Telisik Temuan BPK Pengadaan EDC Telkom kini Diusut KPK


Jakarta, MI - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mengembangkan penyidikan kasus dugaan korupsi digitalisasi SPBU Pertamina-Telkom tahun 2018-2023 sebelum pada akhirnya menetapkan dan menahan para tersangka. Pun, KPK yang masih terus berkutat pada pemeriksaan saksi-saksi.
Dalam perkembangan penyidikan kasus ini, mencuat dugaan penyimpangan dalam proses pengadaan perangkat Electronic Data Capture (EDC) oleh PT PINS Indonesia melalui PT Telkom.
Lewat kesaksian Manager Sinergy Group PT PINS Indonesia 2018-2020 berinisial BTP dan Sales Engineer 3 PT PINS Indonesia periode 2018-2020 berinisial AH pada Rabu (23/7/2025) kemarin, sepertinya KPK telah mengantongi bukti-bukti dugaan rasuah tersebut. "Didalami pengetahuan yg bersangkutan terkait proses pengadaan EDC di Telkom oleh PT PINS," kata jubir KPK Budi Prasetyo.
Soal apakah KPK akan membuka penyidikan baru ihwal perkembangan kasus tersebut. Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu saat dikonfirmasi Monitorindonesia.com, Jumat (25/7/2025) menyatakan bahwa penyedia barang dalam proyek digitalisasi SPBU itu sangat dibutuhkan keterangannya.
"Memang penyedia barangnya ada irisan," singkat Asep tanpa menjelaskan lebih rinci.
Sementara Assistant Vice President External Communication PT Telkom Indonesia, Sabri Rasyid, saat dikonfirmasi Monitorindonesia.com, Jumat sore
menyatakan bahwa pihak PT Telkom berkomitmen penuh dan siap bekerja sama dengan pihak yang berwenang yakni KPK.
"Perseroan menghormati proses hukum yang sedang berjalan, serta akan mematuhi setiap ketentuan dan prosedur yang ditetapkan oleh aparat penegak hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku," kata Sabri.
Kembali kepada pernyataan Jubir KPK, Budi. Bahwa KPK saat ini tengah mendalami dugaan pengondisian-pengondisian pihak tertentu dalam memenangkan proyek yang cetuskan di era eks Dirut Telkom Alex J Sinaga, Eks Pertamina Nicke Widyawati hingga eks Menteri BUMN Rini M. Soemarno itu.
"Apakah ada pengondisian-pengondisian yang dilakukan untuk mengatur agar pihak tertentu bisa memenangkan proyek pengadaan digitalisasi tersebut,” kata Budi.
Budi menambahkan, pemeriksaan dilakukan untuk mengungkap secara menyeluruh bagaimana proses pengadaan berlangsung, termasuk kemungkinan adanya rekayasa dalam penunjukan pemenang tender. "Untuk detail pemeriksaan hari ini, nanti akan kami sampaikan lebih lanjut," jelasnya.
Pemeriksaan terhadap mantan pejabat PT PINS ini wajar saja dilakukan KPK. Sebab PT PINS disebut KPK sebagai pihak yang menyediakan EDC tersebut di atas.
Di lain sisi, berdasarkan catatan Monitorndonesia.com, bahwa di Kantor Kementerian BUMN, Jakarta pada Jumat (31/8/2018) silam telah terjadi penandatanganan proyek digitalisasi SPBU yang dilakukan oleh Direktur Pemasaran Retail Pertamina Mas’ud Khamid dan Direktur Enterprise & Business Service Telkom Dian Rachmawan. Turut disaksikan oleh Menteri BUMN Rini M. Soemarno; Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar; Kepala BPH Migas M. Fanshrullah Asa; Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati; Direktur Utama Telkom Alex J. Sinaga. Sebagian dari mereka telah diperiksa KPK belum lama ini.
Adapun pengusutan kasus dugaan rasuah ini tidak terlepas daripada temuan-temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI. Jika merujuk pada Hasil Pemeriksaan Kepatuhan atas Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Tahun Buku 2017 sampai dengan 2019 (Semester I) dan hasil pemeriksaan kepatuhan PT Telkom Tahun 2020 sampai dengan 2022 (Semester I), proyek digitalisasi SPBU tersebut telah menjadi temuan auditor negara tersebut, adalah sebagai berikut:
Temuan BPK 2017-2019
Pada temuan ke 10, BPK menyatakan bahwa perencanaan dan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pekerjaan digitalisasi SPBU belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan.
