Pakar Hukum Unbor Desak Kejati Jabar Usut Tuntas Korupsi Retribusi Sampah DLH Kota Bekasi
Jakarta, MI - Pakar hukum pidana Universitas Borobudur (Unbor), Hudi Yusuf mendesak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat mengusut tuntas kasus dugaan korupsi penerimaan retribusi persampahan atau kebersihan di Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Bekasi Tahun Anggaran 2021, senilai Rp6.281.415.791.
Kasus ini mencuat berawal dari Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kota Bekasi Tahun Anggaran 2022 dengan Nomor: 05B/LHP/XVIII.BDG/04/2023.
Indikasi yang mengakibatkan kerugian negara inilah yang membuat Asosiasi Wartawan Profesional Indonesia (AWPI) DPC Kota Bekasi langsung mengadukan kasus rasuah tersebut ke Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) Republik Indonesia, pada 7 Desember 2024 silam.
"Kasus seperti ini tidak dapat digugurkan, walaupun nilainya dibawah Rp 1 miliar sekalipun," kata Hudi Yusuf, Kamis (23/10/2025).
Menurutnya, kasus korupsi tetap harus di tindaklanjuti. Tidak ada alasan yang dapat meringankan atau menghentikan proses pidana dalam kasus korupsi seperti ini. "Apalagi, Kejaksaan merupakan lembaga yang bekerja untuk rakyat dan dibiayai dari pajak masyarakat," tegasnya.
Secara hukum apabila sudah terjadi perbuatan pidana, penyelesaiannya tidak bisa dilakukan hanya dengan pengembalian uang saja. Pengembalian uang adalah masalah perdata, sedangkan korupsi masalah pidana, sehingga keduanya harus dipisahkan. Dengan demikian, kasus ini tidak dapat dihentikan hanya karena dana telah dikembalikan
"Putusan ringan atau berat, nantinya akan menjadi kewenangan Majelis Hakim namun proses pidana tetap harus berjalan," jelas Hudi Yusuf.
Dia menjelaskan, bahwa banyak contoh kasus serupa (korupsi) dimana pelaku tidak menikmati hasil korupsinya tetapi tetap di jatuhi hukuman, karena unsur perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang telah terpenuhi," tambahnya.
Menurutnya, poin penting dari Pasal 4 Undang-undang Tipikor adalah Pengembalian Tidak Menghapuskan Pidana, Pengembalian Kerugian Keuangan Negara, Baik Dilakukan Secara Sukarela Maupun Paksa, Tidak Menjadi Alasan Untuk Membebaskan Pelaku Dari Tuntutan Pidana.
Dalam tindak pidana korupsi tetap ada tuntutan pidana meskipun uang telah dikembalikan, pelaku tetap harus menghadapi proses hukum dan vonis pidana yang berlaku untuk tindak pidana korupsi. Berlaku untuk Pasal 2 dan 3: Ketentuan dalam Pasal 4 ini berlaku untuk tindak pidana yang diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor. Tujuan hukumnya adalah untuk memberikan efek jera yang maksimal, sehingga pelaku tidak hanya mengembalikan uang tetapi juga harus mempertanggung jawabkan perbuatannya di mata hukum.
"Poin utamanya, kasus ini tetap harus diproses secara hukum dan keputusan akhir berada di tangan majelis hakim, dan hasilnya disampaikan secara transparan ke publik," tandas Hudi.
Pengusutan ini sebagai tindak lanjut daripada perintah Kejaksaan Agung (Kejagung) berdasarkan surat pemberitahuan Tindak Lanjut Dugaan Penyalahgunaan Penerimaan Retribusi Sampah TA 2021 sebesar Rp6.281.415.791 yang ditanda tangani Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Abdul Qohar A.F pada 22 April 2025.
Terkait pengelolaan Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan pada DLH TA 2021, LHP BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Kota Bekasi Tahun 2021 Nomor 09.C/LHP/XVIII.BDG/04/2022 tanggal 26 April 2022 mengungkap adanya “Penyalahgunaan Penerimaan Retribusi Pelayanan Persampahan atau Kebersihan pada Dinas Lingkungan Hidup Scbesar Rp6.28 1.415.791,00 dan Terdapat 14 Rekening UPTD Tidak Ditetapkan Dalam Keputusan Wali Kota”.
Atas permasalahan tersebut, BPK merekomendasikan agar Wali Kota Bekasi menginstruksikan kepada Kepala DLH untuk menyusun mekanisme penyetoran Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan Wajib Retribusi langsung ke Kas Daerah; lebih optimal dalam mengendalikan dan mengawasi pelaksanaan tugas tambahan dalam rangka pemungutan Pendapatan Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan dan melaporkan keberadaan rekening di UPTD.
BPK juga merekomendasikan agar Wali Kota Bekasi memerintahkan Kepala UPTD agar memproses kekurangan penerimaan Pendapatan Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan dan menyetorkan ke Kas Daerah atas pengeluaran yang tidak ada bukti pertanggungjawaban sebesar Rp1.200.830.991,00.
