Kasus Rp 349 T "Warisan" Srimul: Pencetus Satgas TPPU "Tiarap", PPATK Tak Transparan!


MARET 2023 silam, publik dihebohkan kabar transaksi janggal atau "siluman" di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang saat itu masih dinahkodai Sri Mulyani Indrawati (SMI).
Kasus ini muncul di tengah hangatnya pengusutan kasus penganiayaan terhadap David Ozora oleh Mario Dandy Satriyo anak Rafael Alun Trisambodo (RAT).
Rafael Alun adalah bekas Kepala Bagian Umum Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Kantor Wilayah (Kanwil) Jakarta Selatan.

Hal ini sempat membuat Menteri Keuangan Sri Mulyani kebingungan. Pasalnya, ketika pertama kali data ini keluar ke publik, dirinya mengaku tidak tahu menahu.
Namun kabar transaksi gelap itu pun meluncur dari mulut Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) saat itu, Mahfud Md yang saat itu tengah berada di Yogyakarta pada 8 Maret 2023 lalu.
Mahfud merupakan Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Komite TPPU) mengaku mendapatkan data dari PPATK. Dari momen inilah, awal mula perkembangan kasus transaksi Rp 349 triliun.
Pada hari Rabu, 8 Maret 2023 Mahfud MD menghadiri acara Town Hall Meeting dengan para mahasiswa Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Selepas mengisi acara tersebut, dia mengonfirmasi beberapa temuan PPATK terkait transaksi jumbo dari rekening Rafael Alun Trisambodo (RAT), mantan pejabat eselon III di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan yang tengah diperiksa KPK. Diantaranya transaksi di rekeningnya yang mencapai Rp 500 miliar.
Informasi ini Mahfud dapatkan karena ia merupakan Ketua Komite TPPU yang sekertarisnya adalah Ketua PPATK. Kemudian, dia mengemukakan temuan baru pergerakan transaksi janggal di Kementerian Keuangan senilai Rp 300 triliun. Informasi itu ia sebut baru ia dapat pagi harinya tanggal tersebut.
"Saya sudah dapat laporan yang pagi tadi malah ada pergerakan mencurigakan sebesar Rp 300 triliun, di lingkungan Kementerian Keuangan yang sebagian besar ada di Direktorat Jenderal Pajak dan Bea Cukai," kata Mahfud saat itu.
Pada hari yang sama, sekitar pukul 13.30 WIB, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tengah menggelar konferensi pers penanganan RAT yang dipimpin Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan Awan Nurmawan Nuh. Ketika dikonfirmasi terkait pernyataan Mahfud, Awan mengaku tidak tahu menahu soal data yang disampaikan Mahfud.
Awan mengatakan dirinya mengetahui transaksi mencurigakan Rp 300 triliun itu dari media massa karena belum ada surat resmi terkait itu yang disampaikan pihak Mahfud kepada Kemenkeu.
"Memang sampai saat ini kami khususnya Itjen belum tahu, tapi kami belum terima informasi nya seperti apa, nanti kami cek. Memang masalahnya sudah tahu di pemberitaan, tapi nanti kami cek," tegas Awan.
Di hari yang sama pula Mahfud pun memberikan informasi kepada wartawan terkait transaksi janggal Rp 300 triliun itu di Universitas Islam Indonesia (UII) Terpadu Yogyakarta. Dia mengemukakan bahwa data itu sudah disampaikan sejak 2009 beserta suratnya. Namun, dia menuturkan data tersebut tak pernah ditindaklanjut Itjen Kemenkeu.
Ia bahkan menambahkan informasi bahwa sejak 2009-2023 sudah sebanyak 160 laporan lebih yang disampaikan ke Itjen Kemenkeu karena transaksi mencurigakan itu melibatkan 460 orang lebih di kementerian tersebut. Sayangnya, menurut Mahfud, data itu lagi-lagi tak pernah di tindaklanjuti, kecuali ada kasus besar seperti Gayus, Angin Prayitno, dan terakhir Rafael.
"Ini sudah dilaporkan dulu kok didiamkan. Dulu Angin Prayitno sama tidak ada yang tahu sampai ratusan miliar, diungkap KPK baru dibongkar. Itu saya kira karena kesibukan yang luar biasa, sehingga perlu sistem saja menurut saya," ujar Mahfud.
Selanjutnya, pada hari Kamis, 9 Maret 2023, saat mendampingi Presiden Joko Widodo kunjungan kerja di Solo, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati merespons kabar yang dilontarkan Mahfud itu.
Saat itu, dia mengaku memang kerap kali mendapat surat laporan dari PPATK. Namun, dirinya tidak pernah mendapati laporan berisi angka Rp 300 triliun.
Surat yang diterima Sri Mulyani terkait laporan PPATK ini sebanyak 196 dari 2009-2023, namun ia menegaskan sudah merespons seluruh laporan yang disampaikan PPATK sendiri maupun yang berasal dari permintaan Itjen Kemenkeu.
Dia menambahkan bahwa dirinya akan segera berkomunikasi dengan Mahfud MD dan PPATK. "Jadi saya enggak tahu juga Rp 300 triliun itu dari mana angkanya. Nanti saya kalau kembali lagi ke Jakarta akan bicara lagi dengan Pak Mahfud dan Pak Ivan angkanya itu dari mana sehingga saya punya informasi yang sama dengan anda semuanya," kata Sri Mulyani.