Kesepakatan antara PT Telkom dengan PT Pertamina (Persero) atau Pertamina yang dituangkan dalam Nota Kesepahaman Nomor K.Tel.80 HK.840 UTA-00 2017 tanggal 17 April 2017 meliputi rencana kerjasama dalam rangka mendukung Pertamina menjadi perusahaan kelas dunia yang berbasis digital (Digitalisasi Pertamina).
Perwujudan dari nota kesepahaman antara PT Pertamina dan PT Telkom adalah disepakatinya kerjasama digitalisasi SPBU yang dituangkan dalam Perjanjian pokok antara PT Pertamina dan PT Telkom tentang kerjasama_ digitalisasi SPBU Pertamina’ Nomor K.TEL.46/HK.810/COP-G0000000/2018 tanggal 31 Agustus 2018.
Rincian perjanjian pokok tersebut, selanjutnya dituangkan dalam perikatan implementasi pekerjaan digitalisasi yang dilakukan sebagai jasa kontrak berlangganan sesuat peryanyian Nomor SP12/C00000/2019-SO tanggal 18 April tahun 2019.
Nilai investasi yang direncanakan olch PT Telkom, berdasarkan dokumen bill of quantity yang menjadi lampiran perjanjian pengadaan digitalisasi SPBU Pertamina Nomor SP-12/C00000/2019-SO tanggal 18 April 2019 adalah maksimum Rp3.626.658.426.756.
Nilai tersebut diperoleh berdasarkan perhitungan biaya OTC sebesar Rp2.838.092.914.775 ditambah biaya support sebesar Rp788.565.511.981. Atas nilai tersebut, Telkom memproyeksikan keuntungan & misiko (margin) sebesar 5% atau sebesar Rp181.332.921.338 berdasarkan parameter perhitungan atas bunga/tahun sebesar 9,75%, inflasi/tahun 4%, backup 3%, dan nilai kurs USD Rp14.660.
Untuk memenuhi kebutuhan implementasi digitalisasi SPBU. PT Telkom melaksanakan pekerjaan dalam beberapa kontrak yang dikerjakan oleh beberapa anak perusahaan PT Telkom.
Berdasarkan daftar kontrak yang diperoleh selama pemeriksaan, diketahui investasi Telkom untuk kontrak pekerjaan yang terkait dengan digitalisasi SPBU adalah sebesar Rp1.298.256.544.428
Hingga tanggal 31 Desember 2019, pemeriksaan belum memperoleh kontrak nomor K. TEL.004898/HK.180/OPS-10000000/2019 antara Telkom dan PT Sigma Cipte Caraka, sehingga nilai kontrak tersebut dapat dicantumkan pada tabel di atas.
Dan kontrak-kontrak di atas, pemeriksa memperoleh data status penyelesian dan pombayaran per November 2019 dari Telkom:
Berdasarkan data rekaptulasi penyelesaian pekerjaan yang disampakan PT Tefkom pada pemeriksa, diketahu per 06 Desembeer 2019 nalai realisasi pekerjaan yang sudah selasai (BAST) antara PT Telkom dan mita (anak perusahaan yang ditunjuk sebagai pelaksana pekerjaan) adalah Rp824.871.852.452, sedangkan nilai total investasi keseluruhan adalah Rp1.450.841.674.983.
Atas pekerjaan yang terlambat diselesaikan, di dalam kontrak ditetapkan denda sebesar 2% dari total nilai pekerjaan untuk tiap hari keterlambatan atau maksimum sebesar 10% dari nilai total pekerjaan.
Hingga 31 Desember 2019, dokumen amandemen kontrak atas pekerjaan yang sudah melewati waktu perjanjian belum diperoleh oleh Pemeriksa.
Terhadap amandemen kontrak penundaan penyelesaian pekerjaan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang diperbolehkan dalam kontrak, PT Telkom seharusnya mengenakan denda atas keterlambatan penyelesaian pekerjaan kepada anak perusahaan.
Telkom melalui surat keputusan Direhtur Enterprise and Business Service PT Telkom nomor SKO1160/PS.170/COP-G00000000/2018 membentuk satuan tugas (satgas) pengawalan project digitalisasi SPBU Pertamina.
Tugas dan tanggung jawab satgas dikelompokkan dalam beberapa peran yaitu Advisor, Steering Commitice, Project Leader, Project Secretary, Commercial Group, Project Matter Expert, Project Adminstration, Procurement, Project Management, dan Regronal Coordinator.
