Skandal Sawit Ilegal 'Buta Palma' vs Duta Palma, Diskon Ilegalitas dan Mafia Korporasi

![Sekretaris IAW Iskandar Sitorus Sekretaris pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus [Foto: Doc. MI]](https://monitorindonesia.com/index.php/storage/news/image/sekretaris-iaw-iskandar-sitorus.webp)
Jakarta, MI - Kasus alih fungsi hutan untuk perkebunan sawit ilegal terus menjadi sorotan. Namun, yang lebih menarik bukan hanya praktik ilegalnya, tetapi bagaimana negara menangani dua kasus besar dengan pendekatan yang kontras: Buta Palma dan Duta Palma.
Satu kasus berujung pada penyitaan besar-besaran, sementara yang lain justru mendapatkan pemutihan dengan dalih regulasi. Apakah ini penegakan hukum, atau hanya sekadar permainan politik dan ekonomi di balik meja?
Jika kita membandingkan skala pelaku dan dampaknya, kasus Buta Palma jauh lebih besar dari Duta Palma. Kasus Buta Palma melibatkan 2.130 perusahaan yang menggarap sawit ilegal di 23 provinsi. Sebanyak 380 perusahaan malah sudah mengajukan pemutihan untuk sekitar 700 ribu hektare lahan ilegal.
Justru dari 2.130 menjadi 380 korporasi itu diduga mulai muncul dugaan korupsi penanganan pemutihan tersebut. Dan 380 perusahaan itu yang digadang-gadang sedang diproses hukum Satgas Sawit. Beberapa pemain besar dalam skandal ini termasuk Wilmar (51.150 hektare), Sinar Mas (48.060 hektare), dan Best Industry (29.335 hektare).
Sementara itu, Duta Palma hanyalah satu perusahaan—PT Duta Palma Group—yang menguasai 37.095 hektare lahan ilegal. Namun, dampak finansial yang diungkap Kejaksaan Agung (Kejagung) jauh lebih besar, dengan kerugian negara yang diperkirakan mencapai Rp 78 triliun, termasuk pajak, pendapatan negara bukan pajak (PNBP), dan denda lingkungan.
Konsekuensinya juga berbeda, Kejagung menyita 200 ribu hektare aset Duta Palma, menunjukkan langkah hukum yang tegas. Sebaliknya, Buta Palma justru mendapat diskon ilegalitas lewat regulasi yang menguntungkan mereka karena Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menerbitkan SK 1170/MENLHK/SETJEN/PLA.2/11/2023, yang menggantikan SK 661/MENLHK/SETJEN/PLA.2/5/2023 yang sebelumnya sudah disepakati oleh Satuan Tugas (Satgas).
Akibatnya, perusahaan sawit ilegal hanya membayar Rp 1,7 triliun, padahal seharusnya Rp 4,8 triliun.
"Ini seperti diskon besar-besaran pada saat cuci gudang terhadap para pelaku dan entitas korporasi ilegal pada dugaan kejahatan alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit," kata Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus, Senin (10/3/2025).
Bagaimana bisa Duta Palma hanya satu perusahaan, tetapi terbukti merugikan negara lebih besar dibanding dengan ribuan perusahaan pelaku kejahatan yang sama dalam Buta Palma? Salah satu faktor utamamanya adalah karena belum masuk ke ranah hukum layaknya kasus Duta Palma.
Lalu, dari durasi operasi dan struktur bisnis karena Duta Palma sudah terbukti beroperasi puluhan tahun dan menguasai rantai produksi dari perkebunan hingga ekspor. Skema bisnisnya melibatkan manipulasi izin dan pemalsuan dokumen untuk menghindari pajak. Ada dugaan suap kepada pejabat KLHK untuk memuluskan izin itu.
Sebaliknya, kasus Buta Palma baru terungkap pada 2023 dan belum masuk tahap penyidikan mendalam seperti Duta Palma. Tetapi, alih-alih diproses hukum, kasus ini malah mendapat legalisasi lewat UU Cipta Kerja, memberikan "pintu belakang" bagi perusahaan ilegal untuk tetap beroperasi.
"Terlihat ada upaya fraud data di KLHK, sehingga lahan ilegal bisa dianggap legal hanya dengan dokumen izin asli tapi palsu. Ini tindakan yang sangat jahat," ujarnya.
Abuse of power pencucian kasus di KLHK
Peran KLHK dalam kasus Buta Palma patut dipertanyakan. Audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menemukan selisih Rp 3,1 triliun akibat perubahan kebijakan KLHK.
