KPK Minta Dadan Tri yang Ngaku Diperas Lapor Dewas, Kalau Pelakunya Disuruh Minta Maaf Saja Gimana?

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 22 Februari 2024 00:00 WIB
Terdakwa suap perkara MA, Dadan Tri ngaku diperas (Foto: Istimewa)
Terdakwa suap perkara MA, Dadan Tri ngaku diperas (Foto: Istimewa)

Jakarta, MI - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta terdakwa kasus suap Mahkamah Agung (MA), Dadan Tri Yudianto menyerahkan bukti terkait dugaan pemerasan yang dialaminya sekaligus melapor ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK.

"KPK meminta kepada terdakwa untuk dapat melaporkannya kepada Dewan Pengawas ataupun Pengaduan Masyarakat KPK dengan disertai bukti-bukti awal, untuk dapat ditelusuri lebih lanjut kebenarannya," kata Kepala Bagian atau Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri, Rabu (21/2).

"Kami yakinkan bahwa setiap aduan dari masyarakat akan ditindaklanjuti dengan proses verifikasi awal," sambungnya.

Menurut Ali, KPK seringkali mendapat informasi adanya pihak-pihak yang mengaku sebagai pegawai lembaga anti rasuah yang dapat mengatur atau menghentikan penanganan perkara.

Ali memastikan KPK bahkan bersama aparat penegak hukum lain, pernah melakukan penangkapan kepada pihak-pihak yang melakukan modus tersebut.

"Sebagai contoh adalah dalam perkara di Muara Enim, modus penipuan ini justru dilakukan oleh penasehat hukum dari terdakwanya sendiri. Kemudian atas perbuatannya, oknum penasehat hukum tersebut diputus bersalah dalam sidang etik advokat," lanjutnya.

Dia juga menegaskan, penanganan perkara di KPK melalui proses yang melibatkan lintas unit. Selanjutnya, dilakukan gelar perkara untuk menentukan siapa pihak-pihak yang bertanggung jawab dan ditetapkan sebagai tersangka.

Terkait Dewas KPK, akhir-akhir ini menjadi sorotan publik. Teranyar, puluhan pegawai KPK diduga terlibat menerima pungutan liar aluas pungli di rumah tahanan (Rutan) KPK.

Setidaknya ada 90 pegawai sudah menjalani sidang etik Dewas KPK. 12 pegawai KPK tersebut telah melanggar Pasal 4 ayat 2 huruf b Peraturan Dewas Nomor 3 Tahun 2021 tentang Penegakan Kode Etik dan Kode Perilaku KPK.

Sementara 78 pegawai disanksi berat berupa permintaan maaf.

Padahal, pungli dapat dikelompokkan ke dalam tindak pidana khusus (korupsi) dan tindak pidana umum (pemerasan).

Dan seharusnya para pelaku ini dijerat sesuai dengan Pasal 11 dan 12 Undang-Undang Tipikor karena memang sudah masuk ranah tersebut.

Salah satu alasan diberi sanksi minta maaf adalah karena status pegawai tersebut sudah menjadi ASN.

Sementara wewenang Dewas KPK adalah hanya terkait moral. 

Adapun sanksi pemecatan atau pemberhentian adalah ranah kesekjenan yang berkaitan dengan Badan Kepegawaian Nasional (BKN).

Dalam hal ini, bahwa sebelum pegawai KPK beralih menjadi ASN, sebagai dampak Revisi UU KPK, pihaknya sudah beberapa kali memvonis etik pegawai dengan pemecatan. 

Tapi setelah ada kebijakan ASN, Dewas tak lagi berwenang.

Meski begitu, Dewas KPK mengakui bahwa sekedar minta maaf tak akan membuat efek jera yang berarti bagi pelaku. 

Tapi akan tetap ada beban malu. Dan itu yang ingin Dewas ciptakan: rasa dan budaya malu.

Adapun penerimaan pungli itu untuk pemberitaan dan mempermudah fasilitas tambahan kepada para tahanan.

Pungli ini terjadi di tiga Rutan KPK: C1, Gedung Merah Putih, dan Guntur, dengan nilai total pungli mencapai Rp 6 miliar. (wan)