Petani Menyumbang PDB Tertinggi, Apakah Ini Berbanding Lurus dengan Kesejahteraan Petani?


Jakarta, MI - Untuk pertama kalinya dalam sejarah, sektor pertanian menjadi penyumbang terbesar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.
Menteri Pertanian Amran Sulaiman menyebut capaian ini sebagai “rekor tertinggi sepanjang masa,” dengan stok beras nasional di gudang Bulog mencapai 4,2 juta ton—jumlah yang diklaim tertinggi sejak Indonesia merdeka.
Produk Domestik Bruto (PDB) sendiri merupakan nilai total seluruh barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara dalam periode tertentu.
Ia sering dijadikan indikator utama pertumbuhan ekonomi.
Namun, kenaikan PDB tidak selalu berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi bisa saja tinggi, tetapi manfaatnya tidak merata, terutama bagi mereka yang bekerja di sektor primer seperti pertanian.
Capaian ini, tentu saja, patut diapresiasi. Di tengah gejolak ekonomi global, sektor pertanian kembali membuktikan ketangguhannya.
Namun di balik kebanggaan itu, muncul pertanyaan mendasar: apakah meningkatnya kontribusi pertanian terhadap PDB benar-benar mencerminkan peningkatan kesejahteraan petani?
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Nilai Tukar Petani (NTP) nasional pada September 2025 berada di angka 115,30.
Secara teknis, angka di atas 100 menunjukkan bahwa pendapatan petani lebih besar dibanding pengeluarannya.
NTP adalah rasio antara harga yang diterima petani dari hasil produksinya dengan harga yang dibayar untuk kebutuhan hidup dan biaya produksi.
Namun, NTP yang tinggi secara agregat belum tentu mencerminkan kesejahteraan yang merata.
Banyak petani di lapangan justru mengeluhkan hasil panen yang tidak cukup untuk menutupi biaya produksi yang terus meningkat.
Dengan kata lain, angka statistik belum tentu sejalan dengan realitas hidup di sawah.
Salah satu faktor yang paling membebani petani saat ini adalah mahalnya harga pupuk.
Meskipun Kementerian Pertanian mengklaim distribusi pupuk bersubsidi berjalan lancar, kenyataan di lapangan sering kali berbeda. Pupuk nonsubsidi seperti Urea dan NPK kini dijual antara Rp400.000 hingga Rp550.000 per kuintal—naik hampir dua kali lipat dibanding periode sebelum pandemi (Data HPP Pupuk Kementan, 2025).
Persoalan pupuk bukan lagi soal ketersediaan, melainkan keterjangkauan harga.
Petani kecil dengan lahan sempit—rata-rata hanya 0,3 hektar menurut Sensus Pertanian BPS 2023—terpaksa mengurangi dosis pemupukan untuk menekan biaya, yang pada akhirnya menurunkan produktivitas dan kualitas hasil panen.
Selain pupuk, biaya sewa alat produksi juga terus melonjak. Survei Dinas Pertanian di beberapa sentra padi menunjukkan bahwa sewa traktor tangan kini berkisar Rp250.000 hingga Rp300.000 per petak sawah (0,1 hektar), sementara biaya panen dengan combine harvester bisa mencapai Rp2 juta per hektar.
Akibatnya, margin keuntungan petani semakin menipis. Saat harga gabah di tingkat petani hanya sekitar Rp6.000 per kilogram, harga beras di pasar telah menembus Rp16.000 hingga Rp17.000 per kilogram (Bapanas, September 2025).
Kesenjangan nilai tambah yang lebar ini menunjukkan bahwa pihak yang paling menikmati keuntungan bukanlah petani, melainkan rantai distribusi dan pelaku industri penggilingan.
Keberhasilan makro seperti stok beras tinggi dan kontribusi PDB yang meningkat memang penting. Namun, indikator utama pembangunan pertanian seharusnya adalah kesejahteraan petani.
Untuk memahami konteks ini, BPS menggunakan dua alat ukur: Nilai Tukar Petani (NTP) dan Survei Kesejahteraan Petani (SKP).
NTP menggambarkan daya beli petani, sedangkan SKP menilai dimensi yang lebih luas, seperti pendapatan, pendidikan, kesehatan, standar hidup, ketahanan pangan, dan mitigasi risiko.
Berdasarkan data BPS 2024, standar biaya hidup nasional rata-rata hanya sekitar Rp1,02 juta per kapita per bulan, atau Rp12,34 juta per tahun. Angka ini menggambarkan pengeluaran minimal untuk kebutuhan dasar, bukan standar hidup yang layak.
Di lapangan, terutama di wilayah pedesaan, pendapatan petani kecil sering kali jauh di bawah angka tersebut, terlebih bila dihitung berdasarkan hasil bersih setelah dikurangi biaya produksi yang terus meningkat.
Dengan kondisi demikian, sulit menyimpulkan bahwa kontribusi besar pertanian terhadap PDB berarti petani hidup lebih sejahtera.
Selama kebijakan pertanian masih berorientasi pada peningkatan produksi semata, sementara struktur pasar tetap tidak adil, maka capaian “rekor” hanya menjadi kebanggaan statistik, bukan kesejahteraan riil.
Pemerintah perlu menata ulang arah kebijakan agar benar-benar berpihak kepada petani kecil—menurunkan biaya produksi melalui subsidi alat dan mekanisasi, memastikan subsidi pupuk tepat sasaran, membangun rantai pasok yang adil melalui koperasi dan BUMDes pangan, serta menjamin harga dasar gabah yang layak dan stabil di tingkat petani.
Kontribusi sektor pertanian terhadap PDB boleh saja menjadi yang tertinggi dalam sejarah. Namun selama petani masih menanggung biaya produksi yang tinggi, terjerat harga jual yang rendah, dan kehilangan kendali atas alat produksi, maka capaian tersebut belum bisa disebut keberhasilan sejati.
Pertanian seharusnya tidak hanya menjadi penyumbang ekonomi negara, tetapi juga menjadi sumber kesejahteraan yang berdaulat bagi mereka yang menanam, memanen, dan memberi makan bangsa ini.
[Yoseph Heriyanto - Pengamat Kebijakan Publik]
Topik:
PetaniBerita Sebelumnya
Hak Jawab Amelia Anggraini soal Pemberitaan Dugaan Korupsi PMT
Berita Selanjutnya
Gelar Konser Babyface, BRI Hadirkan Pengalaman Musik Kelas Dunia
Berita Terkait
![BRI Dukung Program Sapi Merah Putih, Dorong Swasembada Pangan Nasional BRI Dukung Program Sapi Merah Putih [Foto: Doc. BRI]](https://monitorindonesia.com/index.php/storage/news/image/bri-program-sapi-merah-putih.webp)
BRI Dukung Program Sapi Merah Putih, Dorong Swasembada Pangan Nasional
30 Agustus 2025 10:56 WIB

Bank Mandiri Wirausahakan Petani Kebumen untuk Ketahanan Pangan Nasional
14 Agustus 2025 12:50 WIB

Diserbu Tikus, Prabowo Siap Kirim 1.000 Burung Hantu ke Sawah Petani
7 April 2025 16:03 WIB