Menakar Peluang Capres Berlatar Militer pada Pilpres 2024

Nicolas
Nicolas
Diperbarui 16 Agustus 2022 17:48 WIB
Jakarta, MI - Dalam satu kesempatan pada awal Agustus lalu, politisi PDI Perjuangan (PDIP) Effendi Simbolon mengatakan bahwa Indonesia membutuhkan pemimpin yang berkualitas di masa mendatang. Effendi kemudian menyinggung sosok Menteri Pertahanan sekaligus Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto saat dirinya membicarakan sosok pemimpin kelas dunia. Effendi kemudian memuji kemampuan berbicara Prabowo dalam bahasa Inggris saat di forum internasional. Dia tak lupa menyoroti Prabowo yang mampu menyampaikan pidato dalam bahasa tersebut tanpa menggunakan teks. "Kalau di forum internasional tanpa teks bahasa Inggris-nya. Dia (Prabowo) mampu sampaikan konsep tanpa bawa iPad. Kita harus punya juga pemimpin setara kelas dunia," kata Effendi. Secara terpisah, saat membuka acara bimbingan teknis untuk para kader partai pada pertengahan Juni lalu, Sekjen PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto mengatakan bahwa calon presiden (capres) tidak hanya menyangkut soal elektoral saja, tapi harus memiliki pandangan soal strategi geopolitik regional maupun global. Hasto kemudian merujuk pada kemampuan strategi geopolitik Soekarno, presiden pertama Republik Indonesia sehingga menghasilkan Konferensi Asia Afrika. Konferensi yang diadakan di Bandung pada 1955 itu membuat Indonesia disegani dunia karena dampak dari konferensi itu membuat banyak negara di Asia dan Afrika merdeka setelah Indonesia. Apa yang disampaikan Effendi maupun Hasto menarik untuk disimak dan sangat relavan, terutama dikaitkan dengan bermunculannya para bakal calon presiden (capres) menjelang pelaksanaan Pemilu 2024. Meski Prabowo sudah menggalang “koalisi sementara” antara Partai Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pimpinan Muhaimin Iskandar, namun aliansi parpol itu belum mengumumkan pasangan capres-cawapres-nya. Akan tetapi, bagi Gerindra, Prabowo merupakan harga mati untuk dicapreskan sehingga untuk sementara sang menteri mulai membuka peluang untuk mengikuti kontestasi capres pada Pilpres 2024. Tantangan Capres Masa Depan Kembali ke kriteria calon pemimpin masa depan, perlu dicatat bahwa Indonesia memiliki posisi strategis yang banyak diperebutkan negara lain dari dulu hingga sekarang. Sementara para capres masih banyak berkutat pada isu-isu nasional untuk menaikan elektabilitas mereka. Sedangkan pada sisi lain dominasi China di Laut China Selatan dan kekuatan Amerika Selatan di Kawasan Indo-Pasifik juga menjadi perkembangan baru yang harus dipahami para capres nantinya. Apapaun alasannya, posisi geopolitik dan strategi militer global akan menentukan masa depan satu negara. Selain itu, seorang calon pemimpin negara harus memiliki pengetahuan yang kuat tentang diplomasi internasional sebagai pengetahuan untuk melihat arah diplomasi Indonesia di panggung dunia yang tentunya dengan syarat dia harus piawai dalam menggunakan bahasa asing. Lihat saja hari-hari ini, ada isu persaingan dagang antara China dan Amerika Serikat yang kian memanas. Ada perang Rusia-Ukraina yang memicu kekhawatiran atas ketersediaan energi dan pangan dunia. Belum lagi persoalan ketegangan antara China dan Taiwan yang bukan tidak mungkin akan berdampak pada Indonesia nantinya secara geopolitik karena kedekatan wilayah. Dalam konteks ini tidak mungkin satu negara yang dipimpin oleh presiden yang tidak punya wawasan militer akan mampu menghadapi persoalan tersebut. Artinya, dinamika isu global yang semakin mendorong negara untuk mengambil peran internasional membuat Indonesia perlu mempertimbangkan capres yang memiliki pola pikir strategis berlatar militer selain outward-looking dalam Pilpres 2024. Peneliti LIPI, Wasisto Raharjo mengakui idealnya memang capres mendatang harus mengetahui posisi geopolitik karena Indonesia akan menjadi ketua ASEAN tahun 2023 dan terlibat aktif dalam panel antarnegara terkait perubahan iklim (IPCC). Namun, dia menyayangkan kriteria ini tidak menjadi perhatian partai politik dan justru lebih cenderung melihat elektabilitas calon presiden sebagaimana dikhawatirkan Hasto. "Kita lihat karakter elite lebih berorientasi inward looking, yakni lebih mementingkan kepentingan nasional daripada menjadi pemain global. Ini membuat para elite kita jarang bicara atau tahu peta mengenai masalah dunia,” ujar Wasisto pada sebuah diskusi baru-baru ini. Padahal, tidak dipungkiri bahwa dinamika isu internasional dalam tiga