Faktor Ekonomi jadi Penyebab Utama Banyak Anak Putus Sekolah

Rolia Pakpahan
Rolia Pakpahan
Diperbarui 19 Mei 2025 14:29 WIB
Kemiskinan menjadi penghalang utama anak Indonesia bersekolah (Foto: Repro)
Kemiskinan menjadi penghalang utama anak Indonesia bersekolah (Foto: Repro)

Jakarta, MI - Dirjen Pendidikan Vokasi, Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus Kemendikbudristek, Tatang Muttaqin, mengungkapkan bahwa ekonomi masih menjadi penghambat utama anak-anak Indonesia untuk mengenyam pendidikan. 

Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi X DPR RI, ia menyoroti realita pahit di lapangan, terutama di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).

“Kalau kita lihat kondisi di faktualnya, faktor ekonomi dan bekerja menjadi penyumbang terbesar dari anak-anak kita yang tidak sekolah,” ujar Tatang di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (19/5/2025).

Ia menyampaikan, hal ini terutama terjadi saat usia semakin tinggi, maka probabilitas untuk tidak sekolahnya juga semakin lebih tinggi lagi. Dia pun menerangkan ada dua faktor yang seringkali menyebabkan hal itu terjadi.

“Karena mengurus rumah tangga, menikah, jadi hal-hal ini faktor paling banyak yg membuat anak tidak sekolah,” imbuhnya.

Lalu, faktor lainnya adalah tidak ada biaya sekolah 25,55%, bekerja/mencari nafkah 21,64%, merasa pendidikan cukup 9,77%, disabilitas 3,64%, sekolah jauh 2,61%, dan mengalami perundungan 0,48%.

Berdasarkan data yang sama, tercatat lebih dari 3,9 juta anak tergolong dalam kategori Anak Tidak Sekolah (ATS). Dari jumlah tersebut, sekitar 881 ribu anak mengalami putus sekolah, lebih dari 1 juta telah menyelesaikan jenjang pendidikan tetapi tidak melanjutkan, dan lebih dari 2 juta belum pernah mengenyam pendidikan sama sekali.

Lebih lanjut, Tatang mengatakan, saat ini masih terlihat kesenjangan pendidikan yang cukup besar, khususnya soal kemampuan keluarga miskin untuk mendapatkan akses pendidikan. 

“Kita melihat berbagai intervensi yang dilakukan baik BOS [Bantuan Operasional Sekolah], KIP [Kartu Indonesia Pintar], berkontribusi cukup baik namun tentu masih ada selisih yang terus kita pertajam,” tandasnya.

Kendati demikian, ia menyatakan bahwa dari tren 2022 hingga 2024 menunjukkan kesenjangan antara kelompok terkaya dan termiskin mulai menyempit, khususnya pada jenjang pendidikan dasar seperti SD dan SMP.

“Masih menonjol antara termiskin dan terkaya di tingkat SMA. Jadi challenge buat kita fokus di area beberapa yang menjadi tantangan tersendiri pada angka tidak sekolah,” pungkasnya.

Topik:

pendidikan kemendikdasmen ekonomi