Perbedaan mencolok dalam metode audit yakni pada SK 661, menghitung luas areal terbangun dengan kerugian negara Rp 4,8 triliun sementara di SK 1170, hanya menghitung area berpotensi tegakan kayu sehingga kerugian turun menjadi Rp 1,7 triliun.
Perubahan ini dilakukan, tanpa koordinasi dengan institusi negara lainnya seperti Satgas maupun Kemenko Marves, yang sebelumnya sudah menyepakati SK 661 sebagai dasar perhitungan.
Artinya, ada dugaan penyalahgunaan wewenang yang melanggar Pasal 3 UU Tipikor (Penyalahgunaan Wewenang) dan Pasal 20 UU Perbendaharaan Negara (Kelalaian Mengamankan Pendapatan Negara). Ini upaya yang sangat kentara. Dan itu sedang diproses hukum. Idealnya 2.130 korporasi itu di Dutapalmakan! Jikapun nanti saat diproses hukum lalu lahir kebijakan lain, itu hal yang berbeda dari sekedar administratif semata!, seru Iskandar Sitorus.
Sementara di kasus Duta Palma, manipulasi izin yang digunakan perusahaan bisa dijerat dengan Pasal 12 UU Pencegahan Perusakan Hutan (Alih Fungsi Hutan Tanpa Izin) dan Pasal 2 UU Tipikor (Merugikan Keuangan Negara).
Jika dilakukan audit forensik menguak kejahatan lingkungan dan keuangan menggunakan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) oleh BPK atau seminimalnya BPKP, maka terkait kasus manipulasi pemutihan kasus Buta Palma itu sendiri bisa ditemukan. beberapa potensi yang muncul, seperti:
1. Selisih perhitungan PNBP yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, sebab potensi awal PNBP disebut Rp 4,8 triliun, tetapi KLHK hanya mencatat Rp 1,7 triliun setelah perubahan metode perhitungan dalam SK 1170. Selisih Rp 3,1 triliun itu saja berpotensi masuk dalam kategori penyimpangan kebijakan dan maladministrasi.
2. Penyalahgunaan wewenang dalam perubahan kebijakan akan terendus dengan investigasi guna menelusuri siapa yang mengambil keputusan untuk menerbitkan SK 1170. Pemeriksaan komunikasi antara KLHK dan perusahaan sawit bisa mengungkap apakah ada indikasi persekongkolan atau kepentingan tertentu.
3. Identifikasi kerugian negara dan pemulihan melalhi audit bisa merekomendasikan pengembalian metode perhitungan ke SK 661 untuk mendapatkan jumlah pajak dan denda yang lebih akurat.
Perusahaan yang sudah membayar dengan metode SK 1170 bisa diminta membayar kekurangan sesuai aturan yang seharusnya.
4. Potensi tindak pidana dan rekomendasi penegakan hukum akan ditemukan jika indikasi merujuk pada perubahan kebijakan dilakukan dengan niat merugikan negara, maka Kejagung atau KPK perlu melakukan penyelidikan lebih lanjut. Pejabat yang terlibat bisa dijerat dengan Pasal 3 UU Tipikor (Penyalahgunaan Wewenang) dan Pasal 5, 11, atau 12 UU Tipikor (Gratifikasi dan Suap).
Dari hal tersebut untuk sementara bisa didapat kesimpulan bahwa diskresi vs. Keadilan kasus Buta Palma dan Duta Palma menunjukkan ketimpangan dalam penegakan hukum. Duta Palma dihantam dengan penyitaan besar-besaran, sementara Buta Palma malah mendapatkan pemutihan lewat regulasi yang menguntungkan pelaku ilegal.
Tanpa transparansi dalam regulasi dan perizinan berbasis teknologi geospasial, mafia sawit akan terus merugikan negara dan merusak lingkungan.
Jika metode penanganan kasus yang sama dilakukan dengan cara yang berbeda, apakah negara benar-benar serius dalam menegakkan hukum? Atau ini hanya sekedar permainan kebijakan?
“Kalau benar ingin menegakkan hukum, jangan ada kompromi dalam penyelesaian kasus seperti itu. Kalau untuk hindarkan sebutan sekadar retorika, maka segera cari cara yang sah dan elegan guna menghukum 2.130 perusahaan itu lalu diformulasi menjadi denda yang adil kepada negara menggunakan instrumen yang sah serta terkonsolidasi dengan seluruh pemangku kepentingan karena kejahatan itu ternyata sudah dilakukan secara masif,” pungkas Iskandar Sitorus.
Topik:
Skandal Sawit Ilegal Duta Palma Mafia Korporasi