Geram! Cemaran Etilen Gikol Tak Diawasi, Eks Menkes: BPOM Sekarang Sudah Liberaliasi!

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 27 Oktober 2022 08:28 WIB
Jakarta, MI - Mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari geram dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang tidak melakuan pengawasan terhadap cemaran etilen glikol dan dietilen glikol pada obat sirup yang diyakini memicu ratusan anak mengidap gagal ginjal akut misterius hingga meninggal. Bagaimna tidak, terdapat beberapa produk obat sirup di Indonesia yang mengandung cemaran etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) yang melebihi ambang batas yang telah tercatat di BPOM itu sendiri. Produk itu teridentifikasi setelah BPOM melakukan pengujian terhadap obat-obat yang diduga tercemar senyawa etilen glikol. Itu didapatkan dalam 39 bets dari 26 sirup obat hingga 19 Oktober 2022 lalu.  Dengan kegeramannya itu, Siti menilai ada kesalahan dalam tata kelola yang membuat pada akhirnya pemerintah kebobolan. "Ada pengakuan BPOM bahwa dia tidak pernah memeriksa kadar yang disebut tercemar kalau lebih dari 0,1 persen, menurut farmakope, lah kalau satu kemasan obat itu kemudian kita tidak tahu mengandung EG dan DEG berapa, ya kita juga bisa nyalahin dia dong," tegas Siti kepada wartawan, Kamis (27/10). Hal ini tentunya dapat berdampak pada banyak sektor termasuk kerugian sejumlah industri farmasi lantaran pelarangan sementara obat sirup. Lantas Siti, mempertanyakan sejumlah perusahaan obat di Indonesia yang kemudian bakal disanksi pidana oleh BPOM."Akibatnya juga kan berdampak ke ekonomi dan kemudian ada yang dipolisikan, tersangka, ini sebenarnya bukan begitu, ini yang terjadi adalah tata kelola kita memang begitu," beber dia. Siti bahkan heran dengan BPOM yang saat ini banyak mengalami perubahan, padahal saat dirinya masih menjadi Menkes, BPOM belum kapitalis dan belum juga liberalis. "Zaman saya dulu masih nurut, BPOM RI belum kapitalis, belum liberalis, kenapa setelah saya selesai menjadi Menkes ada perubahan yang terjadi di BPOM RI? Dengan liberalisasi," kata Siti dengan kesal. Menurut Siti, perubahan BPOM saat ini  adalah hanya menjadi tempat registrasi obat, tidak benar-benar memantau atau menguji bahan baku obat. Selain itu, ia juga menuding BPOM RI hanya memverifikasi keamanan obat saat ditemukan masalah dalam produk tersebut. Denga begitu, Siti yaki bahwa kebobolan pemerintah dalam kasus gagal ginjal akut misterius karena ada masalah dalam sistem, tidak mengacu pada kesalahan salah satu pihak, baik Kemekes hingga BPOM. "Dulu kalau daftar obat di BPOM, BPOM meneliti itu, BPOM RI punya laboratorium yang lengkap tapi karena perubahan, sehingga Indonesia harus masuk ke pasar bebas, akibatnya apa? BPOM RI hanya untuk registrasi saja, BPOM RI harus nurut saja dengan apa yang tertera publisitas-publisitas yang meregister ke tempatnya," tutupnya.Sebelumnya,  Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K. Lukito menjelaskan terdapat tiga produk yang melebihi batas ambang cemaran. Adapun takaran ambang batas yang aman untuk tubuh masing-masing  etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) adalah sebesar 0,5 mg/kg per berat badan per hari. “Ada tiga produk yang telah dilakukan pengujian dan dinyatakan cemaran EG dan DEG melebihi ambang batas aman,” jelas Penny dalam konferensi pers, Minggu (23/10). Menurut Penny, ketetiga produk yang telah dilakukan pengujian dan dinyatakan cemaran EG dan DEG melebihi ambang batas aman adalah Unibebi Cough Syirup(Universal Pharmaceutical Industries), Unibebi Demam Drop (Universal Pharmaceutical Industries), dan Unibebi Demam Syrup (Universal Pharmaceutical Industries). Penny menjelaskan, bahwa kadar cemaran di produk jadi bukan merupakan kewajiban pihaknya. Ketentuan ini pun sudah sesuai dengan standar pengawasan farmasi internasional. Industri farmasi, kata Penny, seharusnya bisa melakukan sendiri, menganalisa dan meningkatkan kualitas kontrolnya, sebagai bentuk tanggung jawab hak edarnya. “Selama ini memang pengawasan terhadap kadar pencemar di produk jadi tidak jadi ketentuan standar-standar pengawasan atau standar pembuatan obat. Tidak mensyaratkan adanya pengawasan produk jadi terhadap pencemar-pencemar tersebut. Sehingga itu (pengawasan ke produk jadi) tidak dilakukan,” beber Penny. Dengan maraknya gagal ginjal pada anak, tegas Penny, yang kemungkinan disebabkan karena mengkonsumsi berlebih obat sirup yang mengandung EG dan DEG ini, pihaknya akan meningkatkan pengawasannya. “Kualitas kontrol akan ditingkatkan dan akan mengawasi juga pengawasan di post market pada produk tersebut dengan berbasis risiko. Ini akan jadi pendalaman kami pada perusahaan-perusahaan yang didapatkan produknya melebihi ambang batas atau tidak memenuhi persyaratan,” ungkapnya. Pendalaman yang akan dilakukan BPOM berkaitan dengan pengawasan sumber bahan baku obat yang terkandung di dalamnya. “Kami sudah mulai melakukan langkah-langkah pembinaan, mendatangi, dan melihat lebih jauh bahan baku detailnya,” pungkasnya. Adapun lima obat yang ditarik oleh BPOM adalah Flurin DMP Sirup (obat batuk dan flu), produksi PT Yarindo Farmatama dengan nomor izin edar DTL0332708637A1, kemasan dus, botol plastik @60 ml. Kedua yaitu Unibebi Cough Sirup (obat batuk dan flu), produksi Universal Pharmaceutical Industries dengan nomor izin edar DTL7226303037A1, kemasan Dus, Botol Plastik @ 60 ml. Ketiga adalah Termorex Sirup (obat demam), produksi PT Konimex dengan nomor izin edar DBL7813003537A1, kemasan dus, botol plastik @60 ml. Keempat yakni Unibebi Demam Drops (obat demam), produksi Universal Pharmaceutical Industries dengan nomor izin edar DBL1926303336A1, kemasan Dus, Botol @ 15 ml.  Kelima adalah Unibebi Demam Sirup (obat demam), produksi Universal Pharmaceutical Industries dengan nomor izin edar DBL8726301237A1, kemasan Dus, Botol @ 60 ml. (MI/Aan) #BPOM Liberalisasi