tahun terakhir ini cukup memprihatinkan dan berhasil mengalihkan perhatian banyak negara dari permasalahan domestiknya. Dimulai dari pandemi Covid-19, banyak negara harus melakukan sejumlah manuver diplomasi demi mendapatkan vaksin untuk masyarakatnya. Seperti ada semacam “diplomasi vaksin” di pentas global yang harus dimainkan oleh sejumlah negara termasuk Indonesia akibat dari keterbatasan pasok. Hal itulah, menurut Wasisto, yang membuat para pemimpin dunia maupun calon pemimpin Indonesia tidak bisa hanya berdiam diri jika ingin negaranya survive. Sekali lagi, fakta-fakta di atas adalah bukti bahwa di zaman ini pemimpin yang inward-looking akan dituntut untuk memainkan peran internasionalnya. Karena itu pula, siapapun pengganti Presiden Jokowi nanti, Indonesia tampaknya membutuhkan pemimpin yang lebih memiliki pandangan outward-looking atau tidak salah pula kalau calon presiden nantinya punya latar militer yang kuat. Sebagai catatan, saat ini baru ada dua capres potensial yang berlatar militer seperti Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), sekalipun sebelumnya sempat nama mantan panglima TNI Gatot Nurmantyo disebut-sebut. Capres Berkemampuan Diplomat Selain perlu memiliki strategi internasional, seorang capres juga memainkan peran diplomat yang memiliki geostrategi yang kuat. Mengapa geostrategi ini penting, karena secara geografis Indonesia memiliki posisi yang sesungguhnya bisa dijadikan sebagai kekuatan. Pemerintah Orde Baru sepertinya menyadari ini, karena pada zaman itu Indonesia pernah memiliki formula politik luar negeri yang disebut lingkaran konsentris (concentric circle). Dengan formula itu, para diplomat Indonesia mengambil peran aktif dalam membangun setiap hubungan diplomasi dengan berbagai kegiatan. Lingkaran konsentris ini mengarahkan strategi politik luar negeri Indonesia melalui beberapa seri lingkaran prioritas. Lingkaran prioritas pertama adalah Asia Tenggara, lingkaran kedua adalah tetangga Asia Pasifik dan lingkaran ketiga adalah Timur Tengah dan Afrika. Sedangkan lingkaran keempat baru hubungan dengan negara besar seperti Amerika Serikat dan Eropa. Mantan Menlu Ali Alatas, yang dikenal sangat piawai dalam diplomasi internasional, pernah menjalankan geostrategi yang berlandaskan urutan lingkaran-lingkaran tersebut. Jika diplomasi Indonesia kuat lebih dulu di ASEAN, maka strategi-strategi internasional sekitarnya akan lebih mantap dan stabil untuk dijalankan. Karena itulah, layaknya capres 2024 juga mampu merevitalisasi gagasan lingkaran konsentris dengan bakat diplomasi yang unggul. Sekarang tinggal pertanyaan besarnya, siapa di antara para bakal capres yang paling relevan. Corneliu Bjola dalam tulisannya ”Diplomatic Leadership in Times of International Crisis” menyebutkan ada tiga tipe diplomat, yakni maverick diplomat, congregator diplomat, dan pragmatist diplomat. The maverick adalah pemimpin yang memiliki visi yang kuat dan congregator adalah diplomat pemimpin yang bisa membangun konsensus tetapi tidak memiliki visi yang kuat. Sedangkan pragmatist adalah sosok yang mengejar hubungan mutual asal menguntungkan. Melihat dinamika global sekarang yang membutuhkan sosok pemimpin nasional dengan gagasan yang kuat dan mampu memperkuat posisi internasional Indonesia, maka sepertinya tipe pemimpin maverick-lah yang dibutuhkan di Pilpres 2024 nanti. Karena itu tidak salah kalau secara gamblang, tampaknya pemimpin yang memiliki latar belakang militer cukup relevan jika ingin mencari sosok yang mampu membangun politik luar negeri yang lebih strategis, tetapi visioner. Alasannya, orang militer familiar dengan keadaan geopolitik, khususnya kawasan Asia Tenggara. Sedangkan khusus untuk capres berlatar militer, Tom Kolditz dalam tulisannya “Why the Military Produces Great Leaders”, menjelaskan bahwa pemimpin berlatar militer cenderung menjadi pemimpin yang lebih baik dari latar belakang lainnya karena mereka dibentuk oleh serangkaian tahapan progresif dalam hidupnya. Seorang militer, katanya, punya pelatihan mental dan fisik yang baik selain punya dispilin yang kuat selain sangat memahami isu keamaman dan pertahanan negara. Pada akhirnya, jika pada Pilpres 2024 nanti Indonesia ingin menjadi negara besar dan mampu beradaptasi dengan dinamika geopolitik maka Prabowo mungkin bisa memenuhi kriteria di atas sekaligus menjawab tantangan Indonesia di masa depan. Hanya saja, tentu semua itu kembali pada pilihan rakyat. Kita tunggu saja pada Pemilu 2024! [Tim Monitor Indonesia] #Capres 2024