Kasus Suap Kasasi Ronald Tannur, Eks Kabadiklat Kumdil MA Zarof Ricar Diduga Sebarkan Triliunan Rupiah ke Oknum Hakim

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 26 Oktober 2024 17:17 WIB
Mantan pejabat MA Zarof Ricar berjalan menuju mobil tahanan usai diperiksa di Kejaksaan Agung, Jakarta, Jumat (25/10/2024).
Mantan pejabat MA Zarof Ricar berjalan menuju mobil tahanan usai diperiksa di Kejaksaan Agung, Jakarta, Jumat (25/10/2024).

Jakarta, MI - Kejagung mengungkapkan bahwa mantan Kabadiklat Kumdil Mahkamah Agung berinisial ZR (Zarof Ricar) yang menjadi tersangka kasus dugaan permufakatan jahat suap dalam kasasi Ronald Tannur, juga menjadi makelar pengurusan perkara lain di MA selama 10 tahun.

"Selain perkara permufakatan jahat, saudara ZR pada saat menjabat sebagai Kepala Balitbang Diklat Kumdil MA menerima gratifikasi pengurusan perkara-perkara di MA dalam bentuk uang," kata Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Abdul Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Jumat (25/10/2024).

Ia menjelaskan kejahatan itu diketahui setelah penyidik menggeledah rumah ZR di kawasan Senayan, Jakarta, terkait kasus permufakatan jahat dengan pengacara Ronald Tannur berinisial LR yang juga menjadi tersangka dalam kasus ini.

Barang buktinya sekitar satu triliun rupiah diduga bagian penghasilannya. Diperkirakan setidaknya uang suap Rp4 triliun sudah disebarkan ZR ke penerima.

Berdasarkan informasi, pengakuan eks pejabat MA berinisial ZR tersebut dalam ‘mengurus’ perkara sungguh luar biasa. Kadang ia dapat mengantongi uang sekitar Rp1 miliar dan kadang mendapatkan fulus sekitar Rp2,5 miliar.

Untuk ‘mengurus’ kasasi perkara Gregorius Ronald Tanur, misalnya, ZR mengaku sudah dijanjikan pengacara LR ‘upah’ sebesar Rp1 miliar. Jasa ZR diperlukan, karena LR sudah berhasil ‘membeli’ putusan Pengadilan Negeri (PN) Surabaya dengan membebaskan Ronald Tanur dari dakwaan pembunuhan berencana.

Upaya ‘membeli’ hakim agung dengan nilai Rp5 miliar, sebagaimana kesepakatan LR dan ZR untuk menjaga kepentingan Ronald Tanur, memang konsekuensi dari vonis bebas PN Surabaya. Pasalnya, jaksa menolak vonis bebas, hingga sesuai Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) harus mengajukan kasasi ke MA.

Pemberian suap kepada para hakim agung yang memeriksa perkara kasasi Ronald Tanur mungkin belum terlaksana sempurna. Pasalnya, tiga hakim PN Surabaya yaitu Erintua Damanik dkk dan pengacara Lisa Rahmat (LR) sudah ditangkap jaksa hari Rabu 23 Oktober 2024 lalu. Dari para tersangka tersebut, ditemukan juga sebungkus uang tunai yang bila dikurskan sekitar Rp5 miliar dengan kode tulisan untuk ‘pengurusan’ kasasi.

Dalam konstruksi hukum, meski delik suap pengurusan perkara kasasi Ronald Tanur belum sempurna, namun permufakatan jahat sudah terjadi. setidaknya begitu disampaikan Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Harli Siregar kepada keadilan.id, Jumat malam 25 Oktober 2024 lalu. Ini berarti penerapan pasal 15 UU Anti Tipikor kepada ZR sudah memenuhi syarat.

Itu baru untuk ‘pengurusan’ perkara kasasi Ronald Tanur. Lalu bagaimana barang bukti uang tunai sekitar Rp1 triliun milik ZR yang disita jaksa. Dari informasi yang disampaikan Direktur Penyidikan Jampidsus Abdul Qohar pada Jumat malam 25 Oktober 2024 lalu, terungkap uang tunai itu sebagian besar berasal dari ‘pengurusan perkara’ yang dilakukan ZR sejak 2012 silam. Sebagian kecil berasal dari bisnis hotel yang digelutinya setelah pensiun tiga tahun lalu.

Tanpa bermaksud melanggar azaz praduga tak bersalah, pengakuan ZR ini bisa dibalik. Semua uang tunai dan 51 kilogram emas batangan Antam yang disita jaksa hanya bagian dari ‘penghasilannya’ sebagai markus perkara selama 12 tahun yang belum sempat dicuci atau diputihkan ZR.

Berdasarkan informasi, bisa jadi modal yang digunakan ZR untuk membangun hotel dan bisnis bersih lainnya berasal dari brankas yang sama sebelumnya. Pendeknya, uang ZR yang disita jaksa adalah uang kejahatan yang belum sempat ‘dicuci’ oleh pelaku dan hasil dari pencucian uang.

Dari informasi, selain mengurus perkara pidana di MA, ZR juga mengaku ‘mengurus’ perkara perdata. Untuk satu perkara perdata yang diurusnya, ia kadang mengantongi sisa uang Rp2,5 miliar setelah suap dibagi kepada majelis hakim yang memutus perkara.

Berdasarkan pengakuan tersebut, setidaknya ZR mendapatkan upah sekitar 20 persen dari total suap setiap perkara. 80 persen sisanya mengalir ke oknum-oknum hakim dan pihak terkait lainnya.

Jika bukti uang tunai Rp1 triliun setidaknya total upahnya sebagai markus selama 12 tahun, logikanya minimal Rp4 triliun telah disebar ZR kepada para oknum hakim selama 12 tahun ini dalam perkiraan ratusan perkara yang diurusnya.

Topik:

Ronald Tannur