Suka Duka Guru produktif di Salah Satu SMK Multimedia di Kawasan Jaksel: Kompetensi Guru "Dikalahkan" oleh Sistem Administratif


Jakarta, MI - Tiga tahun yang lalu (saya umur 61 tahun) melamar dan memasukkan CV di sebuah SMK Multimedia (ada dua jurusan, DKV dan Animasi) yang mencari guru mata pelajaran sketsa, di kawasan Jakarta Selatan.
Setelah melalu wawancara dan tes "micro teaching" jarak jauh oleh HRD (Jakarta-Yogya), saya diterima dengan kompetensi saya sebagai guru produktif yaitu guru mata pelajaran sketsa.
Di mana latar belakang saya adalah seorang praktisi seni , yaitu seorang kartunis/karikaturis, dan wartawan profesional dari sebuah koran bertaraf nasional.
Sudah banyak karya saya bukukan (kira-kira ada sekitar lima buku). Saya sampai sekarang pun juga masih aktif sebagai seorang kartunis dan jurnalis , juga sebagai pemimpin redaksi di sebuah media online cukup terkenal di Jakarta, hingga sekarang.
Sebagai seorang kartunis/karikaturis, tentu saja saya harus "bagus" dalam membuat karya sketsa. Maka dari itu saya diterima sebagai guru sketsa dengan latar belakang praktisi seni dari tiga tahun yang lalu. Sejak awal saya bilang kalau saya agak "gaptek", pihak sekolah pun menyatakan tidak apa-apa, karena mengajar sketsa secara manual.
Seorang praktisi seni, yaitu orang yang punya kemampuan di bidang seni, apa pun. Sehingga kalau menjadi guru, tentu menyukai hal-hal yang praktis dalam menyampaikan ilmunya kepada siswa, yang penting adalah guru tersebut punya pengalaman, kompetensi dan wawasan bidang seni tersebut dengan jelas, bukan abal-abal atau sekedar memenuhi syarat administratif saja.
Bahkan guru yang hanya taat administratif belum tentu punya kompetensi, atau belum tentu karyanya berkualitas bagus. Atau malah tidak punya karya ? alias nol besar.
Esensinya adalah materi ilmu yang disampaikan oleh guru yang berlatar belakang praktisi seni tersebut, sampai bisa dimengerti dan dipahami oleh para siswanya dengan baik, apalagi karena tercipta komunikasi yang baik dan tidak ribet.
Seorang guru yang berangkat dari seorang praktisi seni, pada umumnya suka dengan hal-hal yang praktis simpel, tidak bertele-tele. Karena dengan pengalaman, wawasan dan kompetensi yang dipunyai selama berpuluh-puluh tahun, dan ada karya - karya nyata, itu modal utamanya.
Bahkan tidak perlu modul ajar pun, (ini bukan sebuah pembenaran), sebetulnya kemampuan dalam mengajar pun sudah nyata bisa dilihat kasat mata. Apalagi didasari ilmu komunikasi dalam mengajar yang sangat baik, apalagi juga saya seorang wartawan yang mempunyai "public speaking" lumayanlah, tidak memalukan. Hal ini bahkan malah banyak disukai oleh para siswa.
Suka dan Duka
Saya sebagai guru produktif selama tiga tahun ini (berakhir 30 Juni 2025) dengan tidak diperpanjang karena alasan umur dan alasan teknis lainnya.
Dari awal, saya sebagai guru punya prinsip: "Yang positif saya dukung, yang negatif saya tidak akan dukung, kalau ada yang main"politik" akan saya lawan." Ini saya berulang katakan di forum resmi, di briefing yang diadakan setiap pagi.
Saya meski pun asli orang Yogya, saya tak sungkan untuk mengatakan yang benar benar, yang salah salah, apalagi saya sudah lama kerja hijrah ke Jakarta sejak 1989 sebagai kartunis dan jurnalis hingga 2016, karakter saya terbentuk dari profesi saya selama itu.
Memang saya termasuk guru yang blak-blakan dan vokal kepada murid mau pun kepada sesama guru. Kalau saya mengajar di depan siswa, saya selalu sisipkan humor agar siswa tidak bosan atau tidak ngantuk, ("sersan", serius tapi santai) dan mereka suka ternyata.
Meski pun kelihatan sepele, tetapi hal ini membuat saya sangat dekat dengan para siswa, orang tua siswa pun gayung bersambut. Di Grup orang tua murid pun (karena saya juga mengajar kelas XII jurusan DKV) hingga saya sudah pensiun menjadi guru, saya tidak boleh "left" di group WA, karena memang ada komunikasi baik ada kedekatan secara emosional dan familier.
Semua hal di atas membuat saya suka dan sangat menyenangkan. Hal ini tentu buka sekadar kebetulan, tetapi hubungan harmoni ini memang diciptakan kedua belah pihak.