Kemudian menginstruksikan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Tenaga Kerja Kontrak (TKK) baik sebagai pengawas, penagih maupun penerima dan penyetor (pentor) supaya menyetorkan ke Kas Daerah sebesar Rp3.010.150.000,00 atas insentif yang telah diterima.
Lalu, menginstruksikan Kepala UPTD Kebersihan untuk lebih tertib dalam melakukan penagihan Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan, dan menutup 14 rekening UPTD yang tidak ditetapkan dengan keputusan wali kota.
Selanjutnya, Inspektorat untuk memeriksa SPJ Belanja Operasional sebesar Rp447.434.800,00 dan SPJ insentif magang sebesar Rp1.623.000.000.00 dan melaporkan hasilnya kepada Wali Kota Bekasi.
Atas rekomendasi BPK tersebut, Pemerintah Kota Bekasi menindaklanjuti dengan: Wali Kota Bekasi menginstruksikan Kepala DLH agar lebih optimal mengendalikan dan mengawasi pelaksanaan tugas tambahan pemungutan Pendapatan Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan, dan melaporkan rekening UPTD; Kepala DLH menutup 14 rekening UPTD yang tidak ditetapkan dengan keputusan Wali Kota.
Kemudian, Wali Kota Bekasi memerintahkan Inspektorat memeriksa SPJ Belanja Operasional sebesar Rp447.434.800,00 dan SPJ insentif magang sebesar Rp1.623.000.000,00, serta melaporkan hasilnya kepada Wali Kota Bekasi.
Menindaklanjuti perintah Wali Kota Bekasi tersebut, Inspektorat Kota Bekasi menerbitkan Laporan Hasil Audit (LHA) Nomor 700 18-LHA/ITKO tanggal 29 Juni 2022 yang melaporkan bukti pertanggungjawaban (SPJ) belanja operasional dan insentif magang pada sembilan UPTD Dinas LH yaitu:
a). SPJ belanja yang memadai sebesar Rp1.734.886.800.00
b). SPJ yang tidak memadai sebesar Rp268.567.200,00; dan
c) tidak ada SPJ-nya sebesar Rp66.980.800,00.
Atas hasil pemeriksaan tersebut, Inspektur Kota Bekasi merekomendasikan kepada Kepala DLH memerintahkan sembilan Kepala UPTD agar menyetorkan ke Kas Daerah atas bukti pertanggungjawaban SPJ Belanja Operasional dan Belanja Insentif Magang yang tidak memadai sebesar Rp268.567.200.00 dan Belanja Operasional dan Belanja Insentif Magang yang tidak ada SPJ-nya sebesar Rp66.980.800,00.
Namun demikian, Kepala DLH belum menindaklanjuti rekomendasi inspektorat Kota Bekasi tersebut.
Atas kekurangan retribusi pelayanan persampahan/kebersihan sebesar Rp1.200.830.991.00, Kepala DLH telah menyetorkan ke Kas Daerah sebesar Rp512.866.000,00.
Kemudian, atas insentif yang dibayarkan kepada PNS dan TKK sebesar Rp3.010.150.000.00, Kepala DLH telah menyetorkan ke Kas Daerah sebesar Rp1.671.375.000,00.
Dengan demikian bahwa penjelasan di atas menunjukkan Pemerintah Kota Bekasi belum menindaklanjuti rekomendasi BPK atas ketidakpatuhan pengelolaan Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan TA 2021 pada sembilan UPTD Kebersihan Wilayah yaitu DLH belum menyetorkan ke Kas Daerah atas pengeluaran yang tidak ada bukti pertanggungjawaban sebesar Rp687.964.991,00 (Rp1.200.830.99 1.00 — Rp512.866.000.00).
Dan insentif yang dibayarkan kepada PNS dan TKK sebesar Rp1.338.775.000.00 (Rp3.010.150.000,00 - Rp1.6714.375.000.00).
Monitorindonesia.com telah berupaya mengonfirmasi saol apakah rekomendasi BPK ini sudah ditindak lanjuti kepada Wali Kota Bekasi Tri Adhianto dan Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Bekasi Kiswati Ningsih. Namun hingga tenggat waktu berita ini diterbitkan, Tri dan Kiswati belum memberikan respons.
Topik:
Kejati Jabar Dinas Lingkungan Hidup Kota Bekasi DLH Kota Bekasi Korupsi Retribusi SampahBerita Terkait
Kejati Jabar Garap Kasus Korupsi Retribusi Sampah DLH Kota Bekasi Rp 6,28 M, Segera Naik Penyidikan?
22 Oktober 2025 13:59 WIB
Temuan BPK Dugaan Retribusi Sampah DLH Kota Bekasi Rp 6,28 Miliar
22 Oktober 2025 13:33 WIB
Kejati Jabar Usut Dugaan Korupsi Retribusi Sampah di DLH Kota Bekasi Rp 6,28 M
20 Oktober 2025 17:34 WIB