Citraland Dibangun di Atas Aset Korupsi! Pakar Hukum: Seret Semua Mafianya!
Jakarta, MI - Pakar hukum pidana Universitas Borobudur (Unbor) Hudi Yusuf mendesak Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejati Sumut) untuk tidak tebang pilih dalam penanganan dugaan korupsi PT Perkebunanan Nusantara (PTPN) I terkait dugaan tindak pidana dalam penjualan aset lahan seluas 8.077 hektare milik PTPN I Regional I melalui kerja sama dengan PT Nusa Dua Propertindo (NDP) dan PT Ciputra Land (Citraland).
Menurut Hudi, aroma penyimpangan dalam proyek tersebut sudah lama tercium, dan sejumlah pihak diduga ikut terlibat. Maka pengusutan kasus rasuah yang berdasarkan temuan BPK RI diharapkan tidak berhenti kepada 4 tersangka saja.
"Menurut saya semua pihak terkait yang tersorot dalam temuan BPK RI itu seyogyanya perlu diperiksa oleh aparat dan apabila mereka terlibat terbukti terlibat perlu di proses hukum," kata Hudi kepada Monitorindonesia.com, Sabtu (15/11/2025).
Namun dalam hal ini mantan pimpinan PTPN II telah di proses hukum dan telah di tahan bisa jadi semua bawahan yang bekerja kurang optimal karena instruksi yang bersangkutan sehingga bawahan tidak dapat dipersalahkan akibat perintah jabatan.
"Tetapi jika bawahan tersebut menerima imbalan, maka yang bersangkutan dapat di proses hukum. Oleh karena itu dalam kasus tindak pidana korupsi perlu dilihat dengan jernih keterlibatan bawahan secara jernih terkait keterlibatannya dalam kasus itu," tegas Hudi.
Maka dari itu, Hudi juga berharap kepada penyidik Pidsus Kejati Sumut di bahwa komando Harli Siregar dapat menyeret habis semua mafia dalam pembanguan perumahan Citraland seluas 8.077 hektare itu.
"Seret semua mafianya, siapa saja terlibat harus dapat bertanggung jawab di hadapan hukum. Saya yakin kepada penyidik Pidsus Kejati Sumut berani membongkar kasus ini tanpa pandang bulu," tegasnya.
Adapun penyidik Kejati Sumut telah menetapkan beberapa tersangka, termasuk mantan pejabat BPN dan direksi perusahaan terkait, atas dugaan pemrosesan dan pengalihan aset yang merugikan keuangan negara ini.
Tercatat bahwa pada Agustus 2025 lalu, Kejati Sumut melakukan penggeledahan di beberapa lokasi, termasuk ruang direksi PTPN I, terkait dugaan korupsi pada penjualan aset ini.
Kemudian pada Selasa 14 Oktober 2025, Kejati Sumut menetapkan dua mantan pejabat BPN sebagai tersangka, yaitumantan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Sumut Askani dan mantan Kepala Kantor BPN Kabupaten Deli Serdang Abdul Rahim Lubis. Keduanya diduga menyetujui penerbitan sertifikat HGB tanpa pemenuhan kewajiban dari NDP.
Lalu, pada Senin (20/10/2025), Direktur PT NDP Iman Subakti (IS) juga ikut tersangka. Dan teranyar, pada Jumat (1/11/2025), Kejati Sumut kembali menetapkan tersangka baru yakni Direktur Utama (Dirut) PT Perkebunan Nusantara (PTPN) II periode 2020-2023 Irwan Peranginangin.
Dugaan tindak pidana korupsi pada pengelolaan, penjualan, atau pengalihan aset PTPN I Regional I oleh PT Nusa Dua Propertindo melalui Kerja Sama Operasional (KSO) dengan PT Ciputra Land.
Bahwa para tersangka diduga memproses dan menyetujui pengubahan Hak Guna Usaha (HGU) menjadi Hak Guna Bangunan (HGB) atas nama PT. Nusa Dua Propertindo.
Proses ini diduga tidak memenuhi kewajiban dari PT Nusa Dua Propertindo untuk menyerahkan paling sedikit 20% lahan HGU yang diubah menjadi HGB kepada negara.