Pada hari Jumat, 10 Mate 2023, sekembalinya ke Jakarta, Sri Mulyani memerintahkan Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara, Sekjen Kemenkeu Heru Pambudi, dan Irjen Kemenkeu Awan Nurmawan Nuh menyambangi Mahfud Md di Kantor Kemenko Polhukam.
Setelah pertemuan selesai, Mahfud menyatakan bahwa transaksi mencurigakan itu bukanlah korupsi, melainkan diduga tindak pidana pencucian uang. Mahfud dan Suahasil berkomitmen akan menindaklanjuti temuan itu, dan bahkan akan meneruskan ke aparat penegak hukum jika memang terbukti peristiwa tindak pidananya.
"Jadi tidak benar kalau kemudian isu berkembang di Kemenkeu ada korupsi Rp 300 triliun. Bukan korupsi, tapi pencucian uang, pencucian uang itu lebih besar dari korupsi tapi tidak mengambil uang negara," kata Mahfud.
Pada hari Sabtu, 11 Maret 2023, Mahfud mendatangi kantor Kementerian Keuangan untuk menemui Sri Mulyani terkait transaksi mencurigakan senilai Rp 300 triliun itu.

Saat pertamuan itu, kabar luar yang diperoleh Monitorindonesia.com, bahwa pihak Kemenkeu tidak suka dengan Mahfud MD yang ikut campur dalam kasus di Kemenkeu itu.
Setelah pertemuan pada sore harinya, Sri Mulyani masih menyatakan belum mengetahui detail angka Rp 300 triliun, sehingga harus memanggil Kepala PPATK untuk menjelaskan temuannya itu, yang selanjutnya diungkapkan oleh Mahfud.
"Mengenai Rp 300 triliun, sampai siang hari ini, dia mengaku tidak mendapatkan informasi mengenai Rp 300 triliun itu ngitungnya dari mana, transaksinya apa saja, siapa yang terlibat. Jadi dalam hal ini teman-teman media silakan nanti mungkin bertanya kepada Pak Ivan," kata Sri Mulyani.
Setelah polemik yang berkepanjangan dan belum ada pernyataan yang jelas, akhirnya pada Selasa, 14 Maret 2023, Kepala PPATK Ivan Yustiavandana mendatangi kantor Sri Mulyani di Gedung Juanda Kementerian Keuangan sekitar pukul 14.15 WIB. Ivan bertemu dengan Suahasil dan jajarannya.
Setelah rapat rampung sekitar pukul 16.00 WIB, Ivan memberikan pernyataan bahwa transaksi yang mencurigakan tersebut bukan merupakan aktivitas dari pegawai Kemenkeu seperti yang sudah beredar di publik. "Kami menemukan sendiri terkait dengan pegawai, tapi itu nilainya tidak sebesar itu, nilainya sangat minim," tegasnya.
Ivan menjelaskan, dalam UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Kemenkeu merupakan salah satu penyidik tindak pidana asal. PPATK wajib melaporkan ketika ada kasus atau transaksi yang mencurigakan yang berkaitan dengan perpajakan dan kepabeanan.
"Kasus-kasus itu lah yang secara konsekuensi logis memiliki nilai yang luar biasa besar, yang kita sebut kemarin Rp 300 triliun. Dalam kerangka itu perlu dipahami, bahwa ini bukan tentang adanya abuse of power atau korupsi yang dilakukan oleh pegawai dari Kementerian Keuangan," paparnya.
Dalam kesempatan yang sama, Irjen Kemenkeu Awan Nurmawan menegaskan informasi ini penting untuk diketahui masyarakat. Terkait informasi mengenai pegawai dengan transaksi mencurigakan, akan dilakukan pemeriksaan sesuai peraturan. "Jadi jelas, prinsipnya angka Rp 300 triliun itu bukan angka korupsi atau TPPU pegawai di Kementerian Keuangan," tegas Awan.
Selanjutnya, Mahfud MD yang tengah berada di Australia memastikan tak akan berhenti mengusut transaksi janggal di Kementerian Keuangan senilai Rp 300 triliun periode 2009-2023. Menurutnya, informasi angka transaksi gelap yang ia peroleh selaku Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Komite TPPU) itu, tak akan berhenti sampai terkuak asal muasalnya.
"Berita itu tidak akan bisa ditutupi, dan itu tidak bisa direm karena sudah muncul ke publik. Harus jelas itu uang apa dan tidak bisa berhenti di situ," kata Mahfud dalam keterangan videonya dari Australia saat itu.
"Tapi ya mudah-mudahan bukan korupsi, mudah-mudahan bukan TPPU, nanti akan jelas sesudah saya pulang. Episode berikutnya. Nanti tunggu saja hari senin saya sudah di jakarta, sudah ketemu Bu Sri Mulyani," katanya.
Menurut Mahfud, klaim bahwa nilai itu bukan berasal dari tindak pidana korupsi ataupun TPPU tidak hanya bisa diakhiri dari pernyataan belaka. Sebab, dia memperoleh data itu secara detail, termasuk dari nama-nama yang terlibat dalam transaksi mencurigakan itu.