Pemeriksaan atas pelaksanaan kontrak pekerjaan digitalisass SPBU yang dilaksanakan olch anak perusahaan sebagai mitra PT Telkom, diketahui hal-hal sebagai berikut.
a. Duplikasi penggunaan perangkat network SPBU antara pengadaan dari PT Sigma Cipta Caraka dan dari PT Telkom Satclit Indonesia memboroskan keuangan perusahaan sebesae RpS0,490.000.000 00
b. Kemahalan Harga Pekerjaan sebesar Rp2.065.950.000,00 Atas Selisih Harga Satuan dan Management Fee
c. Kemahalan harga pelaksanaan pekerjaan pengembangan aplikasi data center sebesar Rp2.567.280.1838,00
d. Terdapat Pengadaan Perangkat yang Berpotensi Tidak Termanfaatkan
Berdasarkan penelusuran atas jenis-jenis perangkat yang diadakan melalui beberapa kontrak pada tabel diatas, dapat dikctahui bahwa perangkat yang diadakan untuk dipasang di lokasi SPBU adalah sebagai berikut:
Pengadaan perangkat-perangkat tersebut dilakukan dalam beberapa kontrak pekerjaan yang berbeda dan dengan mitra (anak perusahaan) yang berbeda pula, yaitu oleh Sigma dan PT Pins Indonesia (PINS).
PT Telkom melakukan pengadaan secara bertahap hingga kebutuhan perangkat pada 5.518 SPBU terpenuhi seluruhnya. Sebagian perangkat pada Tabel 3.10.8 di atas sudah diadakan cukup untuk 5.518 SPBU, namun beberapa perangkat lainnya belum tersedia untuk seluruh 5.518 SPBU.
Dalam dokumen Term of Reference (TOR) yang menjadi lampiran perjanjian pengadaan dan pemasangan data center project digitalisasi SPBU Pertamina antara PT Telkom dan Sigma, Nomor K.TEL.11694 HK.810 OPS-10000000 2018 tanggal 31 Desember 2018 dinyatakan bahwa terdapat 172 SPBU COCO dan SPBU dengan POS Benzene. Dalam TOR disebutkan bahwa untuk tipe SPBU yang demikian, detail pekerjaan yang dibutuhkan adalah sebagai berikut.
1. Install link
2. Instal agent
3. Pengadaan EDC
4. Instalasi EDC
5. Instalasi LAN,
6. Development aplikasi EDC ke POS, dan
7. LAN dari island ke office untuk EDC.
Berdasarkan hasil kunjungan uji petik yang dilakukan pemeriksa pada beberapa SPBU di Jakarta dan Bandung, diketahui SPBU tipe COCO sudah memiliki perangkat dan sistem pemantauan yang sudah berjalan. Kondisi existing ini juga ditemukan pada SPBU tipe DODO, walaupun dengan jumlah yang lebth sedikit dibandingkan SPBU COCO.
Untuk SPBU yang sudah memiltki sistem terpasang, Telkom tidak perlu menyediakan perangkat SPBU secara lengkap. Perangkat yang perlu ditambahkan hanyalah SD WAN Cisco vEdge Router 100m dan EDC, serta melakukan upgrade aplikasi P-Insyst (aphkasi POS produk Pertamina yang sudah disesuaikan untuk kebutuhan digitalisasi SPBU oleh PT Telkom).
Dengan demikian, selain dua perangkat keras dan upgrade aplikasi tersebut. PT Telkom tidak perlu menyediakan 5.518 unit keras dan upgrade aplikasi tersebut, PT Telkom tidak perlu menyediakan 5.518 unit perangkat SPBU lain.
Akan tetapi, pemeriksaan atas jumlah perangkat yang diadakan pada kontrak dengan Sigma dan PINS menunjukkan bahwa beberapa perangkat dan jasa sudah diadakan sebanyak 5.518 unit sebagaimana disajikan ada tabel berikut:
Alas hal tersebdut, terdapat potensi perangKat dan jasa yang sudah diadakan belum dapat dimanfaatkan, minimal sebanyak 172 unit untuk SPBU COCO dan SPBU dengan PoS Benzene.
Kondisi tersebut mengakibatkan Pemborosan dari adanya duplikasi penggunaan perangkat network SPBU yang antara PT Sigma Cipta Caraka dan PT Telkom Satelit Indonesia sebesar Rp50.490.000.000,00.
Kemahalan harga pekerjaan sebesar Rp4.633.230.188,00 (Rp2.065.950.000,00 + Rp2.567.280.188,00); Potensi perangkat dan jasa yang tidak dimanfaatkan oleh SPBU siap integrasi minimal sebanyak 172 unit.
