Investasi Fiktif PT Taspen Berujung Kerugian Negara Ratusan Miliar, Kapan KPK Tahan Antonius Kosasih?

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 22 Juni 2024 15:24 WIB
Eks Dirut PT Taspen, Antonius Kosasih (Foto: Dok MI)
Eks Dirut PT Taspen, Antonius Kosasih (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah melakukan penyelidikan dugaan kegiatan investasi fiktif yang dilakukan PT Taspen pada tahun anggaran 2019 dengan melibatkan perusahaan lainnya.

Beranjak dari situ, tim penyidik mulai memeriksa sejumlah orang. Teranyar, KPK menjadwalkan pemeriksaan anggota Komite Investasi Taspen, Totok Sudargo. Dia akan diperiksa sebagai saksi dalam kasus pengadaan fiktif PT. Taspen.

"Hari ini, Kamis (20/6/2024) dijadwalkan pemeriksaan saksi dugaan tindak pidana korupsi terkait investasi fiktif di Taspen. Pemeriksaan dilakukan di Gedung Merah Putih KPK atas nama Totok Sudargo, anggota Komite Investasi PT Taspen," kata Juru bicara KPK, Tessa Mahardika, Kamis (20/6/2024).

Tak hanya memeriksa sejumlah saksi, KPK juga menggeledah tujuh lokasi berbeda di Jakarta. Dari penggeledahan tersebut, penyidik menyita barang bukti seperti dokumen maupun catatan investasi keuangan, alat elektronik, dan sejumlah uang dalam pecahan mata uang asing yang diduga berkaitan dengan perkara.

Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan dua orang tersangka di antaranya Dirut PT Taspen, Antonius Kosasih, dan Dirut PT Insight Investments Management, Ekiawan Heri Primaryanto.

Status hukum Antonius itu diketahui dari jadwal kegiatan pemeriksaan KPK yang diinformasikan kepada wartawan oleh tim juru bicara (jubir) KPK. 

Jadwal itu terkait dengan pemeriksaan saksi kasus Taspen, yakni Direktur Perencanaan dan Aktuaria Taspen Dodi Susanto, Rabu (19/6/2024).  

Dalam dokumen yang dibagikan oleh Jubir KPK Tessa Mahardhika Sugiarto itu, Dodi diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Antonius N.S. Kosasih.  

"Sprin.Dik/45/DIK.00/01/03/2024. Perkara PT Taspen. Nama tersangka: A.N.S Kosasih," demikian bunyi jadwal pemeriksaan seperti dilihat Monitorindonesia.com, Rabu (19/6/2024) lalu.

Atas penetapan tersangka itu, Menteri BUMN Erick Thohir telah menonaktifkan Antonius Kosasih dari jabatannya sebagai Dirut PT Taspen.

Di lain sisi, Antonius juga sudah dicegah untuk bepergian ke luar negeri oleh Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) sebagaimana yang diajukan oleh penyidik KPK. 

Pihak lain yang ikut dicegah ke luar negeri yaitu Direktur Utama PT Insight Investments Management Ekiawan Heri Primaryanto.  Mereka yang dicegah ke luar negeri pada biasanya berpontesi sebagai tersangka. 

Di sisi lain juga, terdapat sejumlah pejabat Taspen yang sebelumnya sudah dipanggil oleh KPK menjadi saksi dalam kasus tersebut. 

Teranyar, mantan Direktur Keuangan Taspen Helmi Imam Satriyono telah diperiksa sebagai saksi dalam kasus yang diduga merugikan keuangan negara itu.  Helmi menjabat sebagai Direktur Keuangan Taspen pada Oktober 2018-Januari 2020. 

Namun saat ini, dia menjabat sebagai Direktur Keuangan PT Asabri (Persero). Dia diperiksa oleh penyidik KPK sebagai saksi dalam kasus dugaan investasi fiktif di Taspen, yang disebut merugikan keuangan negara.  

Usai pemeriksaan, dia mengaku telah memberikan berbagai informasi terkait dengan kasus tersebut. Dia mengonfirmasikan adanya investasi sebesar Rp1 triliun yang kini diperkarakan oleh KPK.  

"Ya memang ada investasi itu Rp1 triliun," ujarnya kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (14/6/2024).  

Helmi irit bicara usai ditanya wartawan ihwal apa saja yang didalami oleh penyidik dari keterangannya. Pria itu hanya memastikan adanya transaksi berupa investasi dana kelolaan BUMN tersebut.  

