Saat DPR Cecar Calon Hakim Agung Tetap Hukum Mati Ferdy Sambo

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 12 September 2025 03:01 WIB
Mantan Kadiv Propam Polri Irjen Pol Ferdy Sambo (Foto: Dok MI/Ist)
Mantan Kadiv Propam Polri Irjen Pol Ferdy Sambo (Foto: Dok MI/Ist)

Jakarta, MI - Anggota Komisi III DPR RI Benny Kabur Harman mencecar calon Hakim Agung Alimin Ribut Sujono soal alasannya mendukung dan sempat dua kali menjatuhkan vonis mati.

Adapun Alimin adalah salah satu dari 13 calon Hakim Agung yang tengah menjalani uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR RI.

Alimin yang saat ini merupakan Hakim Tinggi di Pengadilan Tinggi Banjarmasin merupakan hakim di Pengadilan Jakarta Selatan (Jaksel) selama tiga tahun dan sempat menjatuhkan vonis mati terhadap mantan Kadiv Propam Mabes Polri Irjen Pol Ferdy Sambo pada 13 Februari 2023 silam.

"Anda yang menangani Sambo?" tanya Benny kepada Alimin dalam rapat hari ketiga uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR, Kamis (11/9/2025).

"Iya mengadili," jawab Alimin. 

"Dan yang menjatuhkan hukuman mati?" tanya Benny.

"Iya benar kami bertiga," jawab Alimin.

Benny lantas bertanya apakah Alimin mendukung vonis mati dan apa alasannya.

Menurut Benny, apa alasan Alimin merasa sebagai wakil Tuhan dan berhak mencabut nyawa seseorang.

"Pertanyaan saya simpel saja, Pak Alimin tadi wakil Tuhan di dunia, berarti bagaimana Pak Alimin begitu, bertemu dengan Tuhannya dan merasa benar menjatuhkan ini? Seperti apa prosesnya?" tanya Benny.

Pun, Alimin mengaku telah dua kali menjatuhkan vonis mati. 

Yakni Ferdy Sambo dan terdakwa kasus narkotika. Namun dia tidak mengungkap terdakwa yang dimaksud. 

Lantas dia mengaku bahwa telah melakukan perenungan dalam dua vonis tersebut dan tetap meyakini hal itu tidak keliru.

"Ini dari perspektif yang berbeda, ada saat-saatnya orang dihukum mati, karena saya berpikir bahwa orang tersebut akan tahu kapan akan mati, ketika dia tahu kapan dia mati akibat perbuatannya, maka dia akan memperbaiki diri," jelas Alimin.

"Apakah anda tetap pada pendirian menjatuhkan hukuman mati? Untuk Pak Sambo?" tanya Benny melanjutkan.

"Saya tidak berkomentar untuk Pak Sambo. Untuk perkara sejenis yang lain, iya," jawab Alimin.

Namun misalnya Alimin terpilih sebagai hakim agung di Mahkamah Agung (MA), Alimin tidak bisa kembali menangani kasus Sambo yang belakangan telah dijatuhi vonis seumur hidup.

Karena hal itu bertentangan dengan kode etik hakim yang melarang seorang hakim tidak boleh menangani perkara yang sudah ditangani di tingkat sebelumnya.

"Kode etiknya tidak boleh, Pak. Hakim tidak boleh menangani perkara, di mana di tingkat bawahnya pernah menangani kasus tersebut," tukasnya tegas.

Mengapa MA ubah hukuman Ferdy Sambo?

Ferdy Sambo telah lolos dari hukum pidana mati dalam kasus pembunuhan terhadap Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat melalui putusan kasasi. 

Mahkamah Agung (MA) melalui putusan kasasi 813K/Pid/2023 mengubah hukuman yang diberikan pengadilan tingkat pertama dengan pidana mati dan dikuatkan dengan tingkat banding, menjadi seumur hidup. 

Pertimbangan majelis kasasi mengubah hukuman tersebut

Majelis kasasi yang menangani perkara terdiri dari H Suhadi, dengan anggota Suarto, jupriyadi, Desnayeti, dan Yohanes Priyana. 

Putusan yang ditetapkan dalam rapat musyawarah majelis hakim, Selasa (8/8/2023) itu menuai pro dan kontra di tengah masyarakat. 

Sebagian pandangan menilai pidana mati sudah tepat untuk Ferdy Sambo yang terbukti telah melakukan pembunuhan berencana secara bersama-sama terhadap Nifriansyah Yosua Hutabarat atau dikenal juga dengan Brigadir J.

Putusan judex jurist dalam perkara itu intinya menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I/penuntut Umum (Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan) dan Pemohon Kasasi II/terdakwa (ferdy Sambo). 

Tapi, majelis kasasi memperbaiki putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No.53/PID/2023/PT DKI, tanggal 12 April 2023 yang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 796/Pid.B/2022/PN Jkt.Sel tanggal 13 Februari 2023. 

Perbaikan itu menyasar soal kualifikasi tindak pidana dan pidana yang dijatuhkan kepada Ferdy Sambo.

“Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa tersebut oleh karena itu dengan pidana penjara Seumur Hidup,” begitu kutipan sebagian amar salinan putusan putusan kasasi yang diperoleh Monitorindonesia.com.

Setidaknya ada 2 pokok pertimbangan yang digunakan majelis hakim kasasi dalam memutus perkara Ferdy Sambo. 

