Inilah Tindak Kriminal Alex Denni, "Sang Buronan Paus"

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 24 Juli 2024 09:53 WIB
Alex Denni mengenakan rompi tahanan Kejaksaan. Selama 11 tahun menjadi buronan, dia sempat mengemban jabatan strategis BUMN (Foto: Dok MI/Repro YT)
Alex Denni mengenakan rompi tahanan Kejaksaan. Selama 11 tahun menjadi buronan, dia sempat mengemban jabatan strategis BUMN (Foto: Dok MI/Repro YT)

Jakarta, MI - Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Bandung baru saja menangkap Alex Denni, mantan deputi Kementerian PAN dan RB, pada Jumat (19/7/2024), meskipun ia sudah menjadi terpidana sejak 2013 atau buron lebih 1 dekade (11 tahun) lalu.

Alex dijatuhi hukuman 1 tahun penjara setelah kasasinya ditolak Mahkamah Agung (MA) terkait dengan kasus korupsi proyek pengadaan jasa konsultan analisis jabatan atau distinct job manual (DJM) PT Telkom tahun anggaran 2003.

Penangkapan Alex Denni yang baru dilakukan sekarang menimbulkan banyak pertanyaan. Alex Denni telah dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Agung (MA) pada 2013, tetapi tidak segera dipenjara. 

Padahal, jelas bahwa dalam penanganan perkara selalu ada prosedurnya. Misalnya untuk mengajukan kasasi setelah putusan PT itu 14 hari. Kemudian proses persidangan kasasi itu 250 hari.

Lantas mengapa Alex baru diambil petugas 11 tahun kemudian, setelah terpidana begitu “santuy” berkarier di sekian banyak BUMN? Sebagai Deputi Sumber Daya Manusia (SDM),Teknologi, dan Informasi Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) (2020-2021), misalnya. 

Lalu, Komisaris PT Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (2022); Direktur Sumber Daya Manusia (SDM) dan Tranformasi (Human Capital & Transformation) PT Jasa Marga (2018-2020); Chief Human Capital Officer PT Bank Negara Indonesia (BNI) (2016-2018); dan Senior VP Human Capital Strategy and Policy Group PT Bank Mandiri (2013).

Mengutip oipini terbuka Redaktur tabloid Obor Rakyat, Darmawan Sepriyossa, Rabu (24/7/2024), bahwa dia menyinggung soal James "Whitey" Bulger ditulis sejarah sebagai kriminal yang mampu lari dan bersembunyi dari aparat hukum Amerika Serikat selama 16 tahun. 

Tapi sejatinya, kata dia, ia bukan apa-apa dibandingkan Alex Denni. "Maling kelas paus itu bisa kebal dari hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia 11 tahun lamanya, tanpa harus main petak umpet dengan aparat, atau berpuasa dari medsos," kata Darmawan.

"Warga dan aparat negeri kita memang sudah lama dikenal “aheng” alias mampu melakukan hal-hal di luar nalar. Jika Bulger harus hidup menyamar, menggunakan identitas palsu dan menjalani kehidupan rendahan agar tak mencolok, di Indonesia Alex Denni tak harus begitu. Alex bahkan bisa menempati sekian banyak jabatan strategis di Kementerian BUMN".

Yang bikin kening publik kian berkerut heran, selama ini Alex Denni tak tampak berusaha menyembunyikan diri. Paling tidak, Alex tetap mengisi akun yang ia miliki di Linkedin. 

Bahkan, dia juga tergolong rajin melaporkan harta kekayaannya sebagai pejabat negara, setiap tahun. Pada 2022 lalu, Alex melaporkan total kekayaan sebesar Rp 25 miliar. 

Lalu, dihubungkan dengan sekian banyak jabatan di pemerintahan yang pernah dia emban. Apa saja kerja lembaga-lembaga yang terkait proses seleksi ketat dan penelusuran rekam jejak sebelum seseorang bisa memangku satu jabatan publik? 

Paling tidak, lanjut Darmawan, Peraturan Presiden Nomor 177 Tahun 2014 Tentang Tim Penilai Akhir, Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian Dalam dan Dari Jabatan Pimpinan Tinggi Utama dan Pimpinan Tinggi Madya, menegaskan pelibatan Sekretaris Kabinet, Tim Penilai Akhir, dan Badan Intelijen Negara dalam mencari dan menilai rekam jejak seseorang. 

Ke”woles”an Alex memang bisa jadi terputus setelah ia dicokok aparat Kejaksaan Negeri Bandung pada Jumat (19/7/2024) lalu. Ia akan menjalani penjara paling lama satu tahun, sesuai vonis atas kasus korupsinya yang telah inkracht sejak 26 Juni 2013. 

"Jauh bumi dengan langit dibanding vonis yang harus dijalani Bulger sebagai hukuman kejahatannya: dua kali penjara seumur hidup, plus lima tahun," katanya. 

Alibi Kepala Seksi (Kasi) Intel Kejari Kota Bandung, Wawan Setiawan, bahwa pihaknya memang baru mendapatkan salinan putusan kasasi sehingga baru melakukan eksekusi.