"Sesudah saya pulang ke Indonesia nanti kita jelasin. Katanya bukan korupsi, bukan TPPU, terus apa? kan sudah jelas angkanya, angkanya sekian, ada namanya, itu apa?" kata Mahfud.
Pada Senin, 20 Maret 2023, Mahfud, Sri Mulyani Indrawati bersama Ivan Yustiavandana melakukan rapat kerja bersama. Agenda tersebut dilakukan secara tiba-tiba, setelah rapat kerja antara Komisi III DPR dan Mahfud dan Ivan Yustiavandana batal dilakukan.

Hasil kesimpulan pertemuan yang berlangsung hari ini, transaksi mencurigakan di Kemenkeu yang tadinya disebut sebesar Rp 300 triliun, namun setelah diteliti lagi, transaksi mencurigakan tersebut nilainya lebih dari Rp 349 triliun.
Adapun perputaran uang dalam transaksi mencurigakan di Kementerian Keuangan tersebut, kata Mahfud merupakan transaksi ekonomi, yang kemungkinan bersinggungan dengan tindak pidana pencucian uang (TPPU) pada bidang perpajakan, cukai, dan kepabeanan.
"Ini tidak mencurigakan dan itu melibatkan dunia luar. Orang yang punya sentuhan-sentuhan dengan mungkin orang Kementerian Keuangan, Itu tidak selalu berkaitan dengan pegawai di Kementerian Keuangan, dan itu bukan uang negara,," jelas Mahfud.
"Yang kita bicarakan itu, yang saya dan Pak Ivan PPATK sampaikan dan Bu Sri Mulyani juga, menjawab bahwa ini adalah laporan pencucian uang, dugaan laporan tindak pencucian uang. Menyangkut uang luar, tapi ada kaitannya dengan yang di dalam (Kementerian Keuangan)," tambah Mahfud.
Lebih lanjut, Komisi III DPR RI memanggil Kepala PPATK Ivan Yustiavandana dalam rangka rapat kerja membahas polemik transaksi yang kemudian berubah menjadi Rp 349 triliun pada 21 Maret 2023.
Kepala PPATK Ivan Yustiavandana menegaskan nilai transaksi mencurigakan itu sebetulnya bukan dalam artian dilakukan di Kementerian Keuangan, melainkan sebatas terkait tugas pokok dan fungsi Kementerian Keuangan sebagai penyidik tindak pidana asal yang diurus Kemenkeu.
"Jadi Rp 349,84 triliun itu ini tidak semua kita bicara tindak pidana yang dilakukan Kementerian Keuangan tapi ini terkait tugas pokok dan fungsi Kementerian Keuangan sebagai penyidik tindak pidana asal," kata Ivan.
Ivan menegaskan, kasus yang terkait dengan angka itu kebanyakan terkait dengan kasus impor ekspor, hingga kasus perpajakan yang diurus tim penyidik di Kemenkeu. Dalam 1 kasus saja dalam hal terkait ekspor-impor nilainya lebih dari Rp 40 triliun sampai dengan Rp 100 triliun.
"Jadi ada tiga stream LHA yang PPATK sampaikan itu ada LHA (Laporan Hasil Analisis) yang terkait oknum, kedua ada yang terkait oknum dan tusinya (tugas pokok dan fungsi), ketiga kita tidak menemukan oknumnya tapi kita menemukan tindak pidana asalnya," jelas Ivan.
Dalam kesempatan itu, Ivan menekankan total nilai transaksi mencurigakan itu tidak bisa disimpulkan dilakukan di Kementerian Keuangan. Narasi yang muncul di publik bahwa transaksi mencurigakan Rp 349 triliun itu ada di Kementerian Keuangan menurutnya salah kaprah.
"Jadi sama sekali tidak bisa diterjemahkan kejadian tindak pidananya di Kemenkeu. Ini jauh berbeda, jadi kalimat di Kemenkeu itu adalah kalimat yang salah, yang menjadi tugas pokok dan fungsi Kemenkeu," tegas Ivan.
"Jadi itu sama halnya pada saat kami menyerahkan kasus korupsi ke KPK, itu bukan tentang orang KPK tapi lebih kepada karena penyidik tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana asalnya KPK," tambahnya Ivan.
Selanjutnya, Sri Mulyani kepada Komisi XI DPR RI mengungkapkan bahwa transaksi mencurigakan sebesar Rp 349 triliun yang dilaporkan PPATK bukan merupakan tindak pencucian uang maupun korupsi yang dilakukan jajaran Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Dia pun memastikan data transaksi yang terkait dengan PNS Kemenkeu hanya sebesar Rp 3,3 triliun.
Sri Mulyani menjelaskan bahwa nilai tersebut termasuk bagian dari 135 surat PPATK yang terkait dengan korporasi dan pegawai. Nilai totalnya adalah Rp 22 triliun, dimana Rp 18,7 triliun korporasi dan Rp 3,3 triliun pegawai.