Menurut BPK, kondisi tersebut disebabkan Satgas pengawalan digitalisasi SPBU kurang cermat dalam merencanakan kebutuhan perangkat dan jasa untuk implementasi sistem pada 5.518 SPBU yang sudah disepakati; Satgas pengawalan digitalisasi kurang efektif dalam mengumpulkan data dan informasi kebutuhan digitalisasi SPBU untuk membuat rencana kebutuhan barang dan jasa yang memadai; Satgas kurang cermat dalam menyelengyarakan pengadaan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan implementasi digitalisasi SPBU.
Atas hal tersebut Direksi Telkom menyatakan tidak sependapat dengan pernyataan tersebut. Bahwa dalam kerja sama Pekerjaan Digitalisasi SPBU terdapat Term of Reference (TOR) yang mempersyaratkan spesifikasi perangkat sebagai berikut:
1) Spesifikasi Switch SPBU: feature Minimal SDN /mplemented dan openflow, Full Centralized Monitoring & Control by Core Switch
2) Spesifikasi Link untuk Wide Area Network (WAN) di SPBU yang dapat digunakan adalah fiber optic, 3G/4G atau VSAT
3) Service Level Agreeement (SLA) perangkat WAN: 97,5%
4) Spesifikasi CORE Switch: Full SDN sampai ke perangkat Switch SPBU
Dalam memenuhi persyaratan perangkat switch dengan fitur SDN, Telkom mengadakan SD WAN Cisco vEdge Router 100m yang merupakan jenis router terbaik yang ada pada saat itu.
Sementara dalam menyediakan link untuk WAN, Telkom memutuskan penggunaan teknologi 3G4G karena pertimbangan kecepatan pengimplementasian.
Namun demikian, umumnya jaringan yang digelar oleh Telkom adalah jaringan kabel (fiber optic) sehingga untuk mendapatkan masukan dalam perencanaan implementast WAN berbasis 3G 4G, Telkom berdiskusi dengan Telkomsel sebagai anak perusahaan yang menyediakan layanan 3G 4G dan merupakan penyedia terbaik tingkat nasional.
Hasil dari diskusi tersebut diketahui bahwa modem Robustel adalah perangkat yang umum dipasang di lokasi pelanggan corporate Telkomsel. Dalam upaya memenuhi SLA WAN 97.5°%.
Telkom menggunakan modem Robustel karena pengalaman yang ada di Telkompsel tersebut.
Pengadaan modem Robustel tidak dilakukan sejumlah SPBU yang masuk ruang lingkup kontrak. Hal ini mempertimbangkan kemunghinan SD WAN Cisco vEdge Router 100m bisa dioptimalkan dengan tingkat efektivitas yang sama seperti modem Robustel dalam men-deliver link WAN berbasis 3G 4G.
Setelah beberapa digitalisasi SPBU terimplementasi, diketahui penggunaan SD WAN Cisco vEdge Router 100m secara umum cukup optimal ketika difungsikan sebagai modem.
Meskipun demikian terdapat beberapa lokasi SPBU yang memiliki kondisi sinyal 3G/4G lemah dan SD WAN Cisco vEdge Router 100m kurang maksimal menangkap sinyal tersebut, sehingga modem Robustel tetap dipasang di lokasi itu.
Berdasarkan kondisi ini, Telkom memutuskan ke depannya cukup menggunakan SD WAN Cisco vEdge Router 100m dalam implementasi link WAN berbasis 3G 4G pada lokasi perangkat SPBU yang mempunyai signal memadai.
Untuk mengoptimalkan fungsi modem Robustel yang telah terpasang di beberapa lokasi SPBU yang sudah memiliki sinyal 3G 4G batk, Telkom akan me-review dan merencanakan relokasi modem tersebut untuk lokasi SPBU yang membutuhkan penguat sinyal (misal SPBU berada di kawasan sinyal lemah, lokasi perangkat network SPBU berada di basement/ruangan isolasi, dsb.) atau menjadikannya sebagai backup maupun solusi sementara dalam penanganan gangguan akses link sambil menunggu proses perbaikan atau penggantian perangkat.
Upaya efisiensi biaya Telkom yang lain yaitu merencanakan amandemen kontrak Telkom dengan PT Telkom Satelit Indonesia untuk mengeluarkan lingkup pekerjaan jasa maintenance connectivity yang ada sebesar Rp22.500.000,(belum ada PO) karena lebih ekonomis ketika maintenance tersebut digabung dalam ruang lingkup kontrak Manage Operation. Pengurangan pekerjaan yang dilakukan merupakan SS#2 pekerjaan ini.
