencabuli korban dengan caranya masing-masing," katanya.
Dalam penyelidikan berdasarkan hasil visum, polisi melihat jelas adanya tanda tindakan pidana karena menemukan luka di bagian leher, hingga patah tulang lidah, selain itu pakaian kaos bola yang dipakai oleh korban sudah dalam keadaan melorot.
Para pelaku terjerat pasal penganiayaan dan pencabulan anak yakni pasal 76 C dan Pasal 80 ayat 3 UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara dan denda Rp3 miliar.
Terkait kasus ini, Dinas Pendidikan Kota Palembang, Sumatera Selatan meminta para guru untuk meningkatkan pembekalan agama bagi siswa untuk mencegah perilaku menyimpang siswa baik di sekolah maupun saat di luar jam sekolah.
Kepala Dinas Pendidikan Kota Palembang Adrianus Amri dikonfirmasi di Palembang, Kamis, mengatakan bahwa pembekalan agama berpengaruh guna mencegah terjadinya penyimpangan perilaku buruk bagi siswa, mengingat adanya kasus yang baru-baru ini diungkap oleh kepolisian terkait pembunuhan seorang siswi SMP di mana para pelaku merupakan anak di bawah umur dan masih duduk di bangku sekolah.
Ia menambahkan pihaknya juga memacu program sosialisasi untuk mencegah siswa dari bahaya kenakalan remaja, seperti sosialisasi pencegahan judi online hingga bullying. "Kami menekankan agar para guru meningkatkan pembekalan agama dan norma -norma kehidupan," katanya.
Pun, dia berharap agar tidak ada lagi kasus kriminal lainnya yang bahkan sampai melibatkan anak di bawah umur. (wan)
Topik:
Pembunuhan Pemerkosaan Palembang Anak di bawah UmurBerita Terkait

Wanita di Jambi Tewas Dibunuh Saat Jual Beli Mobil, Pelaku Gasak Pajero Putih
23 jam yang lalu

Wanita di Kedoya Selatan Ditemukan Tewas, Suami Serahkan Diri ke Polisi
24 September 2025 08:40 WIB
![Gegara Asmara, Pemuda di Jakarta Utara Tewas Dihabisi Rekannya Ilustrasi [Foto: Ist]](https://monitorindonesia.com/storage/news/image/ilustrasi-mayat-1.webp)
Gegara Asmara, Pemuda di Jakarta Utara Tewas Dihabisi Rekannya
19 September 2025 12:05 WIB

Polisi Tangkap 15 Orang Terkait Kasus Penculikan dan Pembunuhan Kacab BRI
27 Agustus 2025 12:37 WIB