Untuk yang rasa dukanya pun pasti juga ada. Ini manusiawi.Sebagai salah satu guru di dewan guru SMK tersebut, saya termasuk salah satu guru yang vokal dan berani kritik keras kepada pucuk pimpinan dan guru-guru yang ada di manajeman, manakala memang keputusan-keputusannya tidak benar dan terlihat "aneh-aneh" atau mengada - ada, atau ada kepentingan "politis" di balik skenario untuk kepentingan kelompok tertentu.
Hal ini bisa saya rasakan, kepekaan seseorang bisa dilatih.Karena pengalaman jam kerja saya yang sudah puluhan tahun di perusahaan besar media cetak di masa itu, yang sangat kental dengan kerja sama (team work) selama 25 tahunan, saya tentu banyak makan "asam garam" dan pemikiran nalar kritis mau pun analisa yang berdata, kepekaan indera ke enam pun kadang saya sangat peka.
Apalagi saya seorang kartunis dan jurnalis yang sudah 25 tahunan kerja malang melintang, tentu saya bukan "anak ingusan kemarin sore" yang baru berkiprah. Saya bukan gila hormat, bukan untuk minta dihormati, tetapi minta diperlakukan yang benar dan adil saja. Sebagai praktisi seni , saya juga pernah mengajar di Penabur Bintara Jaya, Tangsel dan Modernland Tangerang.
Di SMK Multimedia yang tempat saya mengajar, ada studi kasus misalnya begini: Pimpinan dan guru-guru di manajeman secara prerogatif sudah menyusun nama-nama kepanitiaan dalam sebuah ivent sekolah, tetapi karena komunikasi mereka ke dewan guru sangat buruk, maka daftar kepanitiaan tersebut tidak kunjung dipajang di tempat pengumuman ruang guru. Entah ini disengaja atau tidak disengaja?
Tetapi feeling saya mengatakan ini jelas ada kesengajaan untuk tidak dipajang. Sehingga banyak guru tidak pernah tahu siapa-siapa yang ada di susunan kepanitiaan tersebut. Kenapa pimpinan manajerial komunikasinya sangat buruk?
Padahal yang namanya komunikasi itu bukan hanya saling bicara verbal saja, tetapi memasang sebuah susunan kepanitiaan, itu juga jelas sebuah komunikasi, antara pimpinan dan dewan guru. Pertanyaan yang sangat mendasar.
Kenapa sengaja tidak dipasang di tempat pengumuman di ruang guru ? Tidak pernah ada jawaban yang jujur dari pimpinan. Padahal hal yang sangat penting untuk menjalin sebuah komunikasi baik kepada dewan guru, modal utama ya sebuah kejujuran dan keterbukaan. Tanpa dikritik pun seharusnya daftar panitia setiap ivent sekolah , sewajarnya ya harus dipajang, agar dewan guru bisa membaca dan tahu siapa saja kawan kita yang ada dalam susunan panitia tersebut.
Hal ini bukan bawahan "mengatur" pimpinan, tetapi masukan baik dari guru yang justru membangun komunikasi yang baik Dalam hal kasus sepele ini saja , pimpinan sangat disayangkan, dan memalukan sekali. Pimpinan kok tidak suka dengan keterbukaan dan kepentingan bersama ? Ada apa ini ? Saya pikir ada guru lain juga yang merasakan, tetapi mereka tidak berani bicara. Kejadian ini sudah banyak berulang kali, dan saya selalu kritisi berulang kali juga dengan tajam. Seharusnya jajaran pimpinan punya rasa malu.
Karena saya mengritik demi kebaikan bersama, bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Kasus tersebut, jajaran pimpinan dan guru manajeman sudah berulang kali tidak memasang daftar kepanitiaan dalam ivent tertentu, itu patut di duga mereka bermain "politik" . Bukankah di balik tidak dipasangnya susunan panitia ada sebuah kepentingan kelompok?
Masa hal begini saja pimpinan tidak punya rasa kepekaan? Misal: Melindungi sebuah atau beberapa nama orang yang selalu ada tercantum tertulis dalam hampir semua kepanitiaan ivent. Tetapi pimpinan tidak pernah mengakuinya, cenderung malah menutupinya. Kan parah ? bahkan ada seorang pimpinan menolak kalau dikatakan bermain politik, kan konyol?
Dengan tidak memasang info susunan kepanitiaan, itu sudah sangat politis banget. Itu pun juga tidak pernah disebutkan alasan mengapa daftar kepanitiaan selalu tidak dipasang ? Aneh bin ajaib memang. Pimpinan yang kurang menguasai ilmu leadership dan ilmu komunikasi yang baik dengan bawahan.
Pimpinan yang tidak "merangkul", tetapi malah membuat "gap" merusak kebersamaan. Setidaknya hal ini membuat saya "berduka" sangat dalam dan prihatin. Memang sangat jarang ada pemimpin dalam kinerjanya dengan jujur mengakui kesalahan dalam sikap dan pemikirannya kepada bawahan. Abraham Lincoln pernah mengatakan :"...kalau mau tahu karakter seseorang, berilah mereka kekuasaan".