Nilai selisih sebesar Rp2.065.950.000 tersebut sudah dilakukan penyesuaian harga dengan amandemen kontrak. Untuk item pekerjaan Enabler + FDM Instalation sudah dilakukan amandemen pada pada amandemen pertama nomor KTEL.041 tanggal 14 Juni 2019.
Sedangkan untuk industrial PC POS dan Project Management & Integration sedang dalam proses amandemen.
Kemudian, PT Telkom sepakat dan selisih sebesar Rp2.567.280.188 akan dikembalikan oleh Sigma ke Telkom.
PT Telkom kurang sependapat dengan pernyataan tersebut, karena Telkom berkomitmen untuk melakukan digitalisasi pada 5.518 SPBU sesuai dengan PokokPokok Perjanjian Pengadaan Digitalisasi SPBU Pertamina No. SP-12 C00000:2019SO (Perjanjian), sehingga Telkom berkewajiban untuk menyediakan barang untuk §.518 SPBU.
Pada implementasinya, terdapat 172 SPBU COCO dan Benzene yang telah menggunakan dan ingin tetap menggunakan perangkat existing, schingga mengakibatkan adanya perangkat yang sudah terbeli oleh Telkom menjadi belum termanfaatkan/ terpasang.
Untuk barang yang disediakan namun belum terpasang, sebanyak 3% dari 5.518 akan dijadikan sebagai suku cadang (SUCA) dan sisanya akan dimintakan kepada Pertamina untuk dipasang di lokasi SPBU baru, sehingga memenuhi lingkup pekerjaan sesuat dengan perjanjian.
Namun demikian, BPK berpendapat, Informasi mengenai fitur perangkat dapat diketahui dengan mudah, sehingga penggunaan perangkat network SPBU yang duplikasi dapat dihindari; Apabila survei dilakukan secara tepat, maka pengadaan peralatan akan sesuai dengan kebutuhan di lapangan.
Pada pelaksanaannya masih terdapat perangkat yang belum dimanfaatkan dan berpotensi tidak dapat dimanfaatkan dalam pelaksanaan proyek digitalisasi 5.518 SPBU ini.
Maka dari itu, BPK merekomendasikan Direksi Telkom agar melakukan upaya untuk meminimalisir terjadinya pemborosan dari adanya duplikasi penggunaan perangkat network SPBU antara PT Sigma Cipta Caraka dan PT Telkom Satelit Indonesia sebesar Rp50.490.000.000,00;
Menarik kemahalan harga pekerjaan sebesar Rp4.633.230.188,00 (Rp2.065.950.000,00 + Rp2.567.280.188,00) dan menyetorkan ke kas PT Telkom.
Dan melakukan upaya untuk meminimasir terjadinya potensi perangkat dan jasa yang tidak dimanfaatkan oleh SPBU siap integrasi minimal sebanyak 172 unit.
Temuan BPK 2020-2022
Pada temuan ke 3, BPK menyatakan bahwa sinergi telkom dengan BUMN lain dan subsidiary tidak dilakukan secara hati-hati. Salah satunya adalah soal investasi dan pelaksanaan pekerjaan digitalisasi SPBU tidak sesuai ketentuan dan berpotensi membebani keuangan PT Telkom sebesar Rp181.332.921.337,75
BPK menjelasakn bahwa PT Telkom dan PT Pertamina (Persero) (Pertamina) menyepakati perjanjian pengadaan dan manage service Digitalisasi Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) melalui Kontrak Nomor SP-12/C00000 2019-SO tangyal 18 April 2019.
Pekerjaan tersebut berupa pembuatan sistem monitoring disteibusi dan transaksi penjualan Bahan Bakar Minyak (BBM) pada 5.518 SPBU Pertamina secara near real-time sesuai SLA yang disepakati.
Nilai maksimal kontrak adalah sebesar Rp3.626.658.426.755,00 belum termasuk PPN 10% atau jumlah maksimal volume BBM sebanyak 237.81 3.668.939,00 liter yang ditunjukkan dalam tabel berikut.
Pertamina melakukan pembayaran atas manage service Digitalisasi SPBU kepada PT Telkom secara bulanan dengan metode throughput fee/liter berdasarkan total volume penjualan BBM pada SPBU yang masuk ke data center dengan tarif sebesar Rp15,25 per liter.