"Ya intinya transaksi itu ada," kata Helmi.  Untuk diketahui, KPK menduga adanya investasi fiktif pada Rp1 triliun yang diinvestasikan oleh Taspen dari dana kelolaannya pada tahun anggaran (TA) 2019.  

Sampai dengan saat ini, penyidik menduga ratusan miliar rupiah dari Rp1 triliun itu fiktif. Namun, mereka tidak menutup kemungkinan apabila investasi fiktif tersebut menyangkut keseluruhan Rp1 triliun itu.

Pemerintah berulang kali kebobolan, apa sebabnya?
Pengamat asuransi dan jaminan sosial, Timboel Siregar, mengatakan pemerintah terhitung sudah tiga kali kebobolan dalam pengelolaan dana jaminan sosial.

Pada tahun 2019, Jiwasraya mengalami gagal bayar polis ke nasabahnya lantaran menginvestasikan dana pesertanya ke instrumen kuangan yang berisiko. Hitungan Kejaksaan Agung kala itu menyebut nilai kerugian negara mencapai Rp13,7 triliun.

Pada tahun 2020, Kejaksaan Agung kembali mengungkap persoalan yang hampir sama terjadi pada Asabri.

Perusahaan BUMN tersebut mengalami kerugian hingga Rp10 triliun karena pengelolaan investasi berupa saham yang mengalami penurunan nilai.

Dan kini, Taspen diduga melakukan investasi fiktif senilai ratusan miliar.

Menurut Timboel dari kasus-kasus tersebut setidaknya ada tiga hal yang menyebabkan mengapa perusahaan pelat merah tak becus mengelola dana masyarakat.

Pertama, karena tidak adanya aturan yang ketat terkait investasi.

Perusahaan yang berbentuk Perseroran Terbatas seperti Jiwasraya, Asabri, dan Taspen umumnya berorientasi pada profit atau mengejar keuntungan sebesar-besarnya.

Itu mengapa perusahaan-perusahaan tersebut diperbolehkan menginvestasikan dana nasabahnya ke sejumlah instrumen keuangan mulai dari surat utang negara, deposito, reksadana, atau saham. Hanya saja yang jadi masalah, menurut Timboel, tidak ada aturan yang ketat soal produk investasi seperti apa yang diperbolehkan.

Peraturan OJK nomor 12 tahun 2016 hanya mengatur investasi obligasi negara minimal 30% dan 70% lagi bisa dikelola dalam bentuk lain.

"Kalau saham misalnya harus yang kategori LQ45 atau memiliki likuiditas tinggi, itu tidak ada. Jadi mau beli saham apa saja boleh. Beda dengan BPJS Ketenagakerjaan yang dilarang membeli saham gorengan," kata Timboel kepada Monitorindonesia.com, Sabtu (22/6/2024).

Praktik seperti itu, kata Timboel, terbukti dari kasus Jiwasraya yang menempatkan aset finansialnya sebesar 22,4% ke saham yang mayoritas berkinerja buruk.

Asabri juga demikian. Setidaknya ada 13 investasi saham yang dibeli namun memberikan return negatif. Persoalan kedua, lemahnya pengawasan oleh lembaga independen seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Pengamat asuransi, Irvan Rahardjo, berkata selama ini OJK hanya fokus pada sektor industri keuangan non-bank. Padahal pengawasan investasi saham yang dilakukan perusahaan pelat merah sudah menjadi tanggung jawab mereka.

Timboel Siregar sependapat. Kata dia, OJK tidak melakukan apa-apa terhadap laporan keuangan yang diserahkan Taspen dan baru bertindak ketika sudah kejadian. Baginya, tindakan seperti itu bukanlah bentuk pengawasan.

"Kalau pengawasan harusnya proaktif mencari sehingga bisa mencegah. Ini kan mereka seperti bekerja di hilir. Kejadian dulu baru bertindak. OJK harusnya mengintai sebelum dana itu diinvestasikan. Misalnya Taspen mau beli saham A, didatangi OJK, dan dicecar kajiannya. Jadi uang masyarakat aman," bebernya.

Permasalahan ketiga, penempatan jajaran direksi dan komisaris yang sarat politis sehingga mudah 'memainkan' anggaran. Seperti sudah menjadi rahasia umum, kata Timboel, pejabat yang menduduki kursi direksi mapun komisaris tidak melalui proses seleksi sesuai kompetensinya tetapi penunjukan langsung oleh Menteri BUMN.

Dan biasanya mereka yang dipilih itu terkait dengan dukungan mereka semasa kontestasi pemilu atau biasa disebut sebagai politik 'balas budi'. "Mereka ini yang menjerumuskan BUMN-BUMN ini," tandas Timboel.