Kejagung Diminta Usut Dugaan Korupsi Perpanjangan Konsesi Tol Dalam Kota Jakarta oleh PT CMNP

Adrian Calvin
Adrian Calvin
Diperbarui 8 Juni 2025 02:38 WIB
Kejaksaan Agung (Foto: Dok MI/Aswan)
Kejaksaan Agung (Foto: Dok MI/Aswan)

Jakarta, MI - Indonesian Audit Watch (IAW) meminta Kejaksaan Agung (Kejagung) mengusut kasus dugaan korupsi perpanjangan ruas tol Cawang–Tanjung Priok–Ancol Timur–Jembatan Tiga/Pluit, yang masa konsesinya dikelola oleh PT Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP).

Seharusnya berakhir pada 31 Maret 2025, namun secara ganjil konsesi itu diperpanjang selama 35 tahun hingga 31 Maret 2060 tanpa proses evaluasi maupun lelang merupakan sebuah tindakan yang patut diduga bertentangan dengan hukum.

Adapun perpanjangan konsesi ini dituangkan dalam Akta Notaris Rina Utami Djauhari, S.H., No. 06 tanggal 23 Juni 2020, dan ditandatangani oleh Menteri PUPR serta PT CMNP.

Keputusan ini diambil empat tahun sebelum masa konsesi berakhir, padahal menurut Pasal 78 ayat (3) PP No. 23/2024, evaluasi barus bisa dilakukan paling cepat satu tahun sebelum konsesi berakhir, yakni Maret 2024.

Lebih parah, Pasal 78 ayat (2) mewajibkan pengembalian jalan tol kepada negara setelah masa konsesi usai—bukan langsung diteruskan oleh pengelola sebelumnya.

"Dengan demikian, perpanjangan ini bukan hanya cacat hukum, tetapi juga berpotensi merugikan negara hingga triliunan rupiah,"  ujar Sekretaris Pendiri IAW, Iskandar Sitorus, Minggu (8/6/2025).

Iskandar pun membeberkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI. Bahwa selama dua dekade terakhir, BPK RI secara konsisten mencatat sejumlah pelanggaran serius oleh PT CMNP.

Pertama, soal perpanjangan prematur berdasarkan LHP BPK 2020. Bahwa konsesi diperpanjang tanpa evaluasi pada tahun 2020, padahal seharusnya baru bisa dievaluasi pada 2024. 

"Potensi kerugian negara akibat tidak dilakukan lelang ulang atau pengalihan ke BUMN diperkirakan mencapai Rp15–20 triliun," beber Iskandar.

Kedua, dugaan manipulasi keuangan sebagaimana dalam LHP BPK 2015. Kata Iskandar, biaya pemeliharaan jalan tol senilai Rp1,2 triliun dibebankan ke APBN, padahal menjadi kewajiban PT CMNP. "Praktik dual accounting untuk mengurangi setoran pendapatan ke negara," katanya.

Ketiga, kontribusi tidak layak yang tercantum dalam LHP BPK 2018. Bahwa CMNP hanya menyetor 1,5% dari pendapatan kotor, jauh di bawah rata-rata industri sebesar 3–5%. "Tunggakan denda keterlambatan sebesar Rp320 miliar tidak ditagih oleh BPJT," ungkap Iskandar.

Keempat, soal konflik kepentingan sebagaimana dalam LHP BPK 2012. "Salah satu Direktur CMNP adalah mantan pejabat BPJT, membuka celah kolusi dalam penetapan tarif dan konsesi," jelas Iskandar.

Iskandar lantas mengungkap beberapa rekomendasi BPK yang diabaikan yakni membatalkan perpanjangan konsesi karena tidak sesuai prinsip evaluasi dan value for money; menagih seluruh tunggakan denda dan kekurangan kontribusi negara; dan melakukan audit investigatif lanjutan oleh KPK atau Kejaksaan Agung atas dugaan manipulasi dan mark-up pelaporan keuangan.

Iskandar menjelaskan, dalam Undang-Undang (UU) Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, Pasal 56, mengharuskan pengembalian jalan tol ke negara setelah konsesi berakhir. Lalu, dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahuun 2005 dan PP Nomor 23 Tahun 2024 mewajibkan evaluasi menyeluruh sebelum perpanjangan diberikan.

Kemudian, UU Tipikor, Pasal 2 dan 3, menyebutkan bahwa perpanjangan yang merugikan keuangan negara secara prematur dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi, penyalahgunaan wewenang, dan suap.

Maka atas hal demikian IAW mendesak Kejagung agar segera memeriksa dugaan korupsi, kolusi, dan suap dalam proses perpanjangan konsesi. 

"Termasuk menyelidiki penggunaan APBN oleh PT CMNP untuk pemeliharaan yang semestinya ditanggung sendiri," tegasnya.

Di lain sisi, IAW meminta Presiden Prabowo Subianto memerintahkan pembatalan perpanjangan konsesi berdasarkan Akta Nomor 06/2020 dan menginstruksikan pengambilalihan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN)  atau lelang ulang secara transparan.

Lalu, Kementerian BUMN dan Badan Pengelola Jalan Tol (BPJT) juga harus menagih seluruh tunggakan kontribusi negara dan mempublikasikan laporan evaluasi serta dokumen perpanjangan kepada publik.

"Jika tidak ditindak, kasus PT CMNP ini akan menjadi preseden buruk dalam pengelolaan infrastruktur nasional," tegasnya lagi.

Menurut Iskandar, hal ini bukan semata soal konsesi jalan tol, melainkan soal kedaulatan negara atas aset strategis.

"Pemerintahan baru tidak boleh membiarkan warisan bobrok masa lalu bertahan hingga 2060. Tegakkan audit. Bongkar korupsi. Kembalikan jalan tol ke pangkuan negara," demikian Iskandar Sitorus. (wan)

Topik:

Kejagung Jalan Tol Dalam Kota PT CMNP