Kontrak berlaku sejak pelaksanaan kick off meeting tanggal 4 Oktober 2018 sampai dengan tanggal 31 Desember 2023 atau sampai dengan nilai kontrak tercapai (mana yang lebih dulu tercapai) dengan ruang lingkup pekerjaan yaitu penyediaan data center dengan metode cloud service, penyediaan sistem dan infrastruktur pendukung pada 5.518 SPBU termasuk pembuatan izin kerja dan sosialisasi ke SPBU, dan penyediaan managed service sesuai dengan SLA.
Adapun jenis SPBU yang masuk dalam lingkup kerja sama Digitalisasi dengan total sejumlah 5.518 SPBU terdiri dari: SPBU CODO: Corporate Owned Dealer Operated, yaitu SPBU milik Pertamina dan dioperasikan oleh swasta (208 SPBU): SPBU DODO: Dealer Owned Dealer Operated, SPBU milik swasta dan dioperasikan swasta (5.071 SPBU); SPBU COCO: Corporate Owned Corporate Operated, yaitu SPBU milik Pertamina dan dioperasikan oleh Pertamina (178 SPBU) dan 61 SPBU yang jenisnya tidak teridentifikasi.
BPK menjelaskan bahwa pekerjaan pengadaan dan pemasangan sistem, infrastruktur pendukung, dan data center dilaksanakan dengan nilai kontrak sebesar Rp2.838.092.914.775,00 dan jangka waktu pekerjaan dari tanggal 4 Oktober 2018 (tanggal Aick off meeting) sampai dengan tanggal 31 Desember 2019.
Kemudian, PT Telkom menunjuk beberapa mitra untuk melaksanakan pekerjaan implementasi perangkat dan sistem digitalisasi SPBU dan pekerjaan managed service (periode pelaksanaan 5 tahun sejak tanggal 1 Januari 2019 sampai dengan 31 Desember 2023).
Hasil pengujian terhadap perencanaan pekerjaan menunjukkan bahwa analisis kelayakan bisnis dan penyusunan klausul perjanjian berpotensi merugikan PT Telkom dengan uraian penjelasan sebagai berikut:
1) Klausul kontrak berpotensi merugikan perusahaan
a) Ketentuan jangka waktu manage service dimulai sejak sistem siap pakai di SPBU yang dinyatakan dalam BAST dan BALP
Kontrak menyatakan bahwa penagihan awal biaya manage service harus dilampiri dengan dokumen BAST dan BALP yang distempel dan ditandatangani di atas meterai, invoice, dokumen User Acceptance Test (UAT), dan Laporan Penerimaan Data SPBU di data center.
Hasil analisis dokumen menunjukkan bahwa terdapat selisih waktu antara pelaksanaan UAT dengan penandatanganan BAST dengan rentang waktu dari 0 han sampai dengan 539.
Laporan Hasil Pemeriksaan BPK atas_ pengelolaan dan pertanggungjawaban Keuangan tahun buku 2017 sampai dengan 2019 (Semester 1) pada PT Telkom Nomor 34/AUDITAMA VII PDTT 07 2021 tanggal 23 Juli 2021 telah mengungkapkan adanya jeda antara terpantaunya penjualan SPBU pada dashboard, pelaksanaan UAT dan pelaksanaan penandatanganan BAST yang menjadi syarat penagihan hasil pekerjaan Digitalisasi SPBU.
Jeda waktu tersebut mempengaruhi perhitungan throughput fee/liter yang dapat ditagihkan oleh PT Telkom, sehingga untuk periode 1 Januari 2019 sampai dengan 30 November 2019 terdapat throughput Jee/liter yang tidak dapat ditagihkan sebesar Rp193.257.429.614,09.
Lebih lanjut, penelusuran data transaksi BBM pada dashboard menunjukkan masih tetap terjadi jeda waktu antara data transaksi penjualan pada SPBU berstatus ready-UAT yang sudah masuk ke sistem data center dengan pelaksanaan penandatanganan BAST.
Untuk periode 1 Januari 2019 sampai dengan 4 April 2022 (tanggal BAST terakhir), volume penjualan BBM pada 5.518 SPBU adalah sebesar 82.098.386.400 liter, sedangkan data rekonsiliasi bulanan menyebutkan volume penjualan yang dapat ditagihkan pada periode tersebut hanya sebesar 59.773.306.650 liter.
