Soroti Putusan MK Masa Jabatan Firli Dkk, Boyamin Saiman: Harusnya Dinyatakan untuk Kapan, Sekarang Atau yang Akan Datang?

Rizky Amin
Rizky Amin
Diperbarui 26 Mei 2023 12:26 WIB
Jakarta, MI - Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengatur tentang masa jabatan pimpinan KPK 5 tahun. Boy sapaan akrabnya menegaskan, seharusnya dalam putusan tersebut mestinya dijelaskan berlaku untuk kapan dan untuk siapa. "Jadi sebenarnya yang di putusan itu harusnya dinyatakan bahwa untuk keputusan mahkamah konstitusi ini berlaku untuk kapan untuk yang sekarang atau yang akan datang," ujar Boy kepada Monitor Indonesia, Jum'at (26/5). "Karena seperti beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang lainnya juga ada aturan peralihan berlakunya untuk kapan atau berlaku untuk siapa itu ada," sambungnya. Karena kemarin tidak ada aturan peralihan, tegas dia, maka mestinya pemohon atau masyarakat Indonesia atau pimpinan KPK juga mengajukan ke mahkamah konstitusi lagi untuk memaknai berlakunya itu kapan. Sepanjang itu belum ada, maka putusan itu berlaku yang pertama tadi dan tidak bisa dimaknai oleh atau dijelaskan oleh juru bicara Mahkamah Konstitusi. "Karena putusan itu yang bisa menterjemahkan atau bisa memaknai Hakim itu sendiri tidak ada yang lain. Tidak bisa diwakili oleh juru bicara. Juru bicara itu hanya berkaitan dengan menyuarakan hal-hal yang bukan bersifat utusan gitu," bebernya. Boy pun menegaskan, bahwa putusan itu berlaku untuk hanya yang di tahun yang akan datang dan masa jabatan 5 tahun dan bisa saja itu kemudian masa jabatannya perpanjang dan sebagainya. Sekarang, kata dia, ada orang-orang yang ingin mencalonkan untuk menjadi pimpinan KPK yang berharap masa jabatan pimpinan KPK sekarang berakhir pada bulan Desember tahun 2023 ini menjadi tertunda menjadi Desember 2024. "Mereka bisa mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi untuk dimaknai bahwa putusan ini berlaku untuk periode yang akan datang. Sehingga orang-orang yang ingin mencalonkan ini bisa untuk mengikuti proses pencalonan di tahun ini," jelasnya. Selain itu, ada persoalan-persoalan hukum juga, misalnya ungkap Boy, ada orang diproses hukum tahun 2024, bulan Maret misalnya menjadi tersangka. Dia bisa mengajukan gugatan praperadilan bahwa penyidikannya tidak sah karena pimpinannya tidak sah. "Karena dia seharusnya berlaku 4 tahun tapi melanjutkan jadi 5 tahun, misalnya kalau ini diberlakukan 5 tahun," ujarnya. Bisa saja hakim Pengadilan Negeri mengabulkan itu, tambah Boy, karena menurut hakim menjadi tidak sah penyidikan terhadap tersangka tersebut. "Karena dalam ada asas tidak boleh berlaku surut, bahwa pimpinan KPK yang berlaku pada Maret 2024 nanti adalah tidak sah. Karena bukan dipilih yang baru," bebernya. Pada posisi ini, tutur dia, setidaknya harus dipastikan supaya tidak bisa ditafsirkan oleh hakim Pengadilan Negeri. "Nah bayangkan nanti kalau tiba-tiba pada tahun 2024 nanti orang-orang yang dijadikan tersangka oleh KPK mengajukan gugatan ramai-ramai mengajukan praperadilan bahwa penyidikan tidak bisa dilakukan karena pimpinannya tidak sah karena melebihi masa jabatan lebih dari 4 tahun kalau dasarnya putusan MK ini ya," katanya. "Ada asas tidak boleh berlaku surut tadi dan jika itu dikabulkan hakim pengadilan dari para peradilan itu maka bisa menjadi bubar apa yang dilakukan KPK itu sendiri". Maka untuk menghindari risiko terburuk ini, maka Mahkamah Konstitusi harus membuat putusan baru yang berdasarkan permohonan pihak-pihak yang berkepentingan. "Supaya tidak ada multi tafsir. Tapi kalau tidak ada putusan baru mengangkut peraturan peralihan ya tetap berlaku 4 tahun dan presiden selama DPR memilih yang baru," katanya. "Karena untuk mencegah ke keburukan atau ke mata rotan jadi dalam hukum juga berlaku akses itu tadi bebek mencapai keburukan daripada terjadi keburukan gitu nantinya," imbuhnya. (LA)