Peringkat Indonesia Terburuk dalam Indeks Hambatan Perdagangan Internasional 2025


Jakarta, MI - Indonesia menjadi sorotan dalam kancah perdagangan internasional.
Lembaga think tank Tholos Foundation, yang berfokus pada riset terkait keterbukaan ekonomi, menempatkan Indonesia di posisi ke-122 dalam International Trade Barriers Index (ITBI) 2025.
Posisi tersebut merupakan yang terburuk, lantaran Indonesia dinilai memiliki regulasi perdagangan yang terlalu rumit dan berbelit.
Trade Barrier Index atau TBI merupakan indeks global yang membandingkan tingkat keterbukaan dan hambatan perdagangan antarnegara.
Indeks ini mengukur hambatan perdagangan langsung dan tidak langsung terhadap 122 negara yang mempengaruhi 97% PDB global dan 80% populasi dunia.
TBI mengklasifikasikan hambatan perdagangan langsung menjadi tiga kategori utama, yaitu tarif, hambatan non-tarif (NTB), dan pembatasan layanan.
Sementara itu, hambatan perdagangan tidak langsung terkait kinerja logistik, hak cipta, pembatasan perdagangan digital dan keanggotaan dalam Perjanjian Perdagangan Bebas (FTA).
Dalam TBI tersebut, Indonesia menempati posisi terendah, yakni peringkat 122 dari 122 yang masuk ke dalam peringkat indeks.
Peringkat pertama TBI diduduki oleh Hong Kong, diikuti posisi kedua Singapura, ketiga Israel, keempat ialah Kanada dan kelima adalah Jepang. Sementara itu, Amerika Serikat (AS) berada di peringkat ke 61 dan China peringkat ke 114.
"Indonesia berada di peringkat terakhir," ujar Analis Kebijakan Tholos Foundation, Philip Thompson dalam acara Innovation Summit Southeast Asia di The Energy Building SCBD, Jakarta Selatan, dikutip Minggu (11/5/2025).
Rendahnya peringkat Indonesia dalam TBI sebagian disebabkan oleh masalah terkait perdagangan iPhone 16 di Tanah Air.
"Dalam konteks ini, masih adanya hambatan perdagangan yang kaku dan terlalu membatasi, khususnya terkait Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN)," jelasnya.
Thompson menilai, meskipun demikian, masih ada harapan besar terhadap pemerintahan baru Presiden Prabowo Subianto. Apalagi saat ini banyak perusahaan di AS dan Eropa yang sedang mencari alternatif rantai pasok di kawasan Asia.
"Common sense reform dapat membawa Indonesia melompat menuju era baru," kata Thompson.
Sektor-sektor seperti pertanian, komoditas dan sumber daya alam dinilai menjadi peluang inovasi yang terbuka lebar mulai dari sustainable farming, sistem logistik modern, hingga ekspor berbasis added-value. Selama ini sektor 'tradisional' itu kerap dipandang sebelah mata.
Padahal sektor pertanian, kehutanan dan perikanan menyumbang 12,61% terhadap PDB Indonesia pada 2024 dan perkebunan berkontribusi 4,17%. Kelapa sawit tetap menjadi andalan ekspor di mana Indonesia merajai sektor ini.
Industri tembakau memberikan kontribusi signifikan terhadap penerimaan negara, dengan angka mencapai lebih dari Rp 150 triliun per tahun.
Sementara itu, sektor-sektor lain seperti energi terbarukan, perumahan dan industri kreatif juga menunjukkan tren pertumbuhan yang positif dan diprediksi akan menjadi pilar utama ekonomi di masa depan.
"Pemerintah perlu membiarkan sektor-sektor ini tumbuh dengan organik. Dengan insentif yang tepat dan iklim usaha yang sehat, bukan intervensi atau regulasi berlebihan, sektor lama dan sektor baru, the overlooked and the underrated dapat tumbuh berdampingan," tutur Country Manager CME, Alfian Banjaransari.
Topik:
perdagangan-internasional tholos-foundation indonesia