UMKM Rokok Elektrik Terhimpit Daya Beli Lesu dan Regulasi yang Ketat


Jakarta, MI - Bayang-bayang perlambatan mulai menyelimuti industri rokok elektrik (REL) di Indonesia. Padahal, sektor ini selama ini bertumpu pada ribuan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), mulai dari produsen liquid hingga toko-toko ritel yang menopang rantai pasokannya.
Kini, fondasi itu mulai goyah. Daya beli masyarakat yang melemah, regulasi yang makin ketat, serta kekhawatiran akan kenaikan tarif cukai menjadi tekanan berlapis bagi pelaku usaha di industri ini.
Sinyal pelemahan pun tak lagi sekadar perkiraan. Kondisi tersebut sudah nyata terasa di lapangan. Ketua Umum Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI), Budiyanto, menyebut dua faktor utama yang mempercepat penurunan aktivitas industri rokok elektrik belakangan ini.
“Perlambatan tersebut kami lihat karena menurunnya daya beli masyarakat serta fenomena rokok ilegal yang semakin marak,” katanya, Senin (6/10/2025).
Karena mayoritas pelaku industri REL adalah UMKM, tekanan ekonomi dan regulasi yang kompleks dapat berdampak langsung pada keberlangsungan usaha kecil tersebut. Ketua Bidang Humas APVI, Filusif Fariq Vernanda, menekankan pentingnya perlindungan berkelanjutan bagi sektor ini.
“Industri REL saat ini mampu menyerap antara 100.000 hingga 150.000 tenaga kerja, sebagian besar melalui UMKM yang tersebar di berbagai daerah. Jika UMKM kesulitan bertahan, maka bukan hanya sektor usaha yang terpukul, tetapi juga kesejahteraan puluhan ribu pekerja yang menggantungkan hidup di dalamnya,” tutur Fariq.
Ia memproyeksikan perlambatan industri REL akan berlanjut hingga akhir 2025, didorong oleh melemahnya daya beli, semakin ketatnya regulasi nonfiskal, serta meningkatnya peredaran produk ilegal yang mengancam pelaku usaha patuh aturan.
“Karena itu, akses masyarakat terhadap produk REL yang legal, terjamin mutu, dan diawasi pemerintah harus tetap dijaga,” tegasnya.
Topik:
rokok-elektrik umkm ekonomi-ri