Sehingga, PT Telkom tidak dapat menagihkan biaya manage service untuk transaksi penjualan BBM sebesar 22.325.079.750 liter (82.098.386.400 liter - 59.773.306.650 liter) dan kehilangan potensi pendapatan sebesar Rp340.457.466.187.50 (222.325.079.750 liter x Rp 15,25).
b) Pembuatan izin kerja dan sosialisasi ke SPBU dilaksanakan PT Telkom
Perjanjian menyatakan bahwa PT Telkom setuju untuk melaksanakan pembuatan izin kerja dan sosialisasi ke SPBU. Namun, kendala perizinan mengakibatkan keterlambatan pelaksanaan pekerjaan implementasi perangkat dan sistem Digitalisasi SPBU sehingga PT Telkom tidak dapat segera memperoleh pendapatan dari layanan manage service.
Kendala tersebut terjadi terutama pada SPBU DODO yang tidak bersedia membenikan izin kerja kepada PT Telkom. Pekerjaan implementasi perangkat dan sistem Digitalisasi SPBU sesuai kontrak disepakati selesai seluruhnya pada tanggal 31 Desember 2019, namun realisasi penyelesaiannya untuk 5.518 SPBU adalah pada tanggal 4 April 2022.
Hal tersebut mengakibatkan proyeksi perolehan pendapatan tidak mencapai nilai sesuai kontrak sampai kontrak berakhir.
2. Analisis kelayakan bisnis tidak mempertimbangkan aspek teknis pekerjaan
PT Telkom melaksanakan uji coba perangkat dan sistem hanya pada SPBU COCO dan tidak terdapat kendala teknis maupun penzinan karena telah terdapat perangkat digitalisasi existing (milik Pertamina).
PT Telkom hanya perlu menambah perangkat router dan Electronic Data Capture (EDC). Namun, uji coba tersebut tidak menggambarkan kondisi dan environment atas
keseluruhan 5.518 SPBU dalam lingkup kontrak, terutama pada 5.071 SPBU DODO atau 91.90% dari total SPBU dikerjasamakan. PT Telkom tidak melakukan identifikasi dan mitigasi potensi permasalahan pada SPBU DODO, yang dapat menyebabkan pelaksanaan pekerjaan terlambat sehingga penerimaan pendapatan PT Telkom berisiko tidak mencapai nilai kontrak.
Hal tersebut dapat dilihat dari dokumen notulen rekonsiliasi pekerjaan antara PT Telkom dan Pertamina tanggal 13 Januan 2021 yang menyebutkan banyaknya permasalahan teknis menghambat kelancaran pelaksanaan kontrak, yang seharusnya bersifat controllable dan menjadi pertimbangan bagi PT Telkom dalam merencanakan aspek teknis pekerjaan pada penyusunan analisis kelayakan bisnis, yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
a) Kendala material Digitalisasi SPBU yang belum dipenuhi oleh PT Telkom;
b) Terdapat 41 SPBU yang belum terpenuhi perangkatnya antara lain berupa ATG console dan 16 SPBU yang belum terpenuhi matenal router;
c) Kendala proses integrasi perangkat Digitalisas: SPBU, di antaranya:
(1) Dispenser pada SPBU belum siap duntegrasikan karena terdapat kerusakan komunikasi port dan dispenser obsolete:
(2) Type dan protocol dispenser beragam serta communicanon board dispenser tidak standar, sehingga PT Telkom perlu memuinta asistensi kepada principle dispenser:
d) Kendala perizinan dani SPBU, terutama pada SPBU DODO:
e) SPBU tutup sementara karena sedang renovasi dan SPBU tutup permanen; f) Kurangnya daya listnk pada sebagian kecil SPBU;
g) Kendala sinyal koneksi dengan Telkomsel dan Telkomsat: dan
h) Perubahan lokasi SPBU sebagai pengganti SPBU yang dt drop.
PT Telkom mengakui bahwa belum dipertimbangkan kendala teknis SPBU dan pemerolehan perizinan pada SPBU DODO dalam menyepakati kerja sama sesuai kontrak pengadaan digitalisasi SPBU.
