Tambang Ilegal Merajalela: Negara Rugi Rp700 Triliun, 300 Ribu Ha Hutan Bakal Disita BPKP

Rolia Pakpahan
Rolia Pakpahan
Diperbarui 27 Juni 2025 21:18 WIB
Kepala BPKP, Yusuf Ateh (Foto: Ist)
Kepala BPKP, Yusuf Ateh (Foto: Ist)

Jakarta, MI - Indonesia, yang dikenal sebagai negara kepulauan dengan kekayaan sumber daya alam melimpah seperti minyak, gas bumi, dan tambang mineral serta batu bara (minerba), kini justru menjadi ladang subur bagi tambang ilegal. 

Aksi penambangan liar ini makin menggila, dengan Sumatra Selatan (Sumsel) tercatat sebagai daerah dengan aktivitas terbanyak.

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mengungkapkan bahwa luas tambang minerba ilegal di Indonesia telah melampaui 300 ribu hektare (ha). Ironisnya, sebagian besar aktivitas itu terjadi di kawasan hutan lindung dan cagar alam yang seharusnya dilindungi.

Praktik tambang ilegal ini tak hanya merusak lingkungan secara masif, tetapi juga merugikan negara hingga Rp700 triliun.

"Terdiri dari tambang emas, bauksit, timah, batu bara dan segala macam. Ada perintah presiden, ambil dahulu (tambangnya). Kemudian kita kasih denda ilegal," ujar Kepala BPKP, Yusuf Ateh di Jakarta, dikutip Jumat (27/6/2025).

Yusuf mengatakan bahwa penyitaan lahan tambang ilegal dilakukan melalui kerja sama dengan Kejaksaan Agung (Kejagung), TNI dan Polri. Dari total 4,2 juta ha lahan tambang di kawasan hutan, sekitar 296.000 ha atau 300.000 ha, merupakan prioritas untuk dikembalikan ke negara.

Ia menuturkan, aktivitas pertambangan di kawasan hutan menimbulkan kerugian yang lebih besar dibandingkan pembukaan lahan untuk kebun kelapa sawit. 

Pasalnya, lanjut dia, tambang ilegal mengeksploitasi lahan dalam waktu yang relatif singkat, sementara perkebunan sawit membutuhkan waktu sekitar enam tahun sejak masa tanam hingga dapat dipanen.

"Kalau sawit kan harus menanam dulu, menunggu enam tahun hingga bisa panen. Beda dengan tambang, tinggal keruk pakai beko langsung dapat hasilnya," ujar Yusuf.

Yusuf menyatakan, pemerintah ancang-ancang menempuh jalur hukum dan menagih kompensasi alias denda kepada pelaku tambang ilegal. Pemerintah tak segan memenjarakan pelaku tambang ilegal yang membandel. 

“Nanti yang punya kita (sudah) kuasai, kita minta bayarkan lagi. Jadi tambahan baru bagi PNBP (penerimaan negara bukan pajak)," katanya.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM, Tri Winarno, mengungkapkan bahwa Sumatra Selatan tercatat sebagai provinsi dengan jumlah laporan Pertambangan Tanpa Izin (PETI) terbanyak, yakni sebanyak 26 laporan. Posisi kedua ditempati Riau dengan 24 laporan, sementara Sumatra Utara berada di urutan ketiga dengan 11 laporan PETI.

"Terkait dengan penambangan tanpa izin, pada saat perusahaan tidak memiliki izin saat eksplorasi, melakukan operasi produksi, maupun saat orang yang menampung, memanfaatkan ataupun melakukan pengolahan dan pemurnian, ini dikenakan sanksi yang sama, yaitu paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar," jelas Tri.

Berdasarkan Undang-undang (UU) No 3/2020 tentang Perubahan UU 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara (Minerba), pasal 158 mengatur, setiap orang yang melakukan penambangan tanpa izin, terancam bui paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar.

Sedangkan pasal 160, mengatur, setiap orang yang mempunyai izin usaha pertambangan (IUP) atau izin usaha pertambangan khusus (IUPK) pada tahap kegiatan eksplorasi tetapi melakukan kegiatan operasi produksi dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun, denda paling banyak Rp100 miliar.

Terakhir, pasal 161 mengatur, orang yang menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan dan atau pemurnian, pengembangan dan/atau pemanfaatan, pengangkutan, penjualan mineral dan/atau batu bara yang tidak berasal dari pemegang IUP, IUPK, IPR, SIPB dipidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar.

Topik:

tambang-ilegal bpkp tambang-ilegal-rugikan-negara