Nilai Rp 3,3 triliun ini adalah transaksi debit kredit pegawai termasuk penghasilan resmi, transaksi keluarga dan jual beli harta untuk kurun waktu 15 tahun, 2009 sampai 2023, yang telah ditindaklanjuti. "Jadi yang benar-benar berhubungan 3,3 triliun periode 2009-2023. Seluruh transaksi debit kredit pegawai, termasuk penghasilan resmi, transaksi dengan keluarga, jual beli aset, jual beli rumah, itu Rp 3,3 triliun," ungkap Sri Mulyani
Di dalam nilai tersebut, juga terdapat surat berkaitan dengan clearance pegawai yang digunakan dalam rangka mutasi promosi (fit & proper test). "Jadi tidak ada dalam rangka pidana, korupsi atau apa, tapi kita untuk mengecek tadi profiling untuk risk," tegasnya.
Pada Senin, 27 Matet 2023 Mahfud melakukan rapat khusus bersama Presiden Joko Widodo, di Istana Kepresidenan. Salah satu yang dibahas adalah temuan transaksi janggal itu. Kata Mahfud, Presiden memintanya untuk memberikan pengertian kepada masyarakat tentang apa itu pencucian uang.
"Saya diminta hadir, menjelaskan ke DPR apa itu pencucian uang. Saya akan menjelaskan sejelas-jelasnya tanpa ada yang ditutup-tutupi, karena presiden kita ini menghendaki keterbukaan informasi sejauh sesuai dengan perundang-undangan," jelas Mahfud.
Pada hari, Rabu, 29 Maret 2023 Mahfud menghadiri rapat di Parlemen. Dirinya dijadwalkan untuk memberikan penjelasan mengenai temuan itu.
"Saya akan didampingi oleh beberapa pejabat eselon 1 dari para anggota komite ketua nasional Komite Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Ketuanya saya, anggotanya ada beberapa menteri dan lembaga. kita cukup ditemani oleh eselon 1-nya. gitu aja. saya siap datang hari Rabu," beber Mahfud.
Dalam rapt Mahfud MD menyampaikan rincian hasil pemeriksaan Komite Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU. "Jumlah entitasnya 491 orang [ASN Kemenkeu]. Jangan hanya bicara Rafael, di sini ada jaringannya," kata Mahfud dalam rapat terbuka yang disiarkan secara daring.
Namun, Mahfud mengatakan para entitas itu berupa agregat. Artinya, nama-nama dari pihak-pihak yang terlibat TPPU tidak akan diumumkan kepada publik, kecuali mereka sedang diproses secara hukum. "Ini ada ketentuan di UU tidak boleh menyebut kalau menyangkut identitas seorang, kemudian nama perusahanan, nomor akun, profil identitas yang terlapor nilai tujuan transaksi itu semua tidak boleh disebut," katanya.
Ia menjelaskan bahwa jumlah total transaksi mencapai sekitar Rp349 triliun. Dana tersebut dibagi menjadi tiga kelompok. Kategori pertama berupa Transaksi Keuangan Mencurigakan Pegawai Kemenkeu (Rp35 triliun).
Kedua, Transaksi Keuangan Mencurigakan yang diduga melibatkan pegawai kemenkeu (Rp53 triliun). Kategori ketiga, yang mencakup jumlah terbesar, berupa Transaksi Keuangan Mencurigakan Terkait Kewenangan Kemenkeu Sebagai Penyidik TPA dan TPPU yang belum diperoleh data keterlibatan pegawai Kemenkeu (Rp260,1 triliun).
Sebelumnya, ia sempat menyampaikan bahwa terdapat sebanyak Rp300 triliun dugaan transaksi mencurigakan pencucian uang di Kemenkeu. Namun, tidak seluruhnya dilaporkan langsung kepada Kemenkeu. "Betul. 200 [surat] yang disampaikan ke Kemenkeu. Seratus [surat] lainnya ke kementerian lembaga lain, tapi terkait Bea Cukai," ungkap Mahfud.
Menuru dia, Menteri Keuangan Sri Mulyani tidak mengetahui mengenai praktek-praktek pencucian uang yang terjadi dalam jajaran Kemenkeu. "Kesimpulan saya, Bu Sri Mulyani tidak punya akses terhadap laporan-laporan ini. Sehingga keterangan terakhir di Komisi XI itu jauh dari fakta," katanya.
Seiring berjalannya waktu, Mahfud MD membentuk Satgas Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang masa tugasnya sampai pada Desember 2023. Pembentukan ini merupakan tindak lanjut dari penemuan transaksi mencurigakan senilai Rp 349 triliun itu.
"Sesuai dengan hasil rapat Komite TPPU tanggal 10 April tahun 2023, yang kemudian disampaikan kepada DPR melalui rapat dengar pendapat di Komisi III, tanggal 11 April 2023, maka saya sampaikan bahwa hari ini pemerintah telah membentuk satgas dimaksud, yaitu Satgas tentang Dugaan TPPU," kata Mahfud di gedung Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Rabu (3/5/2023).
Adapun tim pengarah terdiri atas tiga anggota, yakni Mahfud selaku Ketua Komite TPPU, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, dan Kepala PPATK Ivan Yustiavandana. Dalam Satgas TPPU ini, dihadirkan juga tenaga ahli, di antaranya mantan Kepala PPATK Yunus Husein dan Muhammad Yusuf, hingga mantan pimpinan KPK La Ode Syarif.