Tindakan ini pun diduga mengakibatkan kerugian keuangan negara. Kerugian tersebut disebabkan oleh pengembangan dan penjualan lahan HGU yang telah diubah menjadi HGB oleh PT Deli Megapolitan Kawasan Residensial (DMKR).
Sebagai catatan, bahwa sejak restrukturisasi BUMN Perkebunan pada 2023, PTPN II telah resmi bergabung menjadi bagian dari PT Perkebunan Nusantara I Regional I di bawah holding PTPN III (Persero).
Namun kasus dugaan korupsi ini mencakup periode sebelum dan sesudah penggabungan, sehingga menjadi perhatian serius publik dan aparat penegak hukum.
Merujuk pada pada Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Kepatuhan atas Pengelolaan Pendapatan, Beban, dan Kegiatan Investasi Tahun 2021 sampai dengan Tahun 2023 pada PTPN II dan Instansi Terkait di Sumatra Utara dan DKI Jakarta dengan Nomor 26/LHP/XX/8/2024 tanggal 30 Agustus 2024, memang diketahui bahwa pengembangan dan penjualan lahan HGU itu terdapat sejumlah masalah. Yakni:
1. Pelaksanaan proyek tidak didukung dengan RKT dan laporan berkala
2. Kelebihan transfer PPLWH kepada PT NDP senilai Rp1.372.063.871,00
3. Kewajiban penyerahan lahan kepada Negara belum diatur dalam kontrak
4. Bagi hasil PPLWH belum sepenuhnya menguntungkan PTPN II dan PT NDP
5. Proses inbreng tanah sebagai penyertaan modal pada PT Nusa Dua Propertindo (NDP) tidak sesuai akta pendirian perusahaan
6. Investasi saham PTPN II turun pada PUP Kawasan Bisnis
7. Klausul penyediaan lahan perkebunan seluas 10.000 Ha dalam MCA pembangunan KDM tidak mengatur secara detail mengenai spesifikasi lahan
8. Besaran biaya Subkontrak pengembangan lahan tidak didasarkan pada prinsip at cost
Permasalahan tersebut mengakibatkan PTPN II belum memperoleh keuntungan dari proyek KDM, antara lain: pembentukan PT DMKB terindikasi merugikan PTPN II senilai Rp1.250.000.000,00; bagi hasil PPLWH berpotensi merugikan PTPN II dan PT NDP; BSPL terindikasi mengurangi porsi pendapatan PTPN II dan PT NDP; dan penggantian lahan perkebunan seluas 10.000 Ha berpotensi tidak terealisasi.
Kemudian mengakibatkan pelaksanaan proyek KDM tidak terukur; kelebihan transfer dari PTPN II kepada PT NDP berpotensi tidak diganti senilai Rp1.372.063.87 1,00; pemisahan sertifikat HGB kawasan residensial berpotensi terhambat; dan penyertaan Modal PTPN II pada PT NDP tidak sesuai arahan Pemegang Saham.
Menurut BPK, kondisi tersebut di atas disebabkan Direktur PTPN II 2020 sampai dengan 2023: tidak cermat menyetujui addendum Master Cooperation Agreement dengan PT CKPSN terkait kewajiban penyerahan lahan kepada pemerintah, spesifikasi lahan pengganti 10.000 Ha dan presentase BSPL; dan belum seluruhnya mengalihkan lahan kerja sama seluas 2.514 Ha sebagai bentuk setoran modal dalam Akta Inbreng ke PT NDP sesuai ketentuan yang berlaku.
Lalu, Direktur PT NDP periode 2020 sampai dengan 2023 kurang optimal dalam menyediakan lahan matang kawasan residensial; dan kurang cermat dalam mempertanggungjawabkan biaya pembersihan lahan proyek kawasan residensial.
Selanjutnya, SEVP Manajemen Aset periode 2021 sampai dengan 2023 kurang optimal dalam memberikan dukungan penyediaan lahan untuk kawasan bisnis; Kepala Bagian Perencanaan dan Sustainability periode 2021 sampai dengan 2023 kurang cermat dalam memasukan klausul penyediaan lahan kepada pemerintah dalam MCA.
