Apa Kabar 160 Genset di Gudang Telkominfra?

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 20 Juli 2025 14:00 WIB
Menara Telkomsel (Foto: Dok MI/Istimewa)
Menara Telkomsel (Foto: Dok MI/Istimewa)

Jakarta, MI - Sebanyak 160 unit generator set (genset) tak terpakai tersimpan di gudang PT Telkominfra, anak perusahaan PT Telkom Indonesia (Telkom) yang bergerak di  bidang penyediaan layanan infrastruktur telekomunikasi.

Informasi yang diperoleh Monitorindonesia.com, Minggu (20/7/2025) bahwa 160 genset dengan harga di atas Rp 5 miliar per unit itu memiliki kapasitas 2 megavolt (MV) per genset, sementara genset yang diperlukan Menara Base Transceiver Station (BTS) milik PT Telkom dan Telkomsel yang dikelola PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk (Mitratel) anak perusahaan PT Telkom sekitar 0,5 volt. 

Karena dengan biaya operasional yang tinggi, sehingga pihak Mitratel menolak 160 genset tersebut. Alhasil, hingga saat ini 160 genset itu tidak terpakai dan tersimpan di gudang Telkominfra.

"Pada tahun 2020 ada pengadaan gengset oleh PT Telkominfra tetapi yang mengerjakannya adalah anak usahanya Telkom. Genset itu tidak bisa digunakan kemana-mana karena berkapasitas 2 megavolt per 1 genset. Namun Mitratel tidak mau memakai genset seperti itu karena biaya operasionalnya tinggi," ungkap sumber Monitorindonesia.com, Sabtu (19/7/2025) malam.

"Pengadaan genset itu murni anggaran dari Telkom tapi yang mengerjain Telkominfra, cuman masalahnya genset ini tidak bisa dipakai," timpalnya.

Assistant Vice President External Communication PT Telkom Indonesia, Sabri Rasyid, saat dikonfirmasi Monitorindonesia.com, Minggu (20/7/2025) soal 160 genset di gudang Telkominfra itu belum menjawab.

Adapun Mitratel mulai menapaki bisnis menara telekomunikasi sejak tahun 2008. Pada tahun 2024, Mitratel berhasil menambah 1.390 menara sehingga saat ini memiliki 39.404 menara, atau meningkat 3,7% dari akhir tahun sebelumnya. 

Dengan kepemilikan sebanyak itu, perseroan terus memantapkan posisinya sebagai Perusahaan Infrastruktur Telekomunikasi terbesar di Asia Tenggara dari sisi jumlah kepemilikan menara.

Dengan demikian, merujuk pada pemberitaan Monitorindonesia.com pada Sabtu (19/7/2025) dengan berita "160 Genset BTS Tak Terpakai Diduga Tersimpan di Gudang Telkominfra: Harga di Atas Rp 5 M per Unit!" pengadaan 160 genset itu tidak berkaitan dengan BTS 4G Bakti Kominfo yang sempat tersandung kasus dugaan korupsi Rp 8 triliun menyeret mantan Menkominfo Johnny G Plate (JGP) dan gerombolannya.

Pihak PT Telkom juga menyatakan tidak bersalah di kasus korupsi BTS Kominfo tersebut. "Owh ini case lama yang dengan Bakti, kita tidak bersalah, keputusan pengadilan sudah ada, dari Infra tidak ada yang dinyatakan bersalah," demikian pesan singkat WhatsApp yang diteruskan Sabri Rasyid, Minggu (20/7/2025). 

Merger Grup Saratoga TBIG dan Mitratel (MTEL)

Emiten menara Grup Saratoga PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG) dan PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk (MTEL) disebut tengah menjajaki penggabungan usaha atau merger. 

Aksi potensi terjadi dengan valuasi hingga Rp 93 triliun atau sekitar US$ 5,7 miliar. Menanggapi kabar potensi merger, analis PT Indo Premier Sekuritas, Aurelia Barus dan Belva Monica, menilai aksi itu berdampak positif bagi sektor menara telekomunikasi. 

Menurutnya, konsolidasi ini dapat memperkuat fundamental bisnis infrastruktur aktif sekaligus membuka peluang pertumbuhan yang lebih menjanjikan bagi para pemain di industri telko. ad Lebih lanjut, Indo Premier Sekuritas mengatakan prospek sektor menara bakal kian menarik jika salah satu katalis jangka panjang berhasil terealisasi sebab berpotensi mendorong pertumbuhan yang lebih kuat ke depannya. 

“MTEL tetap menjadi pilihan utama kami,” tulis analis Indo Premier Sekuritas, dikutip Minggu (20/7/2025).

Indo Premier Sekuritas mempertahankan rekomendasi hold untuk saham PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk (MTEL) dengan target harga Rp 1.300, menyusul kabar potensi merger antara MTEL dan TBIG. Apabila merger terealisasi, Indo Premier memperkirakan MTEL akan menjadi pihak yang bertahan sebab statusnya perusahaan BUMN. 

Secara operasional, merger ini dinilai berpotensi memberikan dampak positif karena portofolio kedua perusahaan saling melengkapi. MTEL memiliki sebaran menara yang dominan di luar Jawa, sedangkan TBIG fokus di wilayah Jawa. Dengan wilayah operasi utama perusahaan yang berbeda, potensi tumpang tindih aset bakal minim. 

Berdasarkan data per kuartal pertama 2025, total menara gabungan dari MTEL dan TBIG diperkirakan bisa mencapai 63.400 menara, jauh di atas pesaing terdekatnya, PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR), yang memiliki sekitar 35.500 menara.

“Transaksi ini dapat meningkatkan laba dan pengembalian untuk MTEL,” tambah tim analis  Indo Premier Sekuritas. 

Berdasarkan simulasi merger dan kapitalisasi pasar per 15 Juli 2025, dengan asumsi PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM) tetap menguasai minimal 51% saham entitas gabungan, kapitalisasi pasar MTEL diperkirakan melonjak hingga 137%.

Indo Premier Sekuritas menyebut ini mencerminkan valuasi sekitar 18 kali adjusted EV/EBITDA tahun 2026. Namun, bila MTEL mampu meningkatkan EBITDA minimal Rp 2 triliun—kemungkinan melalui akuisisi anorganik—valuasinya bisa setara atau bahkan lebih murah dibandingkan TBIG, yaitu sekitar 15 kali EV/EBITDA full year 2026.

Lebih jauh, Indo Premier menyebut industri menara tengah memasuki fase perubahan, terutama berkat peluang di sektor infrastruktur aktif seperti BTS dan antena untuk 5G, yang kini diperbolehkan melalui UU Cipta Kerja.

Meski petunjuk pelaksanaan (juklak) resminya belum dirilis pemerintah, pelaku industri menilai integrasi infrastruktur aktif dan pasif dapat meningkatkan profitabilitas hingga 50% dibandingkan infrastruktur pasif. 

BTS bersama pun dinilai lebih efisien karena hanya 30% lebih mahal dari BTS tunggal, tetapi bisa digunakan oleh hingga tiga operator. Hal ini membuka peluang bagi operator telekomunikasi untuk mengurangi beban aset dan menekan capex.

Topik:

Menara BTS BTS Telkom Mitratel Telkominfra Genset