Ini sangat benar banget. Pimpinan yang tidak pernah mengakui kesalahannya, atau misalnya anti kritik yang membangun atau anti masukan dari bawahan. Hal ini kalau dibiarkan berlarut-larut bisa mengarah kepada pimpinan yang bersifat otoriter, sekarep sendiri. Apakah ini suatu bentuk pimpinan yang menerapkan "like and dislike" ?. Apakah maunya mereka, bawahan harus menuruti kehendak pimpinan? seperti diciptakan barisan bebek - bebek" Kwek..Kwek.. Kwek...mau tidak mau ya harus nurut keputusan pimpinan ? Kreativitas dan pemikiran kritis kemudian bisa-bisa dibungkam, yang nurut akan "selamat" yang vokal akan " celaka". Kalau hal ini terjadi, walahualambisawab, masa depan sekolah lambat laun akan "ambyar" pada waktunya....
Di hari terakhir saya masuk, sebelum saya pamitan pensiun ada diadakan rapat darurat oleh pimpinan, karena tulisan saya yang membuat jajaran di pimpinan marah.
Karena saya juga marah. Kritik saya sangat keras dalam tulisan " suara pembaca". Karena menyangkut nama baik institusi sekolah SMK Multimedia tersebut , saya " mengalah" dengan catatan "win-win solution". Berita saya putuskan " takedwon", dan saya juga minta nilai kondikte saya diperbaiki, agar adil.
Kenapa saya menulis kritik keras? Saya juga marah besar (bukan karena saya tidak diperpanjang kontrak, tidak !!!) tetapi kompetensi saya sebagai guru seni tidak dipandang sama sekali.
Kompetensi saya sebagai guru seni "dikalahkan" dan dinilai lebih jelek dari pada guru produktif yang baru setahun mengajar, dan yang rajin mengisi RPP (modul ajar).
Bahkan pimpinan mengatakan :" Kalau guru rajin mengisi modul ajar, dipastikan nilainya bagus/A"). Padahal guru baru tersebut karyanya saja tidak jelas, saya curigai ada unsur "like and dislike" (boleh dong saya curiga, karena ada keanehan).
Keprofesioanlitas atau kompetensi saya yang berkarya seni sebagai praktisi seni puluhan tahun tidak dilihat sama sekali. Hal ini saya protes keras dan memantik kemarahan saya untuk membuat tulisan "suara pembaca tersebut".
Karena saya menjadi kurban ketidak adilan dari pimpinan, bahwa pimpinan saya nilai "ngawur" dan tidak objektif dalam memberi penilaian. Meski pun akhirnya pimpinan merubah nilai kondikte saya dinaikkan menjadi lebih baik dari sebelumnya, tetapi hal ini menimbulkan "luka" yang cukup dalam pada saya. Di lain pihak, bisa dipastikan wawasan pimpinan pada bidang seni sangat kurang atau tidak ada sama sekali. Ini sangat membuat saya duka dan prihatin.
Semoga tulisan saya ini bisa membuka dan menambah inspirasi kepada para guru seni ( praktisi seni), jangan pernah mau "dikecilkan" atau "dikalahkan" dengan guru lain yang hanya patuh dan taat pada administratif saja, tetapi karyanya nol besar.
Juga sebagai mawas diri/ introspeksi para pimpinan SMK di mana pun berada, manakala memimpin SMK, yang ada jurusan bidang seni, itu tidak sama dengan memimpin sebuah SMA pada umumnya. Sangat beda.
Setidaknya pimpinan bisa menambah wawasan seninya semakin luas. Ibarat seorang rektor sebuah Institut Seni Indonesia, ya bisa dipastikan rektor tersebut bisa memahami masalah seni apa pun, tidak sekadar manajerial administratif saja.
Bahkan malah ada yang seorang rektor tetapi juga merangkap seniman, karena rektor tersebut berkarya seni.
Semua orang berhak menuliskan pengalaman dan suka duka apa pun, dalam bekerja di mana pun, karena ini hak setiap orang untuk menuliskannya di media sosial atau pun media online. Bahkan tulisan ini sangat terbuka untuk menjadi sebuah dialog yang positif dan komunikatif.
Pemimpin yang baik adalah memimpin dengan kebijaksanaan, bukan memimpin dengan kekuasaan yang kecenderungannya malah bisa menindas.
[Mantan guru produktif di sebuah SMK Multimedia, Jurusan DKV dan Animasi di Jakarta Selatan]
Topik:
Guru SMK Multimedia Jaksel JakartaBerita Terkait

Pramono Anung Dukung Penyegelan Lahan Parkir Ilegal di Jakarta
18 September 2025 14:42 WIB

Wisatawan Malaysia Dominasi Penumpang Whoosh, KCIC Catat Lonjakan 750 Orang per Hari
4 September 2025 13:42 WIB

Pemprov DKI Siap Cabut KJP Plus dan KJMU Bagi Pelajar Anarkis saat Demo
2 September 2025 16:52 WIB