Kepala Bagian Keuangan dan Akuntansi PTPN II periode 2021 sampai dengan 2023 kurang cermat dalam melakukan perhitungan dan transfer jaminan PPLWH serta BPLWH.
Tak hanya itu saja, kondisi tersebut juga disebabkan Kepala Bagian Hukum PTPN II periode 2021 sampai dengan 2023 kurang optimal dalam proses penyediaan lahan matang kawasan bisnis dan industri.
Atas permasalahan tersebut, Region Head Regional 1 PTPN I menyatakan sependapat dengan temuan pemeriksaan BPK.
Namun BPK tetap merekomendasikan Direktur Utama PTPN I agar berkomunikasi dengan Direktur Utama PTPN III (Persero) untuk memberikan sanksi sesuai ketentuan berlaku kepada IP (Irwan Peranginangin) selaku Direktur PTPN II Periode 2021 sampai dengan 2023 karena tidak cermat menyetujui addendum MCA dan belum seluruhnya mengalihkan lahan kerja sama seluas 2.514 Ha.
Menugaskan bagian SPI melaksanakan audit (pemeriksaan khusus) perihal kerjasama proyek KDM yang diawasi langsung oleh Dewan Komisaris PTPN I; menugaskan unit terkait untuk melakukan reviu atas kerja sama dengan PT CKPSN; koordinasi dengan pemegang saham dan PT CKPSN untuk melakukan revisi klausul perjanjian yang memberikan keuntungan optimal kepada PTPN I.
Kemudian memberikan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku kepada Direktur PT NDP periode 2020 sampai dengan 2023 karena kurang optimal dalam menyediakan lahan matang dan mempertanggungjawabkan biaya pembersihan lahan; SEVP Manajemen Aset PTPN II periode 2021 sampai dengan 2023 karena kurang optimal dalam memberikan dukungan penyediaan lahan untuk kawasan bisnis;
Memberika sanksi juga jepada Kepala Bagian Perencanaan dan Sustainability PTPN II periode 2021 sampai dengan 2023 karena kurang cermat dalam merevisi klausul kewajiban penyediaan lahan pemerintah; Kepala Bagian Keuangan dan Akuntansi PTPN II periode 2021 sampai dengan 2023 karena kurang cermat dalam melakukan perhitungan dan transfer jaminan PPLWH serta BPLWH; dan Kepala Bagian Hukum PTPN II periode 2021 sampai dengan 2023 karena kurang optimal dalam proses penyediaan lahan matang.
Sekadar catatan bahwa kasus jual beli lahan HGU dan Eks HGU PTPN di Kabupaten Deliserdang ini sarat muatan Korupsi Kolusi dan Nepotisme ( KKN) yang melibatkan banyak unsur dan didalangi orang-orang diduga bagian dari mafia tanah.
Liciknya cara cara menghapus jejak KKN itu, salah satunya diduga dengan gonta ganti perusahaan pengelola dan pejabatnya juga berganti. Lahan PTPN bermasalah itu dulunya dikelola PTPN II lalu merjer dengan Holding PTPN III, kini berubah lagi jadi PTPN I Regional I.
Lahan dikuasai oleh PTPN I Regional I tapi Pengelolaan Kebun Sawit dilakukan oleh PTPN IV regional II. Hal ini sukses membuat publik bingung siapa penanggung jawab lahan PTPN di Kabupaten Deli Serdang.
Lengkap! Temuan BPK PTPN II Bikin Irwan Peranginangin Cs Terseret Korupsi Lahan Citraland. Selengkapnya di sini
Topik:
PTPN I PTPN II Citraland PT Ciputra Land Kejati SumutBerita Terkait
Korupsi Aluminium, Kejati Sumut Periksa Saksi dari PT Inalum dan PASU
18 November 2025 07:07 WIB
Usai "Acak-acak" Ruangannya, Kejati Sumut akan Periksa Dirkeu hingga Kepala Departemen Logistik Inalum
14 November 2025 20:24 WIB