Menteri BUMN Erick Beri Contoh Buruk di Tengah Penyidikan Korupsi Pertamina, Layak Mundur!


Jakarta, MI - Kejaksaan Agung (Kejagung) layak diapresiasi atas kinerjanya dalam perang melawan korupsi terutama dalam kasus PT Pertamina yang menjadi keresahan masyarakat.
Begitu mendapat bukti, langsung menetapkan 9 orang sebagai tersangka kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018–2023.
Namun yang menjadi sorotan Azmi Syahputra, dosen hukum pidana dari Universitas Trisakti (Usakti) adalah pertemuan antara Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir dengan Jaksa Agung ST Burhanuddin saat hangatnya pengusutan kasus ini oleh penyidik gedung bundar Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus) Kejagung.
"Ini adalah contoh buruk, miskin integritas, apa pun judulnya atas nama silaturahmi atau mau klarifikasi maupun apakah ada keterangan diam-diam untuk celah rahasia yang tidak boleh diungkap dalam kasus ini, bila dikaitkan dalam kapasitasnya sebagai penyelenggara negara apalagi pegawai (anak buah di unit Pertamina) orang yang ditunjuknya telah ditetapkan sebagai tersangka," ujar Azmi saat berbincang dengan Monitorindonesia.com, Kamis (6/3/2025) malam.
Semestinya dan sangat bijaksana, lanjut Azmi, bila Erick Thohir mundur dari jabatannya sebagai Menteri BUMN karena telah gagal dengan menunjuk dan menempatkan orang-orang di unit BUMN yang tidak benar.
"Bukan pula malah kunjungan klarifikasi dengan alasan apa pun pada Jaksa Agung, dan semestinya Jaksa Agung juga bisa menahan diri, anti kompromi karena tim pidana khusus sedang memeriksa jaringan pelaku curang spesifikasi produk, maupun markup harga beli minyak impor, di mana pelaku korupsi jamaah ini dengan jelas menyalahgunakan kewenangan jabatan dan merugikan masyarakat," beber Azmi.
Pun, Azmi yang juga Sekretaris Jenderal (Sekjen) Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupuki) menilai kunjungan dadakan ini menjadi tanda tanya: Apakah ada udang di balik batu, sehingga akan sulit membedakan "who controlled the controller" dalam kasus ini, mengingat kasus ini menjadi salah satu skandal korup keuangan terbesar di Indonesia dan menambah panjang daftar kasus korupsi BUMN dengan kerugian negara yang sangat besar.
"Karenanya diharapkan Kejagung terus melakukan penyelidikan dengan tuntas untuk memastikan semua pihak yang terlibat harus bertanggung jawab atas perbuatan yang curang dan merugikan masyarakat," harap Azmi Syahputra.
Sementara itu, Erick Thohir sendiri mengungkapkan bertemu Jaksa Agung, ST Burhanuddin untuk membahas kasus korupsi Pertamina hingga dugaan praktik pertamax oplosan.
"Kemarin saya dan Pak Jaksa Agung, silakan Pak Jaksa Agung ditanya, saya rapat jam 11 malam. Mengenai isu apakah ini blending, oplosan kita tidak mau berargumentasi. Tetapi kalau itu ada oplosan di titik tertentu, ya kita, tadi sudah dilakukan penindakan," kata Erick, Sabtu (1/3/2025).
Pun, Erick juga menyebut pihaknya akan ikut membantu dan mendukung Kejagung untuk mengusut tuntas kasus tersebut.
9 tersangka
Kasus ini melibatkan direksi anak perusahaan Pertamina serta pihak swasta. Bahwa berdasarkan alat bukti yang cukup, Kejagung sebelumnya telah menetapkan tujuh orang sebagai tersangka pada 24 Februari 2025. Para tersangka termasuk Riva Siahaan, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, dan beberapa pejabat tinggi lainnya di Pertamina dan subholdingnya.
Tak lama kemudian Kejagung menetapkan dua tersangka baru pada 26 Februari 2025. 9 tersangka itu adalah:
1. Riva Siahaan, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga
Dalam kasus ini, Riva bersama Sani Dinar Saifuddin dan Agus Purwono, Riva diduga melakukan pengondisian dalam rapat optimalisasi hilir yang dijadikan dasar untuk menurunkan produksi kilang.
Mereka juga memenangkan broker minyak mentah dan produk kilang secara melawan hukum. Riva juga diduga "menyulap" BBM jenis Pertalite menjadi Pertamax.
2. Sani Dinar Saifuddin, Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional
