Kejagung Didesak Tetapkan Pidana Korporasi ke Wilmar, Permata Hijau, dan Musim Mas

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 23 Agustus 2025 17:05 WIB
Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW) Iskandar Sitorus. Foto: Dok MI/Aan
Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW) Iskandar Sitorus. Foto: Dok MI/Aan

Jakarta, MI - Negara kehilangan Rp 35 triliun karena manipulasi ekspor minyak sawit mentah (CPO). Tiga nama group besar langsung disebut yaitu Wilmar, Permata Hijau, dan Musim Mas. 

Kejaksaan Agung sudah berani mendakwa ketiganya, bahkan menempatkan korporasi sebagai terdakwa. Itu sesuatu langkah yang jarang sekali dilakukan di Indonesia.

Publik waktu itu sempat berharap, ternyata akhirnya ada nyali Kejagung untuk membongkar gurita korupsi korporasi! Tapi, sekarang harapan itu hampir saja menjadi tinggal harapan.

Menjelang putusan, uang Rp 60 miliar beredar. Kuasa hukum korporasi disebut-sebut jadi “jembatan” menuju hakim dan panitera. Barang bukti yang disita Kejagung? Uang asing dalam USD dan SGD dan empat mobil mewah.

Tanggal 19 Maret 2025, majelis hakim Tipikor PN Jakpus memutuskan ontslag, yaitu putusan yang tetapkan perbuatannya ada, tapi “bukan tindak pidana”. Dengan kata lain, bebas!

"Ironinya, putusan itu lahir justru setelah “uang pelicin” cair. Inilah bukti telanjang bahwa hukum bisa dibeli," ujar Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW) Iskandar Sitorus kepada Monitorindonesia.com di Jakarta, Sabtu (23/8/2025).

Menurutnya, tidak mungkin uang Rp 60 miliar dikumpulkan oleh individu kecil. Tidak mungkin pula ada pihak lain yang menggelontorkan dana miliknya hanya untuk membebaskan tiga korporasi itu. 

"Periksa saja dengan teliti individu yang mengaku-ngaku membayar suap itu, dari mana sumber mendapatkannya, kapan dihasilkannya, periksa pajaknya, apa hubungannya dengan dia harus melakukan penyuapan pada kasus itu. Lalu lirik fisik cetakan tahun berapa uang asing tersebut! Tidak sulit bukan?" tandasnya.

Logika hukumnya sederhana, dalam kasus penyuapan, siapa yang diuntungkan maka dialah yang harus diperiksa!

Jadi, publik wajar curiga bahwa tiga korporasi sawit itu diduga kuat sebagai sumber dananya. Atau, kalau masih berkelit coba mereka buktikan sebaliknya! Periksa transaksi korporasi, dan seluruh individu yang terafiliasi. Akan ketemu tuh.

Banyak alasan yang bisa dipakai untuk tidak menjerat korporasi, seperti sulit buktikan aliran dana langsung dari rekening perusahaan, KUHAP tidak mengatur pidana korporasi, dan sebagainya.

UU Tipikor pasal 20 jelas-jelas mengatur korporasi bisa dipidana. Perma 13/2016 memberi cara teknis yaitu korporasi dipanggil lewat direksi, keputusan rapat atau disposisi bisa jadi bukti.

"UU TPPU memungkinkan tracing aliran dana, meski lewat rekening perantara. Selain itu Pasal 21 UU Tipikor terkait suap pengadilan, itu sama dengan obstruction of justice, yakni tindak pidana baru. Pasal 37A UU Tipikor mengatur beban pembuktian bisa dibalik. Korporasi yang harus buktikan uang itu bukan dari mereka," katanya.

Dengan dasar ini, sebenarnya tidak ada alasan normatif bagi Kejagung untuk berhenti di individu.

Iskandar meminta Kejagung membuka tabir beneficial ownership, yakni siapa pemilik manfaat sebenarnya. Cocokkan dengan laporan pajak dan keuangan serta seluruh afiliasi.

Selanjutnya,.kombinasikan pasal-pasal Tipikor, TPPU, dan obstruction of justice, untuk jerat berlapis. Audit pajak forensik ala Al Capone, dengan bandingkan data ekspor Bea Cukai dengan laporan pajak. Jika ada gap, itu berarti ada uang kotor.

Civil forfeiture, yakni kalau upaya pidana macet, maka gunakan gugatan perdata untuk rampas aset.

Vicarious liability atau tanggung jawab hukum “ikut” (tidak langsung) yang dibebankan kepada pihak lain atas perbuatan seseorang, itu biasanya karena ada hubungan kerja, kuasa, atau kepentingan.kuasa hukum menyuap untuk korporasi, maka korporasi otomatis bertanggung jawab.

Reverse burden of proof, yakni penyidik dengan proses-prosesnya membalikkan beban pembuktian ke perusahaan.

Kalau tiga korporasi sawit ini dibiarkan lolos, maka sinyal yang sampai ke publik dan dunia usaha menjadi sangat jelas bahwa di Indonesia, hukum bisa dinegosiasikan.

" Yang kecil dihukum, yang besar bisa beli kebebasan. Negara kehilangan Rp 35 triliun, dan kepercayaan rakyat ambruk," katanya.

Dia menekankan saatnya Kejagung harus lebih berani lagi. Kasus tersebut bukan hanya soal ekspor sawit. Ini soal harga diri hukum di negeri ini.

"Korporasi harus ikut duduk sebagai terdakwa. Aset mereka harus dirampas untuk memulihkan kerugian negara. Reformasi hukum harus dipercepat.
Gunakan yurisprudensin menggunakan kasus PT Dirgantara Indonesia, yang menunjukkan bahwa korporasi bisa dijerat," katanya.

Kalau Kejagung hanya berani menjerat aktor kecil, maka hukum kita benar-benar ompong.

"Tapi kalau Kejagung berani membuka berkas baru untuk Wilmar, Permata Hijau, dan Musim Mas, maka inilah tonggak sejarah bahwa hukum kita tak lagi tunduk pada konglomerasi," tandasnya. (LIn)

Topik:

Wilmar Permata Hijau Musim Mas Kejagung