Dampak Perang India-Pakistan, DPR: Ancaman Nuklir dan Guncangan Bursa Global

Rizal Siregar
Rizal Siregar
Diperbarui 16 Mei 2025 14:34 WIB
Hikmahanto Juwana (Foto: Rizal)
Hikmahanto Juwana (Foto: Rizal)

Jakarta, MI - Ketegangan antara India dan Pakistan yang kembali mencuat menuai sorotan berbagai pihak, termasuk dari pengamat hubungan internasional Hikmahanto Juwana. 

Ia mengingatkan bahwa potensi perang antara dua negara bersenjata nuklir itu bukan hanya berbahaya bagi kawasan, tetapi juga mengancam stabilitas global.

“Kalau saya melihat, dunia ini tidak butuh satu lagi perang besar, apalagi antara dua negara yang punya senjata nuklir,” kata Hikmahanto dalam   Dialektika Demokrasi dengan tema  'Mitigasi Geopolitik Indonesia Menghadapi Dampak Perang India-Pakistan',   Ruang PPIP Gedung Nusantara I DPR RI, Senayan, Jakarta, Jumat (16/5/2025). 

Ia mencontohkan bagaimana Amerika Serikat pun berhati-hati dalam keterlibatannya di Ukraina karena ancaman nuklir dari Rusia.

“Putin pernah mengatakan bahwa jika ada prajurit asing yang masuk ke Ukraina, maka yang akan berbicara adalah nuklirnya,” ujarnya. “Amerika saja mikir-mikir. Di Timur Tengah pun, Israel tidak gegabah menyerang Iran meski mengetahui Hamas dan Hizbullah adalah proxy Iran, karena ada kecurigaan Iran punya nuklir.”

Hal serupa, lanjutnya, berlaku bagi India dan Pakistan. Kedua negara sudah lama dikenal memiliki senjata nuklir. Namun risiko perang tetap mengintai, terutama jika ego pemimpin atau tekanan rakyat makin sulit dibendung.

“Kalau kemarahan rakyat tidak bisa dikendalikan, pemimpin bisa saja tergiring untuk menyatakan perang. Itu yang berbahaya,” katanya. Meski demikian, Hikmahanto melihat adanya sinyal positif dari kedua pihak. “Sekarang India dan Pakistan sama-sama bersedia mencatatkan senjata, meskipun India masih menilai ada pelanggaran dari Pakistan.”

Hikmahanto menyebut Indonesia berpotensi besar menjadi mediator dalam konflik ini, terutama di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto.

“Presiden Prabowo punya jaringan internasional yang kuat. Lihat saja, saat menerima kunjungan PM Australia, beliau sambut langsung di rumah. Dengan PM India juga sudah menjalin hubungan baik sejak lama,” ujarnya.

Menurutnya, gaya komunikasi Prabowo yang informal dan terbuka menjadi nilai tambah. “Bahkan pemimpin-pemimpin yang baru terpilih langsung ditelepon oleh Pak Prabowo. Ini menunjukkan beliau bisa menembus sekat-sekat diplomatik.”

Jika diperlukan, kata Hikmahanto, Indonesia bisa juga mengutus Menteri Luar Negeri atau tokoh lain seperti Jusuf Kalla sebagai utusan khusus perdamaian.

Selain risiko militer, konflik antara India dan Pakistan juga berdampak pada pasar keuangan global. “Waktu perang sebelumnya, bursa saham anjlok. Artinya, pemimpin negara sekarang tidak bisa hanya mendengarkan suara rakyat, tapi juga harus mendengar suara pasar,” ujarnya.

Ia mencontohkan situasi saat Donald Trump mengumumkan tarif dagang terhadap China. “Bursa sempat turun tajam, tapi setelah ada kesepakatan, pasar kembali stabil.”

Menurutnya, pasar modal kini menjadi indikator penting stabilitas politik dan ekonomi. “Kalau bursa terguncang, investor akan bereaksi. Itu bisa jadi tekanan tersendiri bagi pemerintah untuk bersikap bijak.”

Hikmahanto juga mengingatkan pentingnya kesiapsiagaan Indonesia menghadapi potensi konflik global. Ia mengutip pernyataan Prabowo saat kampanye lalu yang menekankan bahwa perang bisa terjadi kapan saja.

“Sekarang kita lihat sendiri. Di Ukraina, di Gaza, dan terakhir di Kashmir. Perang bukan sesuatu yang jauh. Kita harus siap,” ujarnya.

Teknologi, menurut Hikmahanto, memegang peranan penting dalam konflik modern. “Di Ukraina, banyak senjata dari Amerika yang diuji. Rusia pakai drone dari Iran. Di India-Pakistan, juga ada pesawat tempur dari China dan penggunaan drone.”

Karena itu, ia mendorong agar Indonesia membangun kekuatan pertahanan dalam negeri. “Kalau negara lain bisa, kenapa kita tidak? Industri pertahanan harus diperkuat, agar kita tak hanya jadi penonton," ucapnya. ***

Topik:

Perang Pakistan-India stabilitas global