Wilmar Group Jangan Sampai Lolos di Kasus CPO!

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 21 Juni 2025 20:50 WIB
Kejagung pamer uang sitaan Rp2 triliun dari Rp11,8 triliun dari Wilmar Group terkait korupsi ekspor crude palm oil (CPO) di Kejagung, Jakarta Selatan, Selasa (17/6/2025) (Foto: Dok MI/Kejagung)
Kejagung pamer uang sitaan Rp2 triliun dari Rp11,8 triliun dari Wilmar Group terkait korupsi ekspor crude palm oil (CPO) di Kejagung, Jakarta Selatan, Selasa (17/6/2025) (Foto: Dok MI/Kejagung)

Jakarta, MI - Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menyita uang Rp 11,8 triliun dari tersangka korporasi dalam kasus korupsi CPO, yaitu Wilmar Group. 

Uang itu diterima dari anak usaha Wilmar Group, yakni PT Multimas Nabati Asahan, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, PT Wilmar Nabati Indonesia.

Menyoal itu, Anggota Komisi III DPR RI Gilang Dhielafararez heran korporasi bisa mengatur lembaga peradilan sebagai ujung tombak penegakan hukum. Ia menegaskan kasus ekspor CPO ini tidak boleh berhenti pada penyitaan uang dan penetapan tersangka saja. 

Melainkan harus ada proses hukum yang transparan dan menyeluruh, sampai pada pihak pemberi maupun penerima suap.

"Jika korporasi bisa membeli keputusan pengadilan, maka jangan heran jika ketimpangan sosial dan ketidakadilan terus melebar," katanya, Sabtu (21/6/2025).

Menurutnya, kejahatan korporasi ini membuat rakyat kesulitan mencari minyak goreng, belum lagi harganya juga menjadi selangit. Muncul kegaduhan di tengah masyarakat sehingga penanganan kasus tersebut juga harus melihat pendekatan psikososial.

Dia juga khawatir keterlibatan tiga hakim yang diduga menerima suap dalam penanganan kasus tersebut, yaitu Djuyamto selaku Ketua Majelis, Agam Syarif Baharuddin dan Ali Muhtarom selaku anggota akan berpengaruh pada kepercayaan publik terhadap institusi peradilan.

Baginua, vonis lepas (ontslag van alle rechtsvervolging) yang diberikan kepada Wilmar Group dan sejumlah korporasi sawit lainnya tidak hanya merusak asas keadilan, tetapi juga menghambat upaya penegakan hukum terhadap korporasi yang nyata-nyata menyebabkan kerugian publik. 

"Kasus ini sekaligus menjadi indikator, mafia hukum dan mafia pangan saling berkelindan (saling terkait),” lanjutnya.

Gilang meminta Mahkamah Agung (MA), Komisi Yudisial (KY), dan Kejaksaan Agung (Kejagung) melakukan pembersihan internal secara serius. 

Menurutnya, penegakan hukum tidak boleh tunduk pada logika pasar dan transaksi kekuasaan. "Skandal Wilmar ini bukan hanya soal integritas satu-dua hakim, tetapi tentang bagaimana sistem peradilan bisa dimanipulasi untuk melindungi oligarki yang merugikan rakyat," kata Gilang.

Pihaknya juga mendorong pembentukan Panitia Khusus (Pansus) atau Rapat Kerja Khusus untuk menindaklanjuti persoalan ini secara tuntas dan menyeluruh. 

 "Tidak boleh ada lagi ruang kompromi untuk praktik suap dalam proses peradilan, terlebih dalam perkara yang berdampak langsung pada kepentingan rakyat secara luas," tandasnya.

Topik:

Kejagung CPO Wilmar Group DPR