IHII Menolak Penerapan KRIS Satu Ruang Perawatan

Albani Wijaya
Albani Wijaya
Diperbarui 11 Maret 2025 22:29 WIB
Konfrensi pers Institut Hubungan Industrial Indonesia (IHII) terkait rencana penerapan kebijakan Kelas Ruangan Inap Standar (KRIS) Satu Ruang Perawatan (Foto: Dok MI/Albani)
Konfrensi pers Institut Hubungan Industrial Indonesia (IHII) terkait rencana penerapan kebijakan Kelas Ruangan Inap Standar (KRIS) Satu Ruang Perawatan (Foto: Dok MI/Albani)

Jakarta, MI - Institut Hubungan Industrial Indonesia (IHII) menolak rencana penerapan kebijakan Kelas Ruangan Inap Standar (KRIS) Satu Ruang Perawatan. 

Hal ini disampaikan Ketua Institut Hubungan Industrial Indonesia, Saepul Tavip dalam konfrensi pers yang digelar di Hotel Swissbell Inn Cawang, Jakarta Timur, Selasa (11/3/2025).

Dalam konfrensi pers ini turut menghadirkan narasumber dari Aktivis Buruh, Koordinator Advokasi BPJS Watch, dan perwakilan pekerja yang menjadi peserta BPJS Kesehatan.

Saepul mengatakan jika kebijakan KRIS ini diterapkan, kemungkinan besar banyak rumah sakit akan menolak untuk bekerjasama dengan BPJS. Sebab jika kebijakan tersebut diterapkan, maka rumah sakit yang berkerjasama harus melakukan renovasi kamar untuk menyusuaikan dengan kebijakan itu.

"Kebijakan ini berpotensi menimbulkan liberalisasi layanan kesehatan, dimana banyak rumah sakit yang tidak mau bekerjasama dengan BPJS karena harus merenovasi sekian ribu kamar, sehingga pada akhirnya dia akan melepaskan diri dari BPJS dan membuat rumah sakit tersendiri dengan kelas yang lebih baik," katanya. 

Saepul menegaskan bahwa IHII menolak penerapan kebijakan KRIS tersebut karena berpotensi merugikan masyarakat. "Kami saat ini tetap pada sikap menolak, karena berpotensi menimbulkan kerugian pada masyarakat yang membutuhkan," ujarnya.

Berikut Pernyataan Sikap Dari Institut Hubungan Industrial Indonesia:

  1. Kami menolak penerapan KRIS Satu Ruang Perawatan. 
  2. Pemerintah harus melaksanakan amanat Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 dengan baik, yaitu memudahkan akses pelayanan rawat inap dengan meningkatkan RS yang bekerja sama dan meningkatkan jumlah tempat tidur untuk peserta JKN. 
  3. Pemerintah harus mematuhi amanat UU No. 13 Tahun 2022 dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk SP/SB, ketika akan meregulasikan semua hal terkhusus tentang JKN. Kami SP/SB siap terlibat membicarakan masalah ini dan mencari solusinya, misalnya dengan mengkaji penerapan KRIS Dua Ruang Perawatan sebagai solusi. 
  4. Untuk meningkatkan kualitas nonmedis klas 3 saat ini maka kami meminta Pemerintah fokus membatasi jumlah tempat tidur di klas 3 yaitu maksimal 5 tempat tidur dengan kamar mandi di dalam ruangan dan kelayakan lainnya. 
  5. Mengingat tanggal 1 Juli 2025 tingga beberapa bulan lagi maka kami meminta Pemerintah segera merevisi pasal 103B ayat (1) Perpres 59 tahun 2024 yang mengamanatkan penerapan KRIS secara menyeluruh paling lama 30 Juni 2025. Libatkan semua stakeholder JKN untuk membicarakan KRIS, dan kami SP/SB siap memberikan usulan konstruktif. 

Sementara itu, Koordinator Advokasi BPJS Watch Timbul Siregar meminta pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan melakukan pengkajian ulang terkait kebijakan KRIS Satu Ruang Perawatan tersebut.

Timbul mengatakan, lebih baik pemerintah melakukan peningkatan pada pelayanan kesehatan yang ada seperti di kelas 1 dan 2. Ia juga meminta pemerintah melakukan perbaikan layanan non medis pada kelas 3 yang menurutnya belum ideal.

"Perbaiki saja. Kelas 1, 2 dan 3 masih ada, tapi dengan syarat kelas 3 diperbaiki. Contoh untuk kelas 3 kamar mandi ada yang diluar, ayo dimasukkan kedalam agar pasien kalau mau ke kamar mandi tidak jauh," ujarnya. 

Sebelumnya Peraturan Presiden Nomor 59 tahun 2024 khususnya pasal 46 ayat 7 mengamanatkan diterapkannya Kelas Rawat Inap Standar (KRIS). Kebijakan ini rencananya akan mulai dilakukan secara utuh pada tanggal 1 Juli 2025 mendatang.

Topik:

Institut Hubungan Industrial Indonesia Ketua HII Saepul Tavip Timbul Siregar KRIS Satu Ruang Perawatan Kementerian Kesehatan