Lamban Usut Dugaan Korupsi Jampidsus Febrie Adriansyah, Power KPK Redup Berhadapan dengan APH


Jakarta, MI - Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum (FH) Universitas Mulawarman (Unmul), Herdiansyah Hamzah menilai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lamban dalam menangani kasus dugaan korupsi yang melibatkan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) Febrie Adriansyah. Laporan kasus ini telah bergulir 8 bulan atau sejak Mei 2024.
Pun, KPK dinilainya kehilangan power saat berhadapan dengan aparat penegak hukum (APH) lainnya. "Ada kecenderungan KPK kehilangan power saat berhadap dengan APH lainnya maupun politisi dilingkar kekuasaan. Ini pertanda KPK tidak profesional menjalankan kewajibannya sebagaimana yang diamanahkan UU," kata Castro sapaannya, Kamis (6/2/2025).
"Harusnya KPK tidak memandang siapa dan institusi mana dia berasal, tapi berdasarkan kesalahan yang diperbuatkan. Jangan tersandera dan terpengaruh dengan relasi kuasa," timpalnya.
Dia pun mendesak KPK bisa bekerja secara profesional tanpa pandang bulu.
Diketahui, Koalisi Sipil Selamatkan Tambang (KSST) melaporkan Febrie ke KPK atas dugaan korupsi terkait pelaksanaan lelang barang rampasan berupa satu paket saham PT Gunung Bara Utama (GBU) yang digelar oleh Pusat Pemulihan Aset (PPA) Kejaksaan Agung.
Laporan itu dilayangkan pada Senin, 27 Mei 2024 lalu.
KSST merupakan koalisi gabungan dari beberapa organisasi masyarakat, seperti Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Indonesia Police Watch (IPW), dan praktisi hukum seperti Deolipa Yumara.
KSST menduga ada perbuatan rasuah dalam pelaksanaan lelang barang rampasan benda sita korupsi berupa satu paket saham PT GBU.
Saham tersebut merupakan rampasan dari kasus korupsi asuransi PT Jiwasraya yang dilelang Pusat Pemulihan Aset (PPA) Kejagung pada 18 Juni 2023 dan dimenangkan PT Indobara Putra Mandiri (IUM).
Adapun kejanggalannya, saham tersebut dijual hanya dengan harga Rp1,945 triliun, padahal nilai saham perusahaan batu bara di Kalimantan tersebut seharusnya mencapai Rp12 triliun. Sehingga negara diduga mengalami kerugian hingga Rp7 triliun.
Juru bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto ketika dikonfirmasi mengatakan, hingga saat ini belum ada penyidikan terkait dengan laporan yang dilayangkan Koalisi Sipil Selamatkan Tambang (KSST) tersebut.
"Sepanjang sepengetahuan saya memang belum ada subjek atau objek perkara yang tadi ditanyakan di tingkat penyidikan, sampai dengan saat ini belum ada," kata dia di Jakarta, dikutip Kamis (6/2/2025).
Dia menjelaskan, dalam pengusutan sebuah laporan dugaan korupsi, pihaknya perlu melakukan verifikasi, telaah dan pengumpulan bahan keterangan.
"Bila dianggap sudah memenuhi syarat untuk dinaikkan ke penyelidikan, tentunya akan dinaikkan ke penyelidikan kan. Bila ada persyaratan yang masih kurang, akan dimintakan kepada pihak pelapor untuk memenuhi," tukas Tessa.
Kejagung bilang keliru
Kejaksaan Agung (Kejagung) menyatakan, laporan itu keliru. Kapuspenkum Kejagung, Ketut Sumedana menegaskan bahwa pelaksanaan lelang tersebut dilakukan PPA Kejagung dan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan (DJKN Kemenkeu). Lelang itu digelar setelah adanya putusan Mahkamah Agung pada 24 Agustus 2021.
"Jadi pelaporan yang ditujukan untuk Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus adalah laporan yang keliru,” kata Ketut Sumedana kepada Monitorindonesia.com, Rabu (29/5/2024).
Ketut menjelaskan kronologis lelang paket saham PT Gunung Bara Utara ini. Dikatakan, PT GBU mulanya akan diserahkan kepada Bukit Asam yang merupakan perusahaan BUMN. Namun, penyerahan itu ditolak karena PT GBU memiliki banyak masalah seperti utang dan menghadapi berbagai gugatan hukum.
Jampidsus Kejagung kemudian melakukan proses penyidikan dan ada gugatan keperdataan yang diajukan PT Sendawar Jaya. Kejagung memenangkan gugatan tersebut pada tingkat banding.
Selanjutnya, Kejagung menemukan adanya dokumen palsu setelah meneliti berkas dalam gugatan tersebut. "Sehingga ditetapkanlah Ismail Thomas sebagai tersangka yang kini sudah diadili," bebernya.
Ketut Sumedana menambahkan, dalam proses lelang PT GBU terdapat penilaian terkait dengan aset atau bangunan alat bangunan yang melekat pada PT GBU dengan nilai sekitar Rp 9 miliar dan perhitungan terkait dengan PT GBU dengan nilai Rp 3,4 triliun. Kedua penilaian itu dilakukan dalam satu proses pelelangan pertama, tetapi satu pun tidak ada yang menawar.
Untuk itu, Ketut membantah adanya kerugian sebesar Rp 9 triliun dari proses pelelangan tersebut sebagaimana yang dilaporkan KSST kepada KPK.
"Karena tidak ada yang melakukan penawaran terhadap appraisal senilai Rp 9 triliun tersebut, sedangkan yang laku hanya senilai Rp 9 miliar," katanya. (red)
Topik:
KPK Kejagung Jampidsus