"Dalam melaksanakan tugasnya, Satgas TPPU didukung oleh tenaga ahli di bidang TPPU, korupsi, dan perekonomian, kepabeanan, hingga cukai," kata Mahfud.
Satu bulan berjalan, Satgas TPPU menyerahkan 33 laporan dugaan pencucian uang dengan nilai Rp25,3 triliun ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Puluhan dokumen yang diserahkan ke KPK itu merupakan bagian dari 300 berkas laporan hasil analisis (LHA) dan laporan hasil pemeriksaan (LHP) oleh PPATK.
Hal itu terungkap, sebab kembali dibukanya laporan transaksi janggal dari PPATK oleh pihak-pihak yang sejak lama tidak dituntaskan penelusurannya.
Adapun pegawai yang terlibat transaksi mencurigakan diantaranya adalah Yulmanizar Rp 3.22 Triliun, Wawam Ridwan Rp 3.22 Triliun, Hadi Sutrisno Rp 2.76 Triliun, Alfred Simanjuntak Rp 1.27 Triliun, Agus Susetyo Rp 818.29 Miliar, Aulia Imran Maghribi Rp 818.29 Miliar dan Ryan Ahmad Rinas sebesar Rp 818.29 Miliar.
Lalu, Veronika Lindawati Rp 818.29 Miliar, Adhi Pramono Rp 60.16 Miliar, Yul Dirga Rp 53.88 Miliar, Eddi Setiadi Rp 51.80 Miliar, Natan Pasomba Rp 40 Miliar, Suherlan Rp 40 Miliar, Sukiman Rp 16.61 Miliar, Istadi Prahastanto Rp 3.99 Miliar dan Heru Sumarwanto sebesar Rp 3.99 Miliar
Adapun nama-nama tersangka dan terdakwa yang bukan pegawai Kemenkeu, Prastowo menyebutkan, Sukiman yang merupakan mantan anggota DPR; Natan Pasomba dan Suherlan mantan pegawai Dinas PU Kabupaten Pegunungan Arfak; Agus Susetyo, Aulia Imran Maghribi, Ryan Ahmad Ronas adalah konsultan pajak; serta Veronica Lindawati pihak swasta.
Sisa sudah terpidana, yaitu Eddi Setiadi yang merupakan mantan Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak Bandung, Yul Dirga mantan Kepala KPP Penanaman Modal Asing Tiga, Hadi Sutrisno, mantan pemeriksa pajak madya KPP Penanaman Modal Asing Tiga, dan terakhir ialah Alfred Simanjuntak yang merupakan mantan pemeriksa pajak madya Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap total transaksi 16 orang ini mencapai Rp 25,38 triliun.Anti-corruption software
Waktu terus bergulir, hingga pada November 2023 lalu setidaknya ada delapan laporan yang diselesaikan dari total 300 surat terkait transaksi janggal itu. Dari delapan laporan itu, sebanyak delapan orang telah terkena sanksi pemecatan atau diberhentikan.
"Banyak, ada sekian yang dihentikan, ada sekian sudah pidana, itu banyak. Itu masih (proses) nanti saja dilaporkan (detailnya), kalau enggak salah ada delapan tadi," kata Mahfud.
Mahfud belum mau merinci nama-nama yang sudah selesai ditelusuri dan terkena sanksi dari hasil penelusuran Satgas TPPU. Ia hanya memastikan bahwa salah satu nama itu adalah Rafael Alun Trisambodo atau RAT yang merupakan mantan pejabat eselon III Ditjen Pajak.
"Kalau pidana itu misal Alun itu memang masuk di surat, ada Angin Prayitno, itu ada kan sudah dipidana itu kan pegawai Kemenkeu, dan itu juga sedang berjalan di Soekarno-Hatta," tutur Mahfud.
Secara umum seluruh orang yang diduga terlibat dalam transaksi janggal di Kemenkeu itu masih terus diproses. Namun, setidaknya dari delapan surat yang diselesaikan, ada 15 nama yang sudah terkena sanksi.
Selain itu, Mahfud mengingatkan, yang lebih penting adalah kembali terkuaknya kasus transaksi janggal importasi emas Rp 189 triliun yang masih bagian dari agregat transaksi Rp 349 triliun. Bahkan, setelah ditelusuri Satgas, kata Mahfud ada pengembangan nominal.
"Yang Rp 189 triliun yang dulu sudah diumumkan sudah clear di dalam tim ditemukan Rp 193 triliun itu belum selesai kemarin laporan dari keuangan sendiri sudah ada, akan kita selidiki."
"Dulu Rp 189 triliun yang diributkan, dulu versi bea cukai dan perpajakan sudah selesai dan enggak masalah. Dalam rapat tearkhir diakui bermasalah dan belum tuntatas dan mungkin akan ditemukan tindak pidana asal," ungkap Mahfud.
Sementara itu, dalam kasus importasi emas, pihak Kejaksaan Agung menurut Mahfud kembali membuka kasusnya setelah disinggung Satgas TPPU. Mereka fokus mengusut total kerugian negara dari kasus itu yang perkiraannya senilai Rp 49 triliun.