Dalam kasus ini, ia bersama Riva Siahaan dan Agus Purwono, Sani diduga melakukan pengondisian dalam rapat optimalisasi hilir yang dijadikan dasar untuk menurunkan produksi kilang.
Mereka juga memenangkan broker minyak mentah dan produk kilang secara melawan hukum.
3. Yoki Firnandi, Direktur Utama PT Pertamina International Shipping
Dalam kasus korupsi ini, Yoki diduga melakukan mark-up kontrak pengiriman minyak mentah dan produk kilang.
Hal itu menyebabkan negara harus membayar biaya pengiriman lebih tinggi dari seharusnya.
4. Agus Purwono, Vice President Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional
Peran dia dalam kasus ini adalah bersama Riva Siahaan dan Sani Dinar Saifuddin, Agus diduga terlibat dalam manipulasi rapat optimalisasi.
Ia juga terlibat dalam pengondisian yang memungkinkan broker minyak meraih kemenangan secara ilegal.
5. Muhammad Kerry Adrianto Riza, Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa
Ia, disebut terlihat dalam praktik mark-up kontrak pengiriman yang dilakukan Yoki.
Akibat mark-up yang dilakukannya, negara harus membayar fee tambahan sebesar 13-15 persen yang menguntungkan Kerry.
6. Dimas Werhaspati, Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan PT Jenggala Maritim
Dimas bersama Gading Ramadhan Joedo diduga melakukan komunikasi dengan Agus Purwono untuk mendapatkan harga tinggi dalam kontrak, meskipun syarat belum terpenuhi.
7. Gading Ramadhan Joedo, Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak
Gading bersama Dimas menjalin komunikasi dengan Agus Purwono demi memuluskan kontrak harga tinggi.
Ia juga diduga mendapatkan persetujuan dari Sani Dinar Saifuddin dan Riva Siahaan untuk impor minyak mentah dan produk kilang.
8. Maya Kusmaya, Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga
Maya Kusmaya diduga memerintahkan dan memberikan persetujuan untuk melakukan pembelian bahan bakar minyak (BBM) RON 90 atau lebih rendah dengan harga RON 92.
Selain itu, Maya juga memerintahkan pengoplosan produk kilang jenis RON 88 (premium) dengan RON 92 (pertamax) di terminal PT Orbit Terminal Merak. Tindakan ini menyebabkan pembayaran impor produk kilang dengan harga tinggi yang tidak sesuai dengan kualitas barang.
9. Edward Corne, VP Trading Operation PT Pertamina Patra Niaga
Edward Corne diduga terlibat dalam pembelian BBM RON 90 atau lebih rendah dengan harga RON 92 atas persetujuan Riva Siahaan.
Edward juga terlibat dalam pengoplosan produk kilang jenis RON 88 dengan RON 92 di terminal PT Orbit Terminal Merak.
Selain itu, Edward melakukan pembayaran impor produk kilang menggunakan metode spot atau penunjukan langsung, yang menyebabkan PT Pertamina Patra Niaga membayar impor produk kilang dengan harga tinggi.
Pun, Kejaksaan Agung menyebut kerugian negara akibat kasus ini diperkirakan mencapai Rp193,7 triliun. Namun, Kejagung memperkirakan bahwa kerugian negara bisa mencapai hampir Rp1 kuadriliun jika dihitung secara keseluruhan untuk periode 2018-2023.
Angka ini mencakup berbagai komponen, seperti kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri, pembelian minyak impor dengan harga tidak wajar, dan pemberian subsidi serta kompensasi yang seharusnya bisa ditekan jika tata kelola energi berjalan dengan baik.
Kasus ini menjadi salah satu skandal keuangan terbesar di Indonesia dan menambah panjang daftar kasus korupsi dengan kerugian negara yang sangat besar. Kejagung terus melakukan penyelidikan untuk memastikan semua pihak yang terlibat bertanggung jawab atas perbuatannya.
Topik:
Kejagung Korupsi Pertamina BUMN Erick ThohirBerita Sebelumnya
Istri Tom Lembong Harap Nota Keberatan Suaminya Dikabulkan Hakim
Berita Selanjutnya
Polri Mulai Usut Korupsi PLN, Siapa Terbidik?
Berita Terkait

Penerima Dana Korupsi BTS Rp243 M hampir Semua Dipenjara, Dito Ariotedjo Melenggang Bebas Saja Tuh!
11 jam yang lalu

Kejagung Periksa Dirut PT Tera Data Indonesia terkait Kasus Chromebook
30 September 2025 12:29 WIB