Mengapa Besaran Uang Transportasi KPPS Berbeda?

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 30 Januari 2024 14:21 WIB
Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI (Foto: MI/Aswan)
Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI (Foto: MI/Aswan)

Jakarta, MI - Viral vdeo TikTok atas nama @elhasyaaa yang menyebut dirinya menerima Rp25.000 dalam pecahan Rp5.000 untuk ongkos transportasi setelah menghadiri pelantikan anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).

Dalam video berdurasi kurang dari dua menit itu, pengguna TikTok yang menurut informasi di profil akunnya berdomisili di Parung, Kabupaten Bogor, mengaku menghadiri pelantikan anggota KPPS pada Kamis (25/1).

Setelah mendapat makanan kecil, dia juga mendapat amplop berisi uang. Dalam video tersebut, dia mengaku berharap mendapatkan setidaknya Rp50.000. “Syukur-syukur cepek [Rp100.000].. [Rp] 200[000] kek,” katanya seperti dikutip Monitorindonesia.com, Selasa (30/1).

Namun, setelah dibuka, dia melihat uang pecahan Rp5.000 sebanyak lima lembar. “Memang alhamdulillah, sih. Tapi kepikiranlah, buset [...] KPPS sebegini gedenya,” lanjutnya.

Cuplikan video itu diunggah di sebuah akun X dan warganet pun ramai-ramai berkomentar. Ada yang mengatakan mereka mendapat Rp200.000 di daerah mereka, tapi ada juga yang tidak mendapatkannya sama sekali.

Akun resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Instagram sendiri dibanjiri oleh pertanyaan demi pertanyaan dari warganet mengenai besaran uang transportasi yang seharusnya diterima oleh anggota KPPS.

Pun pertanyaan-pertanyaan warganet muncul di beberapa unggahan @kpu_ri. “Tolong diperhatikan lagi dong anggota kpps di seluruh indonesia, uang transport bimtek & pelantikan masa ada yang dpt cuma 50 rb, malah ada yang gak dapet sama sekali,” tulis pengguna Instagram @_aliffffffffffff dalam salah satu unggahan KPU.

Apa Respons KPU?

Akun resmi KPU terlihat merespons dengan mengatakan bahwa uang transportasi anggota KPPS di setiap daerah berbeda karena menyesuaikan perda setempat sesuai kesepakatan dengan pemerintah setempat.

“Kalau jarak menuju lapangan atau tempat pelantikan hanya 10-15 menit tentu beda dengan yang jarak tempuhnya 49-50 menit atau lainnya. Itu salah satu indikator,” demikian tanggapan akun resmi KPU di Instagram menanggapi pertanyaan warganet lainnya atas nama @fii.youu yang mempertanyakan mengapa uang transportasi berbeda-beda di tiap daerah.

Akun resmi KPU di Instagram juga terpantau menegaskan bahwa semua anggota KPPS mendapat honor sama dalam salah satu tanggapannya kepada warganet.

Sementara itu, dua komisioner KPU, Betty Epsilon Idroos dan Yulianto Sudrajat, secara terpisah mengonfirmasi pernyataan akun resmi KPU tersebut. Sebagian dari warganet menuding adanya sunat anggaran dan jumlah tersebut kurang dari yang seharusnya.

Menurut Titi, dugaan-dugaan seperti ini harus diusut tuntas sebab perilaku tersebut adalah tindakan koruptif yang tidak bisa ditolerir. “Semua kejanggalan harus dikawal agar diusut tuntas, sebab jangan-jangan itu adalah fenomena gunung es dari dugaan skandal penyimpangan pengadaan yang lebih besar,”

Kendati demikian, Titi juga menyoroti perilaku di media sosial. “Boleh saja menyampaikan transparansi dan akuntabilitas fasilitas jabatan yang didapat kepada publik, tapi jangan sampai memicu spekulasi yang bisa mendegradasi kredibilitas dan posisi vital KPPS dalam proses pemilu,” ujar Titi.

Diketahui, KPU sejatinya sudah menaikkan honor anggota KPPS untuk Pemilu 2024 ini sekitar dua kali lipat. Gaji anggota KPPS naik menjadi Rp1.100.000 dari sebelumnya Rp500.000 pada Pemilu 2019. Ketua KPPS juga naik menjadi Rp1.200.000 dri sebelumnya sebesar Rp550.000.

Menurut Titi, besaran honor yang ada saat ini sudah sangat memadai dan layak. “Mohon juga para petugas KPPS lebih etis dalam bermedia sosial dalam mengekspos soal honor. Mereka jangan sampai seolah hanya mengejar honor yang pada akhirnya bisa membuat tergelincir pada perilaku transaksional atau korup,” ujar Titi.

“Peran mereka sangat mulia, jangan sampai membuka celah untuk rentan disogok atau disuap oknum tak bertanggung jawab. Selain ada ancaman pidana berat, perilaku tersebut juga sangat merusak kredibilitas pemilu dan demokrasi Indonesia,” imbuhnya.

Di lain pihak, menurut Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati, jumlah uang untuk para petugas yang membantu penyelenggaraan pemilu seharusnya terstandarisasi di semua daerah karena anggaran pemilu berasal dari APBN. “Jadi untuk besaran dan kapan pencairannya seharusnya seragam di semua daerah,” tegasnya.

Sementara itu Rima Baskoro, analis kebijakan publik di Rima Baskoro & Partners, mengatakan tuduhan sunat anggaran yang terjadi di lapangan itu bisa terjadi karena beberapa hal yakni kurangnya pengawasan dan transparansi, kurangnya kesadaran dan pengetahuan, dan kurangnya insentif.

“Kalau seandainya semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaan pemilu ini sudah memiliki kesadaran dan pengetahuan yang cukup bahwa proses demokrasi ini bergantung pada proses pemilu, kemudian didukung dengan insentif yang mumpuni dan dilakukan pengawasan serta transparansi, maka seharusnya [isu] pengurangan allowance atau pemotongan honor ini tidak perlu terjadi,” ujarnya.

Menanggapi kenaikan honor petugas KPPS untuk Pemilu 2024, Rima mengaku secara pribadi cukup prihatin melihat nominal dan allowance anggota KPPS saat ini meskipun sebetulnya sudah ada kenaikan untuk honor KPPS Pemilu dan Pilkada 2024. “Prihatin karena nominal kecil untuk tanggung jawab sebesar itu. Proses berjalanya demokrasi harus diimbangi dengan insentif yang baik untuk pihak-pihak yang menjalankannya di lapangan,” tandasnya. (wan)