4 Tersangka Korupsi Pengurusan TKA Kemnaker Diperiksa KPK, Langsung Dijebloskan ke Sel Tahanan?

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 17 Juli 2025 14:28 WIB
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (Foto: Dok MI/Aswan)
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (Foto: Dok MI/Aswan)

Jakarta, MI - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa empat orang tersangka kasus dugaan korupsi dalam pengurusan Tenaga Kerja Asing (TKA) di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker). Pemeriksaan dilakukan di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, pada Kamis (17/7/2025).

Adalah Suhartono, eks Dirjen Binapenta & Perluasan Kesempatan Kerja Kemnaker periode 2020–2023; Haryanto, Dirjen Binapenta Kemnaker yang juga mantan menjabat Direktur PPTKA periode 2019–2024; Wisnu Pramono, mantan Direktur PPTKA Kemnaker tahun 2017–2019; dan Devi Anggraeni, Direktur PPTKA periode 2024–2025.

"Hari ini, Kamis (17/7), KPK menjadwalkan pemeriksaan terkait dugaan TPK pada pengurusan rencana penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker)," kata Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo.

Adapun kasus ini mencuat setelah KPK menetapkan delapan orang sebagai tersangka, terkait kasus pemerasan dalam pengurusan RPTKA di Kemenaker, yakni aparatur sipil negara (ASN) di Kemenaker bernama Suhartono, Haryanto, Wisnu Pramono, Devi Anggraeni, Gatot Widiartono, Putri Citra Wahyoe, Jamal Shodiqin, dan Alfa Eshad.

 Para tersangka dalam kurun waktu 2019–2024 telah mengumpulkan sekitar Rp53,7 miliar dari pemerasan pengurusan RPTKA. KPK menjelaskan bahwa RPTKA merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh tenaga kerja asing agar dapat bekerja di Indonesia.

Bila RPTKA tidak diterbitkan oleh Kemenaker, penerbitan izin kerja dan izin tinggal akan terhambat, sehingga para tenaga kerja asing akan dikenai denda sebesar Rp1 juta per hari. Dengan begitu, pemohon RPTKA terpaksa memberikan uang kepada tersangka.

Selain itu, KPK mengungkapkan bahwa kasus pemerasan pengurusan RPTKA tersebut diduga terjadi sejak era Abdul Muhaimin Iskandar atau Cak Imin menjabat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada periode 2009–2014, yang kemudian dilanjutkan Hanif Dhakiri pada 2014–2019, dan Ida Fauziyah pada 2019–2024.

Para tersangka memeras agen TKA saat mengurus dokumen RPTKA. Total uang yang terkumpul dari pemerasan itu mencapai Rp53,7 miliar.

Praktik korupsi dalam pengurusan RPTKA terjadi secara terorganisir dan sistematis. RPTKA sendiri merupakan dokumen penting agar TKA bisa bekerja dan tinggal di Indonesia.

Adapun modus pemerasannya terjadi sejak awal agen TKA mengurus RPTKA itu sendiri di Direktorat PPTKA yang berada di bawah Direktorat Jenderal Binapenta dan PKK Kemnaker.

Para tersangka hanya memprioritaskan para pemohon yang sudah menyetorkan sejumlah uang. Sementara para agen yang tidak menyetorkan uang akan diperhambat prosesnya.

Tidak jarang juga pemohon ada yang datang ke kantor Kemenaker dan diminta 'dibantu' agar proses RPTKA bisa segera terbit. Padahal perusahaan yang terlambat menerbitkan RPTKA juga dapat dikenakan denda Rp1 juta.

Para pejabat tinggi seperti SH, HY, WP, dan DA diduga memberikan perintah kepada verifikator seperti PCW, ALF, dan JMS untuk memungut uang dari pemohon. 

Para pemohon yang sudah menyetorkan uang nantinya diberikan jadwal wawancara identitas dan pekerjaan TKA yang akan dipekerjakan melalui Skype dengan jadwal yang ditentukan secara manual.

Total uang yang sudah terkumpul dalam rentang waktu 2019-2024 mencapai Rp53,7 miliar. Bukan hanya delapan tersangka saja yang mendapatkan uang hasil pemerasan itu, sekiranya ada 85 pegawai di Direktorat PPTKA juga ikut kecipratan sebesar Rp8,95 miliar.

 Pelaksana Harian (Plh) Direktur Penyidikan KPK, Budi Sukmo Wibowo, menyebut dari hasil korupsi tersebut juga ikut dinikmati oleh para pegawai di Direktorat Binaperta Kemenaker, di antaranya untuk uang makan.

"Kurang lebih 8 miliar yang dinikmati bersama baik untuk keperluan makan siang maupun kegiatan-kegiatan yang istilahnya di luar non-budgeter," ucap Budi kepada wartawan, Jumat (6/6/2025).

Bukan hanya pegawai di Binaperta Kemenaker saja, uang panas itu juga pernah mengalir ke office boy (OB) dan beberapa staf yang sehari-hari bekerja lainnya, kurang lebih Rp5 miliar.

"OB serta staf lainnya yang mengurus terkait dengan pekerjaan sehari-sehari di Binapenta, juga menerima semua dan mereka telah mengembalikan kurang lebih Rp5 miliar," tandasnya.

Topik:

KPK