Mari Membantu Kejaksaan Agung dan Kejati Sumut: Daftar Tanah Eks PTPN II yang Diperjualbelikan dengan Menabrak Hukum

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 3 November 2025 6 jam yang lalu
Iskandar Sitorus (Foto: Dok MI/Istimewa)
Iskandar Sitorus (Foto: Dok MI/Istimewa)

Oleh Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW)

Tanah negara dijual, rakyat ditinggalkan

Tanah adalah nyawa bangsa. Namun di Sumatera Utara, ribuan hektare tanah eks-HGU milik (dahulu) PT Perkebunan Nusantara II (PTPN II) yang seharusnya dikembalikan ke negara untuk program reforma agraria (TORA), justru berpindah tangan.

Modusnya beragam, mulai dari jual-beli terselubung, kerja sama operasional fiktif, hingga transaksi notarial yang tidak transparan. Semua dilakukan tanpa dasar hukum sah, bahkan menabrak regulasi agraria dan keuangan negara.

Cukup sudah permainan di balik meja!

Kini, Kejaksaan Agung telah melimpahkan/supervisi kasus ini ke Kejati Sumut. Sudah saatnya publik ikut membantu dengan membuka daftar tanah eks-HGU yang dijual atau dialihkan secara melawan hukum oleh PTPN II.

Peran masyarakat bukan sekadar dukungan moral, tapi bagian dari gerakan nasional penyelamatan tanah negara dan implementasi nyata Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) di Sumatera Utara.

Indikasi sistemik pengalihan tanah negara

Laporan analitis ini menunjukkan indikasi kuat pengalihan aset TORA dari eks-HGU PTPN II. Laporan ini disampaikan ke Kepala Kejati Sumut agar proses penegakan hukum berjalan tersebut komprehensif/sempurna.

Kita tahu, Kejati Sumut sedang berupaya menyelamatkan kerugian negara. Namun di sisi lain, Kejati juga merupakan bagian dari Tim GTRA Provinsi Sumatera Utara bersama Gubernur.

Kedua posisi ini menempatkan Kejati Sumut dalam peran strategis, yaitu sebagai penegak hukum sekaligus pelaksana reforma agraria.

Tanah negara yang jadi komoditas

Tanah eks-HGU PTPN II adalah aset negara. Karena belum diredistribusi dengan seharusnya. Namun di lapangan, tanah-tanah tersebut berubah menjadi komoditas bisnis, yakni dijual, disewakan, bahkan dialihkan tanpa dasar hukum yang sah. Padahal, tanah-tanah itu adalah objek reforma agraria yang seharusnya didistribusikan kepada rakyat.

Laporan ini disusun berdasarkan dokumen otentik, LHP BPK, dan akta notaris, yang menunjukkan indikasi pelanggaran hukum sistemik dan kerugian negara triliunan rupiah.

Audit BPK: polanya konsisten, pelakunya berulang

BPK sejak 2008 telah mencatat pola penyimpangan pengelolaan tanah eks-HGU PTPN II secara konsisten:

1. LHP 2008 (No. 26/LHP/XVIII.MDN/12/2008)
Ditemukan 2.150 ha HGU dikuasai pihak ketiga tanpa dasar hukum.
2. LHP 2016 (No. 18/LHP/XVIII.MDN/03/2016)
Penyewaan 1.500 ha tanpa izin, potensi kerugian Rp1,8 triliun.
3. LHP 2021 (No. 23/LHP/XVIII.MDN/06/2021)
Sebanyak 1.243 ha HGU aktif terbengkalai.
4. LHP 2023 (No. 07/LHP/XVIII.MDN/04/2023)
Pengalihan tanah ke pengembang tanpa tender, nilai potensi kerugian mencapai Rp3,4 triliun per tahun.


Kesimpulan audit tersebut jelas, yakni terdapat pola sistematis penguasaan dan pengalihan tanah negara tanpa dasar hukum, dilakukan berulang oleh pengurus PTPN II dan pihak-pihak terafiliasi.

Bukti transaksi yang tak terbantahkan

Contoh konkret dapat dilihat saat jual-beli Persil 53, di Desa Tanjung Sari, Kecamatan Batang Kuis (3.650 m²):

A. Transaksi pertama: PTPN II menjual tanah kepada Hasanul Arifin Daulay, seorang buruh tani, melalui Akta Pelepasan Hak No. 41 (21 Maret 2022) yang dibuat oleh Notaris Muhammad Arif Fadillah, S.H. Pihak PTPN II diwakili oleh Syahriadi Siregar, dengan dasar SK Gubernur Sumut No. 188.44/552/KPTS/2021. Harga jualnya: Rp1.192.950.000.

Pertanyaannya sederhana:
Bagaimana mungkin seorang buruh tani memiliki dana sebesar itu untuk membeli tanah dari PTPN II? Semua pihak yang terlibat, PTPN II, notaris, Hasanul, hingga pejabat provinsi, harus diperiksa Kejati Sumut.

B. Transaksi kedua (37 hari kemudian): Hasanul menjual tanah yang sama kepada Raden Polfan, menggunakan notaris dan saksi yang sama, dengan harga naik hanya Rp5 juta (Akta No. 30, 27 April 2022). Transaksi secepat ini dengan notaris yang sama jelas tidak wajar dan berpotensi melanggar prinsip kehati-hatian hukum.

