Kejanggalan Tuntutan Sambo Beri Isyarat Gerakan Bawah Tanah Hampir Berhasil

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 27 Januari 2023 02:03 WIB
Jakarta, MI - Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso menilai tuntutan terdakwa kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J, Ferdy Sambo dengan penjara seumur hidup dan lolos dari hukuman mati isyarat gerakan bawah tanah vonis mantan Kadiv Propam Polri itu hampir berhasil. Hanya tinggal menunggu penjatuhan vonis dari majelis hakim. "Jadi kalau sekarang ini ada muncul kembali isu itu sebetulnya itu bagian dari pada satu proses yang panjang karena sudah mendekati putusan yaitu tuntutan maka gerakan tersebut ada upaya ini menurut saya berhasil karena tuntutan dari jaksa penuntut umum tidak lazim atau janggal," kata Sugeng dikutip pada Jum'at (27/1). Menurut Sugeng, kejanggalan tuntutan jaksa dinilai tak mempertimbangkan alasan meringankan bagi Ferdy Sambo, tetapi tak diganjar tuntutan hukuman maksimal. Padahal, tegas dia, Ferdy Sambo didakwa melakukan pembunuhan berencana dengan Pasal 340 KUHP subsider pasal 338 KUHP juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dengan ancaman maksimal hukuman mati. "Menuntut Sambo hukuman seumur hidup dengan menyatakan tidak ada hal yang meringankan. Padahal fakta hal yang meringankan setidaknya ada tiga poin Sambo bersikap sopan, Sambo belum pernah dihukum dan Sambo mengakui perbuatannya ini hal yang tidak dapat dipungkiri," ujarnya. Lanjut Sugeng, alasan tidak dicantumkan hal-hal yang meringankan karena Hakim sedang memberikan jalan. "Karena Jaksa sedang memberikan jalan bagi Hakim untuk dapat memutus lebih rendah daripada tuntutan seumur hidup," ungkap dia. "Membuat fakta tentang adanya hal-hal yang meringankan apabila dimasukkan hal-hal yang meringankan maka hakim terbuka kewenangannya untuk memutuskan lebih rendah daripada tuntutan seumur hidup," sambungnya. Sosok Pemimpin Gerakan Bawah Tanah  Sebelumnya, Sugeng mengungkapkan sosok orang yang diduga memimpin gerilya gerakan bawah tanah agar vonis terhadap Ferdy Sambo bisa lebih rendah dalam kasus pembunuhan itu seorang perwira tinggi atau Pati di institusi Polri. Yang didengar Sugeng saat ini menyandang pangkat bintang satu atau Brigadir Jenderal (Brigjen) Polisi. Menurut Sugeng, Brigjen Polisi tersebut merupakan mantan anggota Satuan Tugas Khusus atau Satgasus Merah Putih yang pernah dipimpin oleh Ferdy Sambo. “Yang saya dengar mantan Satgasus (Merah Putih). Bintang satu,” katanya. Namun demikian, Sugeng menyebut bahwa pernyataan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan atau Menko Polhukam Mahfud MD soal gerakan bawah tanah untuk membebaskan Ferdy Sambo dari hukuman berat merupakan bukanlah sesuatu yang baru. Sebab, kata dia, sejak awal IPW telah mendapatkan informasi terkait adanya pihak yang tidak ingin Ferdy Sambo dihukum berat. Ia menduga, Mahfud MD mendapatkan informasi bahwa gerakan-gerakan tersebut menjadi lebih intensif menjelang pembacaan tuntutan terhadap para terdakwa. Ia pun menilai, gerakan itu berhasil meski belum seratus persen. "Menurut saya gerakan dari yang disampaikan Pak Mahfud itu berhasil, walaupun belum seratus persen," ujarnya. Pasalnya, ia menyoroti bahwa ketika Sambo dituntut seumur hidup, jaksa secara tersurat tidak memberikan catatan yang meringankan terdakwa. Namun, secara tersirat, ia membaca bahwa faktor-faktor yang meringankan terdakwa akan diberikan oleh majelis hakim. "Karena majelis hakim untuk mengisi, ada hal yang meringankan, karena tidak fair (adil -red), apabila ada fakta-fakta yang umum secara sosiologis dimasukkan sebagai hal yang meringankan," ungkapnya. Misalnya, tambah Sugeng, bersikap sopan, tidak pernah dihukum, ketika menyatakan akhirnya mengaku bersalah dan bertanggung jawab. "Ini saja tiga poin, belum lagi nanti ada pembelaan yang memasukkan jasa-jasanya," ujar Sugeng. Sugeng menegaskan, Hakim tidak boleh mengabaikan ini, karena kalau mengabaikan ini putusannya menjadi cacat. Menurutnya, perhatian hakim itu akan menjadi alasan yuridis yang kemudian memutus hukuman lebih rendah atau setidaknya sama dengan tuntutan jaksa. Sebelumnya, Menko Polhukam Mahfud MD membongkar gelagat adanya gerakan untuk memengaruhi vonis terdakwa Ferdy Sambo dan kawan-kawan dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir J. Mahfud MD bahkan menyebut ‘gerakan bawah tanah’ tersebut dengan istilah gerilya. Dalam gerilya itu, kata Mahfud, ada yang meminta Ferdy Sambo dihukum ringan, bahkan ada yang meminta bekas Kadiv Propam Polri itu dibebaskan. Ia juga menyebut gerilya dengan analogi angka dan huruf terkait vonis Ferdy Sambo. "Saya sudah mendengar ada gerakan-gerakan yang minta, memesan putusan Sambo itu dengan huruf, ada juga yang meminta dengan angka," kata Mahfud di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis (19/1). Terkait dugaan gerilya tersebut, Mahfud menyebut Kejaksaan sudah diamankan. Ia pun memastikan Kejaksaan bakal independen di kasus pembunuhan Brigadir J. "Ada yang bergerilya, ada yang ingin Sambo dibebaskan, ada yang ingin Sambo dihukum, kan begitu. Tapi kita bisa amankan itu, di Kejaksaan, saya pastikan Kejaksaan independen," ujarnya. Meskipun ia juga mendengar bahwa yang bergerilya itu adalah perwira dan pejabat tinggi pertahanan selevel Brigadir Jenderal (Brigjen), meskipun tidak menyebut nama. Ia menegaskan, siapa pun yang memiliki info terkait upaya "gerakan bawah tanah" itu untuk melapor kepadanya. "Ada yang bilang soal seorang Brigjen mendekati A dan B, Brigjen-nya siapa? Sebut ke saya, nanti saya punya Mayjen," ujar Mahfud. “Banyak kok, kalau Anda punya Mayjen yang mau menekan pengadilan atau kejaksaan, di sini saya punya Letjen," pungkasnya. #Gerakan Bawah Tanah Vonis Sambo

Topik:

IPW Ferdy Sambo