Kenapa Lulusan STAN Setelah Bekerja di "Universitas Kehidupan" Jadi Koruptor? Ini Kata Pakar Pendidikan

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 10 Maret 2023 14:37 WIB
Jakarta, MI - Terkuaknya sejumlah kasus korupsi skala besar di Dirjen Pajak dan Bea Cukai, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menjadi sorotan publik. Pasalnya, para pegawai/pejabat Dirjen Pajak dan Bea Cukai mayoritas berasal dari sekolah kedinasan milik Kemenkeu yakni Sekolah Tinggi Akuntan Negara (STAN). Untuk masuk ke STAN misalnya harus melalui proses seleksi yang panjang. Para lulusan SMA sederajat yang lolos seleksi selanjutnya akan mengecap pendidikan dan semuanya dibiayai oleh negara. Setelah lulus STAN, mereka akan ditempatkan di sejumlah posisi strategis di lingkungan Kemenkeu seperti Dirjen pajak dan Bea Cukai. Sekolah yang dibiayai penuh oleh negara itu setelah lulus, langsung menjadi pegawai negeri. Gaji dan tunjangan mereka pun jauh lebih tinggi dibanding PNS lainnya di Kementerian/Lembaga bahkan Pemerintah Daerah sekalipun. Namun hasilnya, para pegawai pajak yang lulusan STAN seperti Gayus Tambunan, Angin Payitno, Rafael Alun Trisambodo menjadi contoh kecil bagaimana para pegawai pajak ramai-ramai "merampok" uang rakyat. Sudah sekolah gratis, gaji dan tunjangan besar, namun melakukan korupsi secara besar-besaran. Sesuai laporan PPATK, Rafael Alun memiliki transaksi keuangan hingga Rp 500 miliar. Angka itu masih bisa jauh lebih besar bila harta berupa aset, emas, rekening di luar negeri diusut tuntas. Bagaimana sebenarnya sistem pendidikan Kedinasan milik pemerintah seperti di STAN yang banyak memproduksi para koruptor? Pakar Pendidikan dari Universitas Pendidikan Yogjakarta Prof. Suyanto menyakini tak ada sekolah di negeri ini yang mengajarkan para mahasiswanya untuk menjadi koruptor. Menurutnya, lingkungan dan budaya korupsi di tempat kerja yang mempengaruhi pegawai-pegawai baru seperti di Dirjen Pajak dan Bea Cukai. Selain itu, korupsi semakin merajalela karena ada peluang. "Saya kira korupsi (Dirjen pajak dan Bea Cukai) karena ada lingkungannya itu yang nggak kondusif. Lingkungan kerjanya itu eggak bisa seperti yang didengungkan dan pengawasan yang melekat gitu itu hanya semboyan saja. Kalau pengawasannya berjalan, enggak mungkin bisa punya mutasi rekening hingga 500 miliar, beli Rubicon untuk anaknya," katanya kepada Monitor Indonesia, Jum'at (10/3). [caption id="attachment_528683" align="alignnone" width="704"] Pakar Pendidikan dari Uiversitas Yogjakarta Prof Suyanto (Foto: Ist)[/caption] Hidup hedonis para pegawai Pajak dan Bea Cukai sudah menjadi pemandangan umum di masyarakat sehari-hari. Korupsi tak dianggap lagi bukan aib sehingga berlom-lomba mencari sumber lain dengan berbagai cara. Suyanto mencontohkan saat mahasiswa berpeluang menyontek, datang tidak tepat waktu itu merupakan contoh yang tidak disiplin. Karena korupsi itu pada prinsipnya adalah fragmentasi dari kedisiplinan orang. Kebutuhan disiplin pekerjaan, kata Suyanto, memiliki filtrasi keuangan kalau orang tidak punya uang tidak pula harus konsumsial hedonis. "Kalau tidak begitu gimana? Kalau gajinya tidak cukup untuk beli Rubicon misalnya, tapi tetap mau nyari Rubicon otomatis harus cari cara untuk bagaimana biar bisa beli barang mewah seperti itu," tuturnya. "Ketika orang korupsi itu saya kira karena pengawasannya yang nggak baik dan dan lingkungannya tidak baik persoalannya sebenarnya ada di situ," sambung Suyatno. Suyanto menilai tempat kerja seperti Dirjen Pajak dan Bea Cukai yang tidak bisa memberikan suatu situasi untuk belajar dengan baik bagi pegawai baru. Itulah yang disebut dengan sekolah kehidupan prioritas kehidupan soal performa sebenarnya sudah dijalani tetapi dalam situasi kehidupan tidak ada rambu-rambu tingkatan nilai yang sedang dipegang oleh institusi itu. Bakat Suap Sehingga orang harus melanggar nilai-nilai yang tidak sesuai dengan etika kepantasan dan sebagainya. Seharusnya lulusan STAN menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi. Sebab, mereka selama sekolah di kedinasan dianggarkan APBN. [caption id="attachment_528686" align="alignnone" width="680"] Sekolah Tinggi Akuntan Negara (STAN) (Foto: Ist)[/caption] Namun, kata Suyanto, setelah masuk "Universitas Kehidupan" yaitu dunia kerja misalnya di Dirjen Pajak dan Bea Cukai mereka berlomba-lomba untuk mencari kemewahan. "Sekali lagi karena bahasa kerennya orang itu kan ada kecenderungannya ada teori yang mengatakan bahwa orang itu sebetulnya adalah kecenderungan bakat untuk suap untuk tidak mau kerja sehingga perlu diawasi," ucapnya. Prof. Suyanto tidak yakin hanya satu atau dua pegawai atau pejabat pajak yang melakukan korupsi. "Mungkin banyak juga (dirjen pajak dan bea cukai) yang di sana tidak ketahuan saja. Ini kan ditemukan ada korupsi di bea cukai, ada korupsi di dirjen pajak ini kan seharusnya ada reformasi, harus ada pemberdayaan lagi kalau nggak masyarakat nggak percaya lagi," katanya. Bagaimana caranya agar Dirjen Pajak dan Bea Cukai bersih dari para koruptor? Suyanto menyarankan agar supaya pengawasan itu betul-betul di diberikan dan kejujuran itu betul-betul ditegakkan. "Saya kira perlu juga ada misalnya saja pembinaan-pembinaan moral, jangan boros, semangatnya kan harus seperti itu," katanya. Dia juga meminta pemerintah untuk melakukan perekrutan pegawai pajak dan bea cukai dilakukan terbuka untuk seluruh lulusan perguruan tinggi. Setelah diterima jagi pegawai di Dirjen Pajak dan Bea Cukai, selanjutnya diberikan pelatihan di STAN. "Ya pegawai seharusnya direkrut juga dari berbagai perguruan tinggi, diberikan kesempatan kepada lulusan-lulusan perguruan tinggi lainnya. Pegawai dari umum harus diprioritaskan, selanjutnya dididik di sekolah kedinasan. Harusnya STAN itu temapt mendidik yang sudah pegawai bukan seperti sekarang ini," tandasnya. (Man) #Lulusan STAN