Sewa Menyewa Gedung antara PT PPI-PKTJ Rugikan Negara Rp 52 M


Jakarta, MI - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI mengungkap kerugian negara atas pelaksanaan sewa menyewa Gedung antara PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) dengan PT Pembangunan Kota Tua Jakarta (PKTJ) puluhan miliar rupiah.
Hal itu berdasarkan hasil Pemeriksaan Kepatuhan Atas Pengelolaan Dana Pinjaman Pemegang Saham, Aset Tetap dan Properti Investasi Tahun Buku 2021 sampai dengan 2023 pada PT RNI dan Anak Usaha Perusahaan Serta Instansi Terkait Lainnya di DKI Jakarta, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali dengan nomor 24/LHP/IX-XX.3/8/2024/ Tanggal 30 Agustus 2024,
BPK menjelaskan bahwa dalam rangka optimalisasi pendayagunaan aset gedung PT PPI di Kawasan Kota Tua, PT PPI melakukan perjanjian sewa menyewa dengan PT Pembangunan Kota Tua Jakarta (PKTJ) melalui Perjanjian No. 104/KNT/Pengembangan BisnisHW/PPI/III/2015 Tanggal 31 Maret 2015. Perjanjian tersebut berlangsung selama 20 (dua puluh tahun) terhitung mulai Tanggal 1 April 2015 sampai dengan 31 Maret 2035, dengan nilai sewa sebesar Rp72.044.787.960.00 (termasuk PPN 10%).
Aset gedung yang menjadi objek perjanjian termasuk dalam cagar budaya di kawasan Kota Tua Jakarta dengan rincian sebagai berikut:
1. Gedung 1 dengan HGB No. 1146, 1147, 1148, 2720, 2721, 2722. 2723, 2724, 2725, 2726, 2727 dan 2125/Pinangsia yang memiliki empat sisi jalan yaitu: Jalan Kali Besar Timur Raya, Jakarta Barat (Menara Kembar eks. Toko Buku G. Kolff); Jalan Kali Besar Timur IV, Jakarta Barat (Gedung Tjipta); Jalan Pintu Besar Utara, Jakarta Barat (Gedung Il jipta Niaga dan Gallery Pasar Kota Tua); dan Jalan Kali Besar Timur III, Jakarta Barat (eks Toko Buku G. Kolff dan Tjipta Niaga).
2. Gedung 2 di Jalan Kali Besar Timur 8 dengan HGB No. 120/Pendjaringan:
3. Gedung 3 di Jalan Kali Besar Timur 9 dengan HGB No. 779/Pendjaringan; dan
4. Gedung 4 di Jalan Pintu Besar Utara Nomor 11 dengan HGB No. 833/Pendjaringan.
Berdasarkan pengujian atas dokumen kontrak dan pembayaran sewa, pemeriksaan fisik atas aset tanah dan bangunan, dan permintaan keterangan dari pihak-pihak terkait, BPK menemukan permasalahan bahwa PT PPI belum sepenuhnya menyediakan objek perjanjian dalam kondisi clean and clear.
Lalu, PT PKTJ belum membayar sewa tahap II sampai dengan IV dan terdapat potensi denda atas keterlambatan pembayaran sewa. BPK juga menmukan masalah bahwa PT PKTJ belum membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atas objek sewa sebesar Rp1.964.263.093,00 dan pengurusan perpanjangan HGB atas tiga objek sewa belum dilakukan.
"Permasalahan tersebut mengakibatkan renovasi dan revitalisasi atas dua bangunan pada gedung eks Cipta Niaga belum dapat dilaksanakan; PT PPI berpotensi kehilangan pendapatan sewa sebesar Rp52.231.290.594,00: tidak menerima denda keterlambatan minimal sebesar Rp55.580.341.138,70; menanggung biaya PBB yang menjadi kewajiban PT PKTJ sebesar Rp1.964.263.093,00; dan menanggung biaya dan pengurusan atas sertifikat HGB atas tiga objek aset yang disewakan," petik laporan BPK sebagaimana diperoleh Monitorindonesia.com, Kamis (24/7/2025).
Menurut BPK, permasalahan tersebut disebabkan Direksi PT PPI tidak mematuhi klausul dalam perjanjian untuk menyediakan bangunan dalam keadaaan clean and clear secara menyeluruh ketika menyewakan gedung ke PT PKTJ; Direksi PT PPI belum mengambil langkah-langkah sesuai ketentuan dalam perjanjian dalam rangka kepastian keberlangsungan perjanjian dengan PT PKTJ.
Dan menurut BPK, Kepala PMO Property dan tidak cermat dalam melakukan monitoring dan penagihan kewajiban PT PKJT dalam kerja sama sewa menyewa gedung yang terdiri dari tunggakan sewa, denda keterlambatan, kewajiban pembayaran PBB, dan kewajiban pengurusan sertifikat HGB.
Penjelasan PT RNI
Atas permasalahan tersebut, Direksi PT RNI (Persero) menyatakan sependapat dengan permasalahan sebagaimana dimaksud, dengan penjelasan bahwa PT PPI telah menyampaikan surat penagihan kepada PT PKTJ atas kewajiban yang belum dibayarkan beserta denda keterlambatan, yaitu melalui surat Nomor: 163/DO/eks/PPI/VI/2021 Tanggal 4 Juni 2021, 0513/DKP/Eks/PPI/X1/2023 Tanggal 03 November 2023 dan 0515/DKP/Eks/PPI/X1/2023 Tanggal 06 November 2023.
Surat Tagihan berikutnya akan dikirimkan paling lambat Desember 2023 dan diupayakan proses mediasi penagihan dapat direalisasikan. Apabila 30 hari tidak ditanggapi akan dilakukan somasi dan upaya hukum, dan ditargetkan paling lambat Kwartal ke-3 Tahun 2024 PT PKTJ telah menyelesaikan kewajibannya.
PT PPI akan melakukan langkah penyelesaian kondisi bangunan yang tidak clean and clear dengan didampingi dengan penegak hukum, sehingga bangunan dapat direvitalisasi.
Rekomendasi BPK
Sementara BPK merekomendasikan Direksi PT RNI (Persero) agar menginstruksikan Direksi PT PPI untuk mengambil langkah-langkah sesuai perjanjian dan ketentuan untuk menentukan keberlangsungan perjanjian apabila PT PKTJ tidak menyelesaikan kewajibannya; dan membuat program kerja pengamanan aset bagunan kota tua yang tidak clear dan clean untuk dituangkan dalam RKAP.
Monitorindonesia.com telah berupaya mengonfirmasi kepada Edwin Adithia Hermawan selaku Humas PT RNI terkait temuan BPK tersebut apakah sudah ditindak lanjuti. Namun hingga tenggat waktu berita ini diterbitkan, Edwin belum memberikan respons.
Topik:
PT RNI PT PPI Kota Tua Temuan BPK BPKBerita Sebelumnya
Babak Baru Korupsi CSR BI, KPK Janjikan Hal Ini
Berita Selanjutnya
Temuan BPK: Kredit PT BBI Rugikan PT SMI Rp57,6 M
Berita Terkait

BPK Didesak Audit Perdin Dirut Pupuk Indonesia Rahmad Pribadi: Jangan Anggap Perusahaan "Nenek Moyangnya"!
16 jam yang lalu

APH Didesak Usut Temuan BPK soal Belanja Dinas di Sekwan Purwakarta Rp 468 Juta Tak Didukung SPJ
17 September 2025 23:57 WIB