Pertama, memperhatikan tujuan dan pedoman pemidanaan menurut ilmu hukum pidana, serta politik hukum pidana nasional paska diundangkannya UU No.1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional. 

Dalam KUHP baru itu, mengatur pidana mati dipandang sebagai pidana khusus, bukan lagi sebagai pidana pokok. 

Dengan begitu, semangat politik hukum pemidanaan di Indonesia bergeser dari retributif/pembalasan/ex stationis menjadi rehabilitatif.

Pemidanaan saat ini mengedepankan tujuan pemidanaan sebagai sarana pencegahan, pemasyarakatan/rehabilitasi, penyelesaian konflik/pemulihan keseimbangan, penciptaan rasa aman dan damai serta penumbuhan penyesalan terpidana. 

Dalam rangkaian peristiwa pembunuhan berencana yang dilakukan terdakwa terhadap korban Nofriansyah Yosua Hutabarat perlu dilihat kembali secara jernih, arif, dan bijaksana dengan mengedepankan asas obyektifitas dan proporsionalitas kesalahan terdakwa terhadap perbuatan yang telah dilakukan.

Dengan demikian, penjatuhan pidana terhadap Ferdy Sambo dalam perkara tersebut harus mempertimbangkan berbagai aspek baik filosofis, sosiologis, dan normatif hingga dirasakan adil dan bermanfaat tak hanya bagi korban/keluarganya juga terdakwa dan masyarakat pada umumnya. Tentu saja dengan menjunjung tinggi nilai-nilai hukum yang berkeadilan.

Kedua, judex jurist mempertimbangkan Pasal 8 ayat (2) UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, menyebutkan, “Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa”. 

Riwayat hidup dan keadaan sosial terdakwa juga tetap harus dipertimbangkan.

Sebab, saat menjabat sebagai anggota Polri dengan jabatan terakhir Kepala Divisi (Kadiv) Profesi dan Pengamanan (Propam), Ferdy Sambo pernah berjasa kepada negara dengan berkontribusi ikut menjaga ketertiban dan keamanan serta menegakan hukum di tanah air. 

Terdakwa telah mengabdi sebagai anggota Polri sekitar 30 tahun, dan telah tegas mengakui kesalahannya dan siap bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan.

“Sehingga selaras dengan tujuan pemidanaan yang ingin menumbuhkan rasa penyesalan bagi pelaku tindak pidana,” begitu bunyi sebagian pertimbangan putusan.

Berdasarkan berbagai pertimbangan hukum itulah serta dikaitkan dengan keseluruhan fakta hukum, majelis kasasi menilai demi asas kepastian hukum yang berkeadilan serta proporsionalitas dalam pemidanaan, maka pidana mati yang telah dijatuhkan judex facti perlu diperbaiki dengan pidana penjara seumur hidup. 

Bagaimana dengan KUHP Baru?

Oleh karena masing-masing pidana yang dijatuhkan terhadap Ferdy Sambo Cs melalui putusan Mahkamah Agung adalah penjara 8 tahun sampai seumur hidup, maka dapat dipastikan bahwa ketentuan KUH Pidana baru akan berlaku ketika mereka masih menjalani pidana (2 Januari 2026/vide Pasal 624 KUH Pidana baru).

Dalam konsepsi hukum pidana dikenal sebuah prinsip lex favor reo (asas transitoir), yang mengintrodusir bahwa dalam hal terdapat perubahan peraturan perundang-undangan sesudah perbuatan terjadi, diberlakukan peraturan perundang-undangan yang baru, kecuali ketentuan peraturan perundang-undangan yang lama menguntungkan bagi pelaku dan pembantu Tindak Pidana (vide Pasal 1 angka 2 KUH Pidana lama, dan Pasal 3 ayat (1) KUH Pidana baru).

Artinya, dalam pelaksanaan hukuman (yang notabene juga diatur di dalam KUH Pidana baru), nantinya juga dapat diterapkan dalam pelaksanaan hukuman bagi Ferdy Sambo Cs. 

Khusus bagi Ferdy Sambo sendiri, yang dijatuhi pidana penjara seumur hidup, berdasarkan Pasal 69 ayat (1) KUH Pidana, hukumannya masih dimungkinkan untuk diubah menjadi maksimal 20 tahun penjara, dengan syarat bahwa ia telah menjalani pidana penjara selama 15 tahun, dan perubahan pidanannya tersebut telah dituangkan di dalam Keputusan Presiden dengan mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung.

Dalam hal hukuman Ferdy Sambo belum berubah menjadi pidana penjara maksimal 20 tahun, maka seluruh hak-hak narapidana, sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 22 Tahun 2022, yang berupa: remisi, asimilasi, cuti mengunjungi atau dikunjungi keluarga, cuti bersyarat, cuti menjelang bebas, pembebasan bersyarat, dan hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, tidak dapat diberikan kepada Ferdy Sambo (vide Pasal 10 ayat (4) UU Nomor 22 Tahun 2022).

Berbeda dengan Ferdy Sambo, terhadap narapidana lainnya, yakni Puteri Candrawati, Ricky Rizal, dan Kuat Maruf (yang kesemuanya tidak dijatuhi pidana penjara seumur hidup ataupun pidana mati), dapat memperoleh hak-hak narapidana berdasarkan Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 22 Tahun 2022. (wan)

Topik:

Hakim Agung MA DPR Ferdy Sambo Hukuman Mati