"Sudah lama tadi nilai importasi emas Rp 49 triliun yang seharusnya bayar biaya kepabenana bea cukai ke negara Rp 41 miliar atau Rp 39-41 miliar kemudian dijadikan nol di Jakarta. Itu diangkat lagi skearnag karena dari luar negeri tertulis kena pajak 5% kok jadi nol," tutur Mahfud.
Mahfud mengklaim, dari hasil penelurusan Kejagung, sebetulnya sudah ada orang yang ditetapkan sebagai tersangka. Namun, ia belum mau mengungkapkan secara detail nama-namanya. "Ini yang sudah disidik dan sudah ada tersangkanya di Kejagung. Itu gerakan-gerakan yang muncul setelah kita munculkan karena ada penyakit serius di negeri ini terkatit pencucian uang," beber Mahfud.
Dalam pengusutan kasus importasi emas itu, Kejaksaan Agung sudah memeriksa sejumlah petinggi PT Aneka Tambang (Antam) dan Kantor Bea Cukai Bandara Soekarno Hatta dalam kasus itu untuk periode 2010 sampai 2022. Namun hingga kini belum diumumkan siapa saja yang bakal tersangka.
Namun demikian, jika merujuk pada masa kerjanya hingga Desember 2023, apakah Satgas TPPU berakhir? Hal itu belum dapat dipastikan sebab belum ada keterangan dari Satgas TPPU itu sendiri.
Sementara Komisi III DPR RI berencana akan memanggil pihak PPATK untuk memperjelas kasus tersebut. Termasuk dengan transaksi yang ditemukan PPATK, yakni transaksi jangga jelang pemilu dan 100 caleg pemilu 2024.
Bagaimana nasib kasus ini?
Mahfud MD yang tak lagi menjabat Menko Polhukam sudah berkali-kali dimintai konfirmasi Monitorindonesia.com hingga hari ini Jumat (12/9/2025) tidak merespons sama sekali. Salah satu tenaga ahli Satgas ini yakni La Ode Syarif juga tidak memberikan respons.

Namun Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyebut bahwa duit sebesar Rp 349 triliun bukanlah transaksi janggal di Kemenkeu melainkan nilai kasus tindak pidana pencucian uanga (TPPU) Kepabeanan dan Perpajakan.
Kasus ini sempat ditangani Mahfud MD saat menjabat Menko Polhukam pada 2023 dengan membentuk Satuan Tugas (Satgas) TPPU.
Kepala PPATK Ivan Yustiavandana menjelaskan bahwa Pasal 74 UU Nomor 8 Tahun 2010 menyatakan bahwa Penyidik Pajak (DJP) dan Bea Cukai (DJBC) Kemenkeu adalah penyidik TPPU. Selain itu Inspektorat Jenderal Kemenkeu juga melakukan kewenangan dalam mengawasi internal.
Dalam Pasal 44 UU No 8/2010 tentang TPPU menyatakan: Hasil Analisis (HA) TPPU terkait pidana Perpajakan dan Bea Cukai disampaikan oleh PPATK kepada DJP dan DJBC.
"Jadi yang dimaksud TPPU Rp 349 trilliun itu bukan terkait korupsi di Kemenkeu, tapi adalah nilai kasus TPPU yang ditangani oleh DJP dan DJBC berdasarkan HA PPATK," kata Ivan begitu disapa Monitorindonesia.com, Minggu (3/8/2025) malam.
Menurut Ivan, semua ditangani dengan baik dan sebagian besar telah selesai penegakkan hukumnya. "Jadi jangan salah memahami ya, itu bukan transaksi janggal di Kemenkeu. Itu adalah nilai kasus TPPU Kepabeanan dan perpajakan yang ditangani. Semua ditangani dengan sangat baik dengan kolaborasi yg kuat antar lembaga terkait," demikian Ivan.
Pernyataan Ivan ini dinilai berbanding terbalik saat pertama kali kasus ini menyeruak. Bahwa jelas disebut-sebut sebagai "Transaksi Janggal". Kini publik bertanya: Ada apa di balik pengusutan kasus tersebut?
Pernyataan PPATK sebelumnya
Ivan Yustiavandana pernah menegaskan bahwa transaksi mencurigakan Rp 349 triliun itu merupakan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Ivan menyebut, apabila angka itu bukan merupakan TPPU, pasti dia tidak akan melaporkannya.
Hal tersebut Ivan sampaikan dalam rapat kerja antara Komisi III DPR dan PPATK di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (21/3/2023).
"PPATK yang diekspos itu TPPU atau bukan? Yang Rp 300 (triliun) itu TPPU?" tanya Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond.

"TPPU, pencucian uang. Itu hasil analisis dan hasil pemeriksaan, tentunya TPPU. Jika tidak ada TPPU, tidak akan kami sampaikan," jawab Ivan secara tegas.
Mendengar jawaban Ivan, Desmond menanyakan apakah itu artinya transaksi mencurigakan Rp 349 triliun di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) merupakan kejahatan yang dilakukan kementerian tersebut atau bukan.
Ivan mengatakan itu bukan berarti Kemenkeu melakukan kejahatan sebesar Rp 300 triliun "Jadi ada kejahatan di Departemen Keuangan, gitu?" tanya Desmond.