Kejati dapat dengan mudah menelusuri alur uang dari Hasanul ke rekening PTPN II dan dari Polfan ke Hasanul. Apakah benar transaksi itu nyata atau hanya simulasi? Bagaimana pula dengan pajaknya?

C. Kasus Pemkab Deli Serdang (Bandar Klippa): Pemkab mengaku telah membayar tanah eks-HGU seluas 3 hektare ke PTPN II, berdasarkan keterangan pada SP.Lidik/275.a/VIII/2025/Ditreskrimsus dan SP.Gas/978.a/VIII/2025/Ditreskrimsus (25 Agustus 2025). Namun, tanah tersebut kini dikuasai pihak warga penggarap. Ini tentu bukan sekadar maladministrasi, tapi indikasi korupsi atas aset negara.

D. Nama-nama yang berulang: Di eks kebun Bandar Klippa, muncul nama-nama seperti Alwi SH, Alwi Juanda, dan Raden Polfan. Mereka mengklaim telah membayar SPS dan bahkan menembok lahan secara permanen.

Kejati Sumut tentu punya kapasitas penuh untuk menelusuri mereka, karena fakta di lapangan sudah terang-benderang.

Daftar awal tanah eks-HGU yang diduga diperjualbelikan

1. Tanjung Morawa – ±553 Ha dijual ke pengembang properti (harusnya jadi objek TORA).
2. Helvetia dan Labuhan Deli – ±320 Ha berubah jadi kawasan komersial tanpa pelepasan HGU.
3. Deli Tua dan Percut Sei Tuan – ±400 Ha lewat “kerja sama” semu yang ujungnya jual beli.
4. Patumbak, Sunggal dan Batang Kuis – ±200 Ha, pola mirip Persil 53, via notaris.
5. Bekas Kebun Helvetia – ±140 Ha dijual ke Ciputra Group dan afiliasi, diklaim bukan objek reforma agraria.
6. Bandar Klippa – ±360 Ha dilego lewat badan afiliasi, padahal HGU-nya tidak boleh diperpanjang sesuai rekomendasi Pansus DPR RI 2004.
7. Bekas Kebun Tuntungan – ±180 Ha berubah jadi kawasan perumahan elit tanpa izin BUMN.

Total indikasi tanah negara yang dijual: lebih dari 2.000 hektare.

Indikasi pelanggaran hukum

Dari seluruh pola di atas, terdapat dugaan pelanggaran terhadap:

1. UU No. 5 tahun 1960 (UUPA) Pasal 28 dan 34 – pengabaian fungsi sosial tanah.
2. PP No. 40 tahun 1996 – pelanggaran pengembalian HGU yang telah berakhir.
3. Perpres No. 86 tahun 2018 – pengabaian prioritas TORA untuk tanah eks-HGU.
4. Permen ATR/BPN No. 7 tahun 2021 – penyalahgunaan pengelolaan aset BUMN.
5. UU Tipikor (31/1999 jo. 20/2001) - penyalahgunaan wewenang dan kerugian keuangan negara.

Mari kita bongkar bersama

IAW yakin daftar ini belum lengkap. Maka kami mengajak masyarakat Sumatera Utara untuk turut melaporkan tanah-tanah eks-HGU PTPN II yang diduga dijual secara ilegal melalui:

1. Saluran resmi Kejati Sumut
2. Layanan pengaduan Polda Sumut
3. Komunitas Cinta Tanah Sumatera (CTS) dan Advokat Publik dengan kontak:
- Muhammad Amin – 0813-7618-8700
- Franjul M. Sianturi, S.E., S.H. – 0813-6232-8434
- Famati Gulo, S.H., M.H. – 0813-6104-9739

Semakin banyak laporan masyarakat, semakin panjang daftar pelaku yang bisa disidik oleh Kejati Sumut.

Rekomendasi penindakan hukum

1. Penyidikan komprehensif terhadap seluruh transaksi tanah eks-HGU PTPN II periode 2000–2024.
2. Pemanggilan Direksi PTPN II, notaris/PPAT, dan penerima alih hak.
3. Pengawasan khusus terhadap proses pelepasan hak & KSO PTPN II.
4. Koordinasi dengan Kementerian BUMN & ATR/BPN untuk pengembalian aset ke negara.
5. Pembentukan Tim Khusus GTRA atas rekomendasi Kejati Sumut guna menampung laporan publik sekaligus memberi rasa adil bagi masyarakat penggarap tanah negara.

Waktunya Kejati Sumut membuktikan

Bukti sudah di tangan. Yang dibutuhkan kini hanyalah keberanian menegakkan hukum tanpa pandang bulu.

Kita percaya Kejati Sumut mampu:

1. Menyelamatkan kembali aset negara,
2. Menjerat pelaku, baik korporasi maupun individu,
3. Memulihkan kerugian negara, TPPU dan
4. Menjadikan kasus ini preseden nasional penyelamatan tanah negara.

Tanah bukan komoditas. Tanah adalah mandat konstitusi, dan mandat itu tidak boleh dijual.

Topik:

PTPN II