Menanti Kejagung Seret Direksi Pertamina Pelaku Pengadaan Minyak Mentah 2018-2020

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 8 Maret 2025 19:49 WIB
Kejaksaan Agung (Foto: Dok MI/Aswan)
Kejaksaan Agung (Foto: Dok MI/Aswan)

Jakarta, MI - Penyidikan Kejaksaan Agung (Kejagung) terkait kasus dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang sepertinya hanya menyasar periode 2021-2023, dimana subholding PT Pertamina Patra Niaga mulai berperan aktif. 

Namun, mengapa periode 2018-2020 yang masih berada di bawah kendali langsung PT Pertamina (Persero) tidak disorot? 

Padahal, berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), pengadaan minyak mentah dan produk kilang dalam periode tersebut telah menunjukkan berbagai kelemahan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian internal.

"Apakah ada ketidaksesuaian antara hasil audit BPK dengan fakta hukum yang ditemukan Kejaksaan? Atau, apakah ada penyimpangan yang tidak terungkap dalam audit BPK?," tanya Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW) Iskandar Sitorus kepada Monitorindonesia.com, Sabtu (8/3/2025).

Dalam LHP BPK atas Pengadaan Minyak Mentah dan Produk Kilang Tahun 2018-Semester I 2021, disebutkan bahwa:

1. Pengadaan minyak mentah dan produk kilang pada 2018-2020 masih dilakukan langsung oleh PT Pertamina (Persero).

2. Struktur subholding baru mulai efektif setelah restrukturisasi Kementerian BUMN pada 2020-2021, di mana PT Pertamina Patra Niaga dan PT Kilang Pertamina Internasional mulai berperan.

Jika memang terjadi korupsi dalam proses pengadaan minyak mentah, seharusnya penyelidikan tidak hanya berfokus pada periode subholding (2021-2023), tetapi juga mencakup 2018-2020, saat masih di bawah kendali penuh Pertamina (Persero), sebut Iskandar Sitorus.

Temuan utama LHP BPK 2018-2020 yang mengindikasikan penyimpangan adalah:

1. Keterlambatan pengiriman dan pemborosan. 

Disebut pembelian minyak mentah Bonny Light dari SIETCO terlambat, menyebabkan pemborosan USD 3,78 juta dan denda USD 437.500 belum disepakati. 

Pembelian minyak mentah Bonga dari Vitol juga terlambat, menyebabkan kerugian USD 1,64 juta.

2. Kerugian akibat Incoterm CFR (Cost and Freight), yakni Pertamina menggunakan tanggung jawab atas barang berpindah ke Pertamina setelah dimuat di kapal, meskipun transportasi masih dibiayai oleh penjual. 

Akibatnya, terjadi kerugian akibat selisih volume minyak mentah sebesar 108.344,89 barel atau USD 7,7 juta. Tidak ada evaluasi rutin untuk mengurangi kerugian ini.

3. Pengawasan internal yang lemah, evaluasi terhadap mitra usaha tidak dilakukan secara rutin dan tidak ada analisis mendalam mengenai metode pengadaan minyak yang paling efisien.

Rekomendasi BPK sebelumnya tidak juga ditindaklanjuti, menyebabkan kerugian terus berulang.

4. Penyusunan harga perkiraan sendiri (HPS) tidak akurat, dimana HPS dalam pengadaan Mogas 92 (bensin) tidak berdasarkan data terkini, menyebabkan harga lebih tinggi dari seharusnya dan berpotensi merugikan negara.

5. Tidak ada sanksi tegas sebab BPK hanya merekomendasikan sanksi administratif, tetapi tidak ada langkah konkret untuk mengusut lebih lanjut potensi pidana dalam pengadaan minyak ini.

Lalu, mengapa LHP BPK tidak menyoroti dugaan korupsi secara langsung pada saat mengaudit? Dalam LHP BPK, temuan yang berpotensi sebagai penyimpangan sering kali dibungkus dengan istilah administratif, seperti "ketidakefektifan pengendalian internal", padahal ini bisa berarti kelalaian atau kesengajaan dalam mengatur pengadaan.  

