Ekonomi RI Jalan di Tempat, Butuh Terobosan untuk Bangkit

Rolia Pakpahan
Rolia Pakpahan
Diperbarui 5 Februari 2025 16:18 WIB
Ilustrasi [Foto: Ist]
Ilustrasi [Foto: Ist]

Jakarta, MI - Ekonomi Indonesia pada tahun 2024 mengalami stagnasi dengan laju pertumbuhan mencapai 5,03%, sedikit melambat dibandingkan tahun sebelumnya yang tercatat sebesar 5,05%. Hasil ini masih berada di bawah target pemerintah yang dipatok sebesar 5,2%.

Dalam rincian pengeluaran, sektor konsumsi rumah tangga tetap menjadi pendorong utama perekonomian, berkontribusi 54,04% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dengan pertumbuhan sebesar 4,98%. Rabu (5/2/2025).

Di sisi lain, Pembentukan Modal Bruto Tetap (PMTB) atau arus investasi juga memberikan kontribusi signifikan, mencapai 29,15% dari PDB, dengan angka pertumbuhan yang mencapai 4,61%. Kedua sektor ini menunjukkan kinerja yang lebih baik dibandingkan tahun 2023, meskipun ekonomi Indonesia secara keseluruhan masih mengalami pelambatan.

Namun, data tersebut juga menegaskan, bahwa perekonomian domestik masih gagal kembali ke kondisi sebelum Pandemi Covid-19. Sebagai perbandingan, pada 2019, konsumsi rumah tangga mampu tumbuh 5,04% dan memberikan sumbangan PDB hingga 56,62%. Begitu juga PMTB yang sebelum pandemi mampu tumbuh 4,45% dengan kontribusi terhadap PDB mencapai 32,33%.

Dampak berkepanjangan dari pandemi, diperparah dengan periode panjang pengetatan kebijakan moneter global yang mendorong kenaikan suku bunga domestik, serta deindustrialisasi prematur yang diduga melemahkan daya tahan kelas menengah, menjadi kombinasi faktor yang membuat perekonomian Indonesia terkesan mandek. Seolah tak bergerak jauh dari titik yang sama.

Pada 2024, kontribusi industri pengolahan makin susut terhadap PDB, yakni tinggal 18,98% meski mencatat pertumbuhan lebih baik dibanding tahun lalu yaitu mencapai 4,42%. 

Sumbangan industri manufaktur terhadap PDB yang kian mengecil pada 2024, memperpanjang periode penyusutan kontribusi sektor pengolahan, di luar terjadinya kontraksi pada 2020 lalu. Sebagai perbandingan, pada 2011 lalu, kontribusi industri ini terhadap PDB masih sebesar 23%.

Kinerja ekonomi pada 2024, dengan pertumbuhan PDB yang stagnan di kisaran 5%, semakin menegaskan gejala stagnasi sekuler di Indonesia, sebuah kondisi di mana laju pertumbuhan ekonomi cenderung datar atau bahkan tidak menunjukkan perkembangan berarti dalam jangka waktu yang panjang.

Tanpa adanya transformasi struktural dalam waktu dekat, besar kemungkinan perekonomian Indonesia akan terus mengandalkan faktor musiman untuk tumbuh dan berpotensi butuh dorongan lebih besar hanya untuk tetap bisa tumbuh 5%.

Kelesuan sektor manufaktur di Indonesia yang telah berlangsung lebih dari satu dasawarsa terakhir adalah salah satu sebab utama, mengapa terjadi penurunan kesejahteraan mayoritas masyarakat.

Sebanyak 9,5 juta kelas menengah turun kelas jadi calon kelas menengah. Lalu, sebanyak 12,72 juta orang calon kelas menengah terlempar menjadi kelompok rentan miskin. Kemerosotan kesejahteraan pada akhirnya menyeret kinerja konsumsi yang menjadi motor utama perekonomian.

