Pedagang Thrifting Protes, Minta Usaha Dilegalkan

Rolia Pakpahan
Rolia Pakpahan
Diperbarui 20 November 2025 10:35 WIB
Pusat Penjualan Baju Bekas di Pasar Senen, Jakarta Pusat (Foto: Dok MI)
Pusat Penjualan Baju Bekas di Pasar Senen, Jakarta Pusat (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Para pedagang barang bekas (thrifting) di Pasar Senen meminta agar pemerintah melegalkan aktivitas usaha mereka. Salah satu pedagang, Rifai Silalahi, menegaskan bahwa para pelaku thrifting tidak keberatan jika harus membayar pajak.

Aspirasi tersebut disampaikan langsung saat perwakilan pedagang menemui Badan Aspirasi Masyarakat (BAM) DPR, Rabu (19/11/2025), untuk mengadukan kondisi mereka yang kerap dibayangi penertiban.

Rifai menilai legalitas ini menjadi solusi bagi pemerintah ketimbang memberantas. Apalagi, kata Rifai, bisnis thrifting melibatkan sekitar 7,5 juta orang yang tersebar di wilayah Indonesia.

Menurutnya, apabila pemerintah benar-benar menutup usaha thrifting, langkah tersebut akan mengancam keberlangsungan hidup sekitar 7,5 juta orang yang bergantung pada sektor ini.

"Yang kami harapkan ini sebenarnya seperti di negara-negara maju lainnya, thrifting ini dilegalkan. Kenapa bisa di negara maju itu dilegalkan? Kenapa di kita tidak, Pak? Karena sebenarnya kita ini hampir meliputi 7,5 juta yang berhubungan dengan pakaian thrifting," kata Rifai di Gedung DPR, Jakarta Pusat, Rabu (19/11/2025).

Ia menjelaskan bahwa usaha thrifting sudah berjalan sejak puluhan tahun dan diwariskan secara turun-temurun, sehingga banyak keluarga yang menggantungkan kebutuhan sehari-hari dari usaha tersebut.

"Jadi, usaha ini mulai dari Sabang sampai Merauke, sudah bergantung, sudah mengusahakan usaha ini turun-temurun. Bahkan kita sekolah pun kita memenuhi kebutuhan sehari-hari hasil dari thrifting ini. Jadi sebenarnya kita berharap masuknya ini, barang thrifting ini sekarang bisa dilegalkan. Kita mau bayar pajak. Yang utama itu, kita mau bayar pajak," tutur Rifai.

Di sisi lain, Rifai menilai bahwa membayar pajak akan jauh lebih murah dibanding menyetor uang kepada oknum. Saat ini, para pedagang harus mengeluarkan biaya hingga Rp550 juta per kontainer ke oknum agar barang bekas itu lolos masuk ke Indonesia.

"(Lebih murah) bayar pajak, itu sudah pasti. Karena pajak tinggal berapa persen? Misalkan 10% dari nilai. Nah sekarang yang menikmati yang berpuluh-puluh tahun ini adalah itu tadi, oknum-oknum itu. Makanya yang masuk ke Indonesia kurang lebih ada 100 kontainer per bulan yang ilegal," jelasnya.

Ia menambahkan, jika tidak bisa dilegalkan, pemerintah harus membuat aturan larangan terbatas (lartas) atau kuota impor bagi impor produk thrifting.

"Yang artinya impornya diberikan kuota dibatasi, tapi bukan dimatikan. Jadi solusinya yang kami harapkan adalah dilegalkan atau setidak-tidaknya diberi kuota. Artinya dengan barang larangan terbatas," pungkasnya.

Respons DPR

Wakil Ketua BAM DPR, Adian Napitupulu, menilai pemerintah perlu memiliki pemahaman yang komprehensif untuk merealisasikan rencana tersebut.

Ia juga mengungkapkan bahwa tren thrifting masih sangat diminati. Berdasarkan riset global, sekitar 67% generasi milenial dan Gen Z memilih produk thrifting.

"Lalu, survei itu menjelaskan kenapa millennial dan gen Z menyukai thrifting. Karena harga murah? Bukan. Karena modelnya bagus? Bisa. Lalu, apa yang paling dominan penyebabnya? Terkait dengan lingkungan hidup," jelasnya pada kesempatan yang sama.

Adian menerangkan bahwa penggunaan air bersih untuk industri membutuhkan volume besar. Misalnya, satu jenis celana membutuhkan air bersih 3.781 liter air. Ia menilai ada pergeseran cara pandang baru dari generasi sekarang dibandingkan sebelumnya.

Menurutnya, Indonesia bukan satu-satunya negara yang melakukan impor thrifting. Ia mencontohkan bahwa Amerika Serikat mengimpor thrifting senilai Rp2,19 triliun, sementara Belanda mencapai Rp2,76 triliun, dan Rusia sekitar Rp2,18 triliun.

"Belanda, import thrifting dari negara lain, Rp2,76 triliun. Rusia, import thrifting dari negara lain, Rp2,184 triliun. Ini datanya jelas. Jadi tidak cuma kita saja yang impor. jadi ada perdagangan dunia juga, yang saya tangkap. Belanda, impor Amerika, impor Rusia, impor Indonesia, impor lain sebagainya," kata dia.

"Nah, kita harus pahami. Kita harus pahami ini, sehingga ketika kita sebagai regulator, pemerintah regulator, kita regulator, dengan pemahaman yang komprehensif, kita bisa mengambil kebutuhan yang lebih mewakili keadilan di masyarakat," tutur Adian.

Topik:

thrifting pedagang-thrifting barang-bekas-impor