Lalu narasi "keterlambatan pengiriman menyebabkan pemborosan", tetapi tidak disebut apakah ada unsur mark-up atau suap dalam kontrak. 

"Demikian juga penyebutan "penggunaan metode Incoterm CFR tidak optimal", tetapi tidak dijelaskan apakah ada konflik kepentingan dalam memilih metode ini," jelas Iskandar Sitorus.

Bahasa audit yang terlalu teknis dan administratif ini dapat mengaburkan potensi penyimpangan yang sebenarnya bisa mengarah ke tindak pidana korupsi, sebutnya tersenyum.

Jika Kejaksaan Agung telah menemukan indikasi kerugian ratusan triliun rupiah dalam periode 2021-2023, maka ada kemungkinan pola korupsi ini sudah berlangsung sejak lama, termasuk di era 2018-2020 saat Pertamina masih mengelola pengadaan secara langsung. 

Maka Kejagung perlu mempertimbangkan fakta bahwa dalam periode 2018-2020, pengadaan minyak mentah dan produk kilang masih berada di bawah kendali langsung PT Pertamina (Persero), bukan subholding. 

Sehingga jika subholding yang baru berperan dalam 2021-2023 bisa diduga terlibat korupsi, maka perlu juga ditelusuri apakah praktik serupa telah terjadi sebelumnya, ketus Iskandar Sitorus.

Kesimpulan IAW, jangan berhenti di 2021-2023, periksa juga 2018-2020 karena audit BPK menunjukkan adanya kelemahan dalam pengadaan minyak mentah dan produk kilang 2018-2020 yang bisa membuka celah bagi penyimpangan besar. 

Fakta pula bahwa pengadaan masih dikelola langsung oleh Pertamina pada periode tersebut membuatnya layak untuk diselidiki lebih lanjut. 

Sehingga jika dugaan korupsi dalam pengadaan minyak bisa terjadi pada 2021-2023, maka sangat mungkin bahwa pola yang sama telah berjalan sejak 2018-2020.

Kejaksaan Agung seharusnya tidak hanya fokus pada kasus di era subholding, tetapi juga melakukan investigasi menyeluruh terhadap pengadaan minyak di bawah Pertamina (Persero) sebelum restrukturisasi berlangsung. 

Apakah ada kepentingan yang sengaja membatasi penyelidikan hanya pada periode subholding?

Mengingat dampaknya terhadap keuangan negara dan ketahanan energi nasional, publik berhak mendapatkan jawaban yang lebih jelas. 

Kejagung harus laksanakan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menyatakan bahwa keuangan BUMN yang mendapat penyertaan modal dari negara merupakan bagian dari keuangan negara lalu UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menegaskan bahwa tindakan yang merugikan keuangan negara dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. 

Menurut Iskandar, dengan dasar hukum ini, tidak ada alasan untuk tidak memperluas penyelidikan ke periode 2018-2020.

Jika Kejaksaan Agung serius dalam menegakkan hukum, maka tidak cukup hanya menyasar subholding. 

"Investigasi harus menyeluruh, dari hulu ke hilir, termasuk ke periode sebelum restrukturisasi Pertamina," pungkas Iskandar.

Hingga kini, sudah 9 orang yang ditetapkan tersangka dalam kasus korupsi minyak, beberapa diantaranya merupakan pejabat Pertamina dan anak usaha perusahaan plat merah tersebut.

Yakni Riva Siahaan (RS) selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Sani Dinar Saifuddin (SDS) selaku Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, serta Yoki Firnandi (YF) selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping.

Lalu, Agus Purwono (AP) selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional, Maya Kusmaya (MK) selaku Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga, dan Edward Corne (EC) selaku VP Trading Operations PT Pertamina Patra Niaga.

Topik:

Kejagung Pertamina