"Performa sektor manufaktur yang terus menurun kita lihat sebagai pangkal masalah mengapa daya beli masyarakat ikut menurun. Kemampuan industri manufaktur menyerap tenaga kerja turun, produktivitas turun sehingga tingkat upah turun. Hal itu yang membuat kelas menengah yang bekerja di sektor tersebut jadi tidak produktif bahkan sebagian sudah berpindah ke sektor informal," papar Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI, Teuku Riefky.

Tantangan Ekonomi 2025: Ambisi Besar Prabowo di Tengah Keraguan Publik

Memasuki 2025, Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto menghadapi tantangan berat. Target pertumbuhan ekonomi ditetapkan sebesar 5,2%, angka yang sama seperti target tahun 2024 yang ternyata meleset cukup jauh dari realisasi.

Ambisi Prabowo untuk mendorong ekonomi Indonesia tumbuh hingga 8% dalam masa jabatannya hingga 2029 semakin menuai keraguan. Pasalnya, hingga saat ini belum terlihat langkah konkret atau strategi yang jelas dari pemerintahan baru untuk mengatasi persoalan fundamental seperti stagnasi produktivitas.

Kemungkina besar, Indonesia harus terus bergantung pada faktor musiman untuk mendorong pertumbuhan ekonominya. Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 diperkirakan masih akan dalam kondisi normalnya seperti saat ini. 

Padahal, tahun ini tantangannya tidaklah kecil dalam konteks global. Pecah Perang Dagang 2.0 yang dipicu oleh Presiden AS Donald Trump bisa berdampak pada perlambatan ekonomi global dan bertahannya rezim higher for longer yang membuat pendanaan akan terus mahal. Artinya, ada risiko pertumbuhan tahun ini terjegal lebih kecil.

Bank Indonesia telah memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun dari semula di kisaran 4,8%-5,6% dengan titik tengah 5,2%, menjadi kisaran 4,7%-5,5% dengan median 5,1%.

Meningkatnya praktik politik dumping menjadi risiko baru bagi perekonomian, menyusul pembatasan ekspor China ke Amerika Serikat. Imbasnya, pasar domestik berpotensi semakin dibanjiri produk-produk murah asal China, yang dapat menekan daya saing industri dalam negeri.

Itu sudah terjadi sejak Perang Dagang 1.0 di mana pasar domestik dibanjiri produk murah China yang telah menelan banyak korban industri tekstil dan alas kaki di Indonesia yang berguguran. 

"Ada risiko lebih besar yaitu ancaman bagi industri lokal yang pada akhirnya mengancam lapangan kerja," ucap Tamara Henderson, Ekonom.

Sebagai catatan, Tiongkok adalah negara penyumbang defisit dagang terdalam Indonesia pada 2024. Nilai defisit dagang RI dengan China tahun lalu mencapai US$ 11,40 miliar. Nilai impor nonmigas Indonesia dari China pada tahun lalu mencapai US$ 71,63 miliar. Naik dibanding tahun sebelumnya US$ 62,18 miliar.

Dalam rilis terbaru Badan Pusat Statistik (BPS), terungkap bahwa meskipun konsumsi rumah tangga dan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik dibanding tahun sebelumnya, laju pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) tetap tertahan di level yang lebih rendah.

"Komponen yang menahan pertumbuhan adalah dari nett export. Tetap [tumbuh] positif tapi nilainya lebih kecil dibanding 2023 sehingga sumbangan terhadap pertumbuhan ekonomi jadi negatif -0,21%," ujar Plt Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti.

Pada 2024, ekspor Indonesia tumbuh 6,51% secara tahunan (year-on-year), namun impor melonjak lebih tinggi, mencapai 7,95% pada periode yang sama. Ketimpangan ini membuat kontribusi net ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi berbalik negatif, yakni -0,21%, berbanding terbalik dengan tahun 2023 yang masih mencatatkan kontribusi positif sebesar 0,66%.

Dengan kondisi ini, proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan hanya akan berada di kisaran 5,0% hingga 5,1%.

Topik:

pertumbuhan-ekonomi ekonomi-ri