Dampak dari kelemahan dalam penyusunan klausul perjanjian dan analisis kelayakan bisnis di atas adalah terjadinya keterlambatan penyelesaian pekeryaan implementasi perangkat dan sistem, tidak tercatatnya transaksi SPBU ke data center, dan tidak diterimanya pendapatan ke PT Telkom sesuai dengan kontrak dengan uraian sebagai berikut:
1) Penyelesaian pekerjaan implementasi perangkat dan sistem terlambat
Dokumen justifikasi kebutuhan investasi pekerjaan pengadaan menyebutkan pelaksanaan pekerjaan implementasi perangkat dan sistem digitalisasi SPBU akan dilakukan secara bertahap dengan rincian sebagai berikut:
a) Tahun 2018: pelaksanaan inisialisasi Data Center & Cloud Services dan implementasi sistem di 1.000 SPBU; b) Tahun 2019: implementasi sistem di 4.518 SPBU. Namun, PT Telkom tidak dapat melaksanakan pekerjaan tersebut sesuai jangka waktu yang telah disepakati dalam kontrak. Melalui surat Nomor Tel.53/YN000/COP-G0000000/2019 tanggal 21 November 2019, PT Telkom mengajukan perpanjangan jangka waktu pelaksanaan pekerjaan implementasi sistem dan perangkat Digitalisasi SPBU menjadi 30 Juni 2020.
Posisi per 21 November 2019, jumlah SPBU yang telah selesai diintegrasi adalah seyumlah 1.415 SPBU atau 25,64% dari target 5.518 SPBU, selesai UAT sejumlah 442 SPBU, dan selesai BAST sejumlah 299 SPBU.
Saat ini, pihak PT Telkom dan Pertamina sedang dalam proses pembahasan adendum kontrak, yang di antaranya terkait dengan pengenaan denda.
Apabila dalam adendum tersebut tidak ada kesepakatan terkait pengenaan denda keterlambatan maka PT Telkom berpotensi dikenai denda maksimum sebesar 5% dari nilai kontrak yaitu sebesar Rp181.332.921.337,75.
2) Terdapat SPBU yang data transaksinya tidak masuk ke data center sehingga tidak memberikan pemasukan pendapatan ke PT Telkom.
Berdasarkan data Dashboard rekonsiliasi bulanan manage service Digitalisasi SPBU periode 1 Juli 2019 sampai dengan 31 Agustus 2022, diketahui bahwa setiap bulannya terdapat antara 2 sampai dengan 369 SPBU yang datanya tidak masuk ke sistem data center.
Secara akumulatif terdapat 7.764 SPBU selama periode 1 Januari 2019 sampai dengan 31 Agustus 2022 yang datanya tidak masuk ke sistem data center. Sehingga PT Telkom tidak memperoleh pemasukan pendapatan dari 7.764 SPBU sebesar Rp8.562.362,22 per bulan SPBU atau senilai Rp66.478.180.276,08 (Rp8.562.362,22 x 7.764 SPBU).
Data tersebut tidak masuk ke data center disebabkan SPBU tutup, perangkat rusak, dan suku cadang habis serta kendala integrasi dispenser.
3) Proyek tidak memberikan nilai pendapatan ke PT Telkom sesuai kontrak
Pekerjaan implementasi sistem telah selesai dilaksanakan dengan nilai pekerjaan sebesar Rp1,572 miliar dengan realisasi biaya Operating Manage Service periode 2021 sampai dengan cut off 5 Desember 2022 sebesar Rp872 miliar.
Sehingga, total biaya pekerjaan Digitalisasi SPBU (Capital Expenditure dan Manage Service) per 31 Desember 2022 adalah sebesar Rp2.444 miliar (Rp1.572 miliar + Rp872 miliar). Sedangkan pendapatan dan manage Service per 31 Desember 2022 adalah sebesar Rp1.400 mihar.
Sehingga, posisi per 31 Desember 2022, pendapatan PT Telkom masih minus sebesar Rp1.044 miliar (Rp2.444 miliar - Rp1.400 miliar). Sehingga. proyek ini tidak dapat mencapai Break Even Point (BEP) sesuai proyeksi payback periode selama 3,97 tahun.
PT Telkom telah mengajukan pembahasan adendum pekerjaan Digitalisasi SPBU kepada Pertamina melalui Surat EVP Divisi Enterprise Services kepada SVP Retail Marketing & Sales dan SVP Enterprise 1T PT Pertamina Nomor Tel. 1980/YN.000/DES-00000000 2020 tanggal 4 September 2020.
Namun, atas pengajuan pembahasan adendum pekerjyaan Digitalisasi SPBU tersebut, Pertamina belum memberikan jawaban. Sebagai perkembangan, saat ini, Pertamina telah meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk menjadi mediator dalam proses adendum kontrak kena sama Pertamina Patra Niaga dengan PT Telkom.
Selain permasalahan di atas, hasil pengujian juga menunjukkan bahwa terdapat kelemahan