"Faktanya kami baru menerima (salinan putusan kasasi) April dan langsung kami tindak lanjuti dengan pemanggilan dan pencarian sampai akhirnya diterbitkan Surat Pencekalan dan hasil akhirnya adalah penangkapan beliau (Alex) di Bandara Soetta," kata Wawan, Sabtu (20/7/2024).

Potensi maladministrasi?
Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM menyoroti Mahkamah Agung (MA). Menurut Peneliti Pukat UGM, Zaenur Rohman, ada potensi maladministrasi dalam peristiwa ini.

"Perkara Alex Denni ini harus jadi evaluasi bagi kejaksaan dan MA. Kenapa? Karena ada sebuah perkara salinan putusan kasasi baru dikirim 11 tahun kemudian berarti di sini kemudian ada potensi maladministrasi saya melihatnya," kata Zaenur saat dihubungi, Senin (22/7/2024).

Zaenur mempertanyakan apakah ini terjadi karena berkas hilang, tercecer, atau karena kejadian lain. "Menurut saya ini perlu dilakukan evaluasi internal MA, juga di internal kejaksaan. Mengapa sebuah perkara bisa 11 tahun untuk pengiriman salinan putusan gitu ya," jelasnya.

Akibat keterlambatan ini maka terjadi keadilan yang tertunda, keadilan yang tertolak. Apalagi Alex Denni sampai menduduki sejumlah jabatan penting.

"Seseorang itu sampai menduduki jabatan penting karena meskipun sudah divonis bersalah tidak segera dieksekusi hanya karena salinan putusan tidak segera dikirimkan," bebernya.

Padahal semua sudah ada standar operasional prosedurnya. Contohnya proses persidangan kasasi maksimal 250 hari. Tentu, batas waktu penyampaian salinan harus ada dan harus dipatuhi.

Untuk mencegah hal ini, Pukat berharap MA terus meningkatkan kualitas layanan. Selain itu harus dilakukan evaluasi. "Apakah ini human error, apakah ini technical error, atau kah di sini ada pelanggaran itu harus dilakukan pemeriksaan. Harus dilakukan pemeriksaan agar seperti ini tidak terjadi lagi," ujarnya.

Selain itu, Zaenur juga bertanya-tanya apakah pihak kejaksaan tidak menanyakan ke MA mengenai putusan kasasi. "Kan perkara kalau diajukan kasasi 250 hari putus. Apakah kemudian pihak kejaksaan tidak menanyakan kepada MA, misalnya berkirim surat gitu mengenai perkara tersebut ini perlu dijadikan evaluasi," katanya.

APH perlu dievaluasi
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menegaskan perlunya evaluasi di tubuh aparat penegak hukum.
Bahkan, dia menduga Alex Denni dibiarkan berkeliaran hingga dapat mengemban jabatan strategis di Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan perusahaan lainnya.

"Inilah kelemahan sistem dari penegakkan hukum kita, yang bisa jadi lebih banyak disebabkan faktor manusianya. Bisa jadi buronan itu sudah diketahui lama tetapi dibiarkan bebas, tetapi membayar sejumlah setoran pada pejabat tertentu," kata Abdul Fickar kepada Monitorindonesia.com, Selasa (23/7/2024).

"Ketika setoran kurang atau ada ribut-ribut pembagian, muncullah masalah dan dibukalah rahasia ini oleh salah satu pihak," sambungnya. 

Hal ini sangat mungkin terjadi karena sudah begitu rusaknya birokrasi penegakkan hukum. Maka, dia mendesak siapa pun pejabat Kejaksaan Negeri Bandung saat itu, harus diperiksa Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan (Jamwas). Dan jika terjadi dugaan korupsi, KPK dapat menanganinya.

"Siapa pun termasuk jika dia menjabat Kajari Bandung saat itu dan sekarang, tetap harus diperiksa untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Kalau perlu perkaranya ditangani KPK," tegas Abdul Fickar.

Adapun Denni terjerat kasus korupsi saat masih menjabat Direktur Utama PT Parardhya Mitra Karti pada tahun 2003. Saat itu, Agus Utoyo dan Tengku Hedi Safinah selaku Direktur SDM Niskung serta Asisten Kebijakan SDM pada Direktorat SDM Niskung PT Telkom menunjuk perusahaan Alex sebagai konsultan analisa jabatan.

Proyek pengadaan jasa konsultan analisa jabatan tersebut dianggarkan sebesar Rp 5,7 miliar. Tapi berdasarkan hasil penelusuran, kejaksaan mengendus adanya kongkalikong dalam proyek itu. Kerugian negara akibat proyek ini mencapai Rp 2,7 miliar.

Sidang kasus ini berjalan di Pengadilan Negeri pada 2006 silam. Putusannya dibacakan Pada 29 Oktober 2007. Pengadilan memvonis Agus Utoyo, Tengku Hedi Safinah, dan Alex Denni 1 tahun penjara dan denda Rp 50 juta subsidair 3 bulan kurungan.

Denni dinyatakan terbukti bersalah melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Ia juga diputus untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 789 juta. 

Jika uang pengganti itu tidak sanggup dibayar, maka akan diganti dengan hukuman penjara 6 bulan kurungan. (ar)