"Bukan. Dalam posisi Departemen Keuangan sebagai penyidik tindak pidana asal sesuai dengan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 8/2010 disebutkan di situ penyidik tindak pidana asal adalah penyidik TPPU, dan di penjelasannya dikatakan bahwa Bea Cukai dan Direktorat Jenderal adalah penyidik tindak pidana asal," ucap Ivan.
Ivan memaparkan bahwa nilai Rp 349 triliun yang merupakan transaksi janggal tidak semuanya terjadi di Kemenkeu. Akan tetapi, ada kasus lain yang berkaitan dengan ekspor-impor hingga perpajakan yang dilaporkan ke Kemenkeu. Sebab, Kemenkeu memang juga memiliki tugas sebagai penyidik asal untuk menangani tindak pidana.
"Jadi Rp 349.874.187.502.987 ini tidak semuanya bicara tentang tindak pidana yang dilakukan oleh Kemenkeu, bukan di Kemenkeu. Tapi terkait dengan tugas pokok dan fungsi Kemenkeu sebagai penyidik tindak pidana asal," papar Ivan.
"Itu kebanyakan terjadi dengan kasus impor, ekspor, kasus perpajakan. Dalam satu kasus saja kalau kita bicara ekspor-impor itu bisa ada lebih dari Rp 100 triliun, lebih dari Rp 40 triliun, itu bisa melibatkan," sambungnya.
Kemudian, Ivan membeberkan laporan hasil analisis (LHA) yang telah PPATK buat kepada Komisi III DPR. Ivan membagi LHA itu ke dalam 3 jenis.
"LHA yang PPATK sampaikan itu ada LHA yang terkait dengan oknum, itu pertama. Kedua, ada LHA terkait dengan oknum dan institusinya, misal kita menemukan kasus ekspor-impor atau perpajakan, tapi kita ketemu oknumnya. Ketiga adalah kita tidak menemukan oknumnya, tapi kita temukan tindak pidana asalnya misalnya kepabeanan atau perpajakan," jelas Ivan.
Maka dari itu, Ivan menekankan tindak pidana pencucian uang lebih dari Rp 300 triliun itu tidak bisa diartikan terjadi di Kemenkeu. Ivan mengaku ada kesalahan kalimat yang disampaikan kepada masyarakat terkait transaksi mencurigakan Rp 300 triliun ini.
"Jadi sama sekali tidak bisa diterjemahkan kejadian tindak pidana itu di Kemenkeu. Jadi kalimat 'di Kemenkeu' itu kalimat yang salah. Itu yang menjadi tugas pokok dan fungsi Kemenkeu. Sama kalau kita menyampaikan ke kepolisian," beber Ivan.
"Itu sama halnya pada saat kami menyerahkan kasus korupsi ke KPK, itu bukan tentang orang KPK, tapi lebih kepada karena tindak pidana pencucian uang tindak pidananya asalnya adalah KPK. Pada saat kita menyerahkan kasus narkotika kepada BNN, itu berarti ada tindak pidana narkotika di BNN, bukan itu karena institusi BNN," imbuhnya.
Harus diusut tuntas
Analis dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng, menilai bahwa era keterbukaan informasi keuangan yang menjadi agenda utama global saat ini, tidak mungkin dilawan.
Sekuat apapun upayanya, dipastikan akan tergilas. "Termasuk kasus dugaan TPPU Rp349 triliun, harus diungkap tuntas. Bagaimana perkembangannya," kata Salamuddin di Jakarta, Minggu (3/8/2025).
Keterbukaan keuangan, kata dia, menjadi hal wajib dilakukan oleh pemerintah Indonesia di saat ini. Agar citra Indonesia terselamatkan. Tak lagi masuk jajaran negara tempat cuci uang yang menjadi sorotan dunia pada akhir-akhir ini.
"Ingat pernyataan Jokowi tentang 11 ribu triliun rupiah, uang pengusaha Indonesia yang disimpan di rekening rahasia di luar negeri? Pertanyaannya, benarkah ada rekening rahasia di luar negeri? Jangan-jangan uang itu, kini di dalam negeri. Disimpan oleh institusi keuangan yang ada," jelasnya.

Pada April 2023, kata dia, Mahfud MD ketika masih menjabat Menko Polhukam membuat gempar dengan mengatakan adanya transaksi keuangan mencurigakan di Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Nilainya tembus Rp349 triliun.
Mahfud yang juga Ketua Komite Nasional Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang (KNP- TPPU) itu, menyebutkan, berdasarkan rekapitulasi data Laporan Hasil Analisis (LHA) dan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas transaksi keuangan mencurigakan, nilai agregatnya lebih dari Rp349 triliun.
"Tidak ada perbedaan angka dengan Kemenkeu, sebab sumber datanya sama. Yakni, LHA dan LHP yang dikirim PPATK. Namun anehnya, Mahfud MD sebagai Meno Polhukam tidak menuntaskan pekerjaan ini." imbuhnya.
Dua tahun kemudian, PPATK mengungkap temuan mengejutkan terkait aliran dana mencurigakan sepanjang 2024. Dalam laporan hasil National Risk Assessment (NRA) TPPU, PPATK mencatat nilai transaksi yang diduga berkaitan dengan tindak pidana korupsi mencapai Rp984 triliun.
Angka tersebut merupakan bagian dari total transaksi mencurigakan yang diidentifikasi sebesar Rp1.459 triliun. Bahwa PPATK menyebut adanya puluhan ribu, bahkan ratusan ribu transaksi keuangan yang mencurigakan di Indonesia.
Terkait sumber daya alam, transaksi pajak, tambang, drug, judi online (judol), perdagangan manusia dan lain sebagainya. "Uang gelap hasil kejahatan keuangan masuk ke dalam rekening rekening rahasia yang ada di Indonesia," katanya.
Satu satunya cara yang mungkin dilakukan pemerintah untuk melawan uang kotor, kata dia, harus disita negara. Sebab uang tersebut tidak hanya merusak ekonomi Indonesia, namun umumnya digunakan untuk operasi politik bahkan untuk menggulingkan kekuasan yang sah. "Pemilik uang semacam ini mereka bagian dari sindikat global yang hendak bertahan dalam supremasi transparansi," ungkapnya.
Dia pun menyinggung rencana PPATK memblokir transaksi dari rekening tak aktif minimal 3 bulan atau rekening dormant. Dalam hal ini, Salamuddin mendukung pembekuan seluruh rekening rahasia yang selama ini dijadikan saluran dalam melakukan kejahatan keuangan di Indonesia.
"Rekening rahasia itu nyata, karena diketahui secara persis oleh elite yang mengatur, mengendalikan, memanfaatkan kelemahan sistem keuangan Indonesia," imbuhnya.
PPATK yang saat ini dipimpin Ivan Yustiavandana, menemukan lebih dari 140 ribu rekening dormant yang menampung duit sebesar Rp428,6 miliar. Rekening ini tidak ada pembaruan transaksi di data nasabah.
Hal ini membuka celah besar untuk praktik pencucian uang dan kejahatan keuangan lainnya. Selain itu, sejak 2020, PPATK menganalisis lebih dari sejuta rekening yang diduga terkait tindak pidana keuangan. Di mana, lebih dari 150 ribu di antaranya adalah rekening nominee yang diperoleh dari jual beli rekening, atau peretasan.
Bahkan, ditemukan lebih dari 10 juta rekening penerima bantuan sosial yang tidak pernah dipakai selama lebih dari 3 tahun, dengan dana mengendap sebesar Rp2,1 triliun, mengindikasikan penyaluran yang belum tepat sasaran.
KPK turun tangan, mungkin kah?
Kini Sri Mulyani sudah tidak menjabat Menteri Keuangan usai digeser Purbaya Yudhi Sadewa. Lantas apakah dengan lengsernya Srimul menjadi aparat penegak hukum (APK) dalam hal ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) leluasa membidik kasus ini?
Pakar kebijakan publik Fernando Emas saat berbincang dengan Monitorindonesia.com pekan lalu berharap demikian. "Saya berharap, dicopot Sri Mulyani dari Menteri Keuangan membuat persoalan tersebut akan diselesaikan secara tuntas dan transparan," harap Fernando Emas kepada Monitorindonesia.com, Senin (8/9/2025).
Begitu juga aparat penegak hukum (APH), tegasnya, diharapkan akan mengusut dan melakukan proses hukum secara transparan sehingga masyarakat akan semakin percaya terhadap pemerintahan Prabowo Subianto.
"Kalau proses terkait dengan hal tersebut tidak dituntaskan, maka sangat mungkin kepercayaan masyarakat semakin merosot terhadap pemerintahan Prabowo Subianto," lanjut Fernando Emas yang juga praktisi hukum.

Di lain sisi, Fernando Emas menilai bahwa PPATK dan Satgas TPPU yang dibentuk untuk itu seperti tidak serius ingin menuntaskan soal transaksi janggal Rp 349 triliun di Kementerian Keuangan itu.
Seharusnya, tegas dia, persoalan tersebut diselesaikan secara transparan kalau memang betul sudah diselesaikan seperti yang disampaikan oleh Kepala PPATK Ivan Yustiavandana.
"Jangan sampai persolan tersebut tidak terselesaikan karena sudah tidak lagi menjadi perhatian publik," jelas Fernando.
"Seharusnya semua pihak yang diberi tanggungjawab untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut dilakukan sampai tuntas walaupun tidak sedang menjadi perhatian publik," demikian Fernando Emas. (wan)
Topik:
Transaksi Janggal Rp 349 Triliun Kemenkeu Satgas TPPU Sri Mulyani Indrawati PPATK Mahfud Md KPK KejagungBerita Sebelumnya
Saat DPR Cecar Calon Hakim Agung Tetap Hukum Mati Ferdy Sambo
Berita Terkait

KPK Masih Rahasiakan Pimpinan DPR "Cawe-cawe' Pengadaan X-Ray Barantan Rp194,2 M
10 jam yang lalu

Dear KPK, Masa Pencegahan 6 Orang terkait Korupsi X-Ray Barantan Kedaluwarsa Nih!
11 jam yang lalu

Diduga Hilangkan Barang Bukti Korupsi Kuota Haji, Bos Maktour Bisa Tersangka Perintangan Penyidikan!
21 jam yang lalu