Desak Kejagung Seret PTPN dan PT RNI di Korupsi Impor Gula, Ekonom Singgung Perhitungan Kerugian Negara oleh BPKP

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 2 Juli 2025 22:59 WIB
PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) (Foto: Dok MI/Istimewa)
PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) (Foto: Dok MI/Istimewa)

Jakarta, MI - Kejaksaan Agung (Kejagung) didesak menyeret juga PT Perkebunan Nusantara (PTPN) dan PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI)/ ID FOOD, dalam kasus dugaan korupsi impor gula Kementerian Perdagangan (Kemendag) periode 2015-2023.

PTPN diketahui sangat memilik peran penting dalam pengimporan gula di Indonesia. PT PPI adalah perusahaan anggota Holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Pangan ID FOOD di bawah PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero). Di kasus korupsi itu, Kejagung telah menetapkan Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI periode 2015-2016, Charles Sitorus sebagai tersangka.

Adapun desakan agar Kejagung turut menyeret PTPN dan PT RNI ke dalam pusaran kasus dugaan korupsi yang merugikan negara Rp 578 miliar datang dari ekonom Prof. Anthony Budiawan.

Awalnya, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) ini mengkritik perhitungan kerugian negara oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam kasus impor gula mentah yang turut menjerat mantan Menteri Perdagangan, Tom Lembong itu.

Dia menilai proses tersebut janggal dan tidak masuk akal. Tom Lembong ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung pada 29 Oktober 2024 terkait impor gula kristal mentah (GKM) yang dilakukan pada 2015 hingga 2016.

Namun, Anthony menyebut bahwa sejak awal penetapan tersebut sudah bermasalah. “Tidak ada bukti aliran dana atau keuntungan pribadi yang diterima Tom Lembong dalam kasus ini. Maka tidak ada unsur memperkaya diri sendiri,” kata Anthony kepada Monitorindonesia.com, dikutip Rabu (2/7/2025).

Karena tidak terbukti meraup keuntungan pribadi, tuduhan terhadap Lembong kemudian diubah menjadi menguntungkan pihak lain dan menyebabkan kerugian negara. Namun, dasar tuduhan ini pun tidak jelas.

Menurutnya, saat Lembong ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan, laporan kerugian negara dari BPKP bahkan belum diserahkan. Dokumen itu baru diterima kejaksaan pada 20 Januari 2025. “Artinya, saat penahanan dilakukan, belum ada bukti kerugian negara. Ini pelanggaran serius. Penahanan bisa dinilai tidak sah,” beber Anthony.

Dalam laporan BPKP yang disusun oleh enam orang tim investigasi, kerugian negara diklaim berasal dari dua hal. Pertama, karena harga beli gula oleh PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) sebesar Rp9.000 per kilogram dianggap terlalu mahal dibanding harga pokok penjualan (HPP) Rp8.900 per kilogram.

Anthony menyebut istilah “kelebihan bayar” yang digunakan BPKP sebagai penyesatan. Menurutnya, transaksi tersebut sah secara hukum dan berdasarkan kesepakatan bisnis. Bahkan, harga beli PPI jauh di bawah harga pembelian gula oleh BUMN lain seperti PTPN dan RNI yang mencapai lebih dari Rp13 ribu per kilogram.

Nah, atas hal demikian, Anthony mendesak Kejagung agar menyeret juga PTPN dan PT RNI itu. “Kalau logika BPKP diterapkan secara konsisten, BUMN lain juga harus ditetapkan sebagai tersangka. Ini standar ganda,” tegasnya.

Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Antohny Budiawan (Foto: Dok MI)

Kedua, BPKP menyebut kerugian negara terjadi karena perusahaan rafinasi dianggap kurang bayar bea masuk dan pajak impor. Namun Anthony menyebut perhitungan ini tidak berdasar.

Barang yang diimpor adalah gula kristal mentah, dan seluruh kewajiban bea masuk, PPN impor, serta PPh Pasal 22 telah dibayar sesuai aturan. 

Menurutnya, BPKP menghitung seolah-olah yang diimpor adalah gula kristal putih, yang tarif pajaknya jauh lebih tinggi. “Ini seperti menciptakan kerugian fiktif. Hukum dipelintir,” ucap Anthony.

Antohny menjelaskan bahwa pajak impor seperti PPN dan PPh Pasal 22 bersifat dibayar di muka dan akan diperhitungkan dalam laporan pajak akhir tahun.

Jika ada kekurangan, itu menjadi urusan administratif dengan otoritas pajak, bukan pidana. Anthony menuding BPKP dan Kejaksaan Agung telah melampaui kewenangan dengan menyatakan ada kekurangan bayar pajak dalam konteks pidana. “Ini seharusnya perkara administrasi. Bukan korupsi,” ujarnya.

Pun dia menduga ada skenario yang direkayasa dalam proses hukum terhadap Tom Lembong. Anthony mendesak tim investigasi BPKP untuk menjelaskan dasar perhitungan mereka secara terbuka kepada publik. “Kalau memang ada kelebihan bayar, kenapa yang disalahkan Tom Lembong? Kalau ada kurang bayar pajak, kenapa bukan perusahaan yang diproses? Banyak kejanggalan di sini,” tutup Anthony.

Menyoal kasus korupsi yang menyeret PT PPI itu, pada Sabtu 2 November 2024 silam, jurnalis Monitorindonesia.com telah meminta komentar kepada Humas PT Rajawali Nusindo adalah Edwin Adithia Hermawan, namun tidak memberikan respons. Adapun PT Rajawali Nusindo adalah anak perusahaan dari PT RNI/ID FOOD.

Sementara sebelum itu, Direktur Utama PT PPI, Soegeng Hernowo mengatakan proses hukum di kasus tersebut merupakan wujud nyata dari bersih-bersih BUMN yang selalu ditegaskan Menteri BUMN Erick Thohir. 

PT PPI juga akan bersikap kooperatif atas proses hukum yang dilaksanakan oleh Kejagung. “Sebagai penerapan tata kelola perusahaan yang baik dan wujud nyata mendukung aksi bersih-bersih BUMN,” kata Soegeng, Rabu (30/10/2024).

Topik:

Kejagung PTPN PT RNI Korupsi Impor Gula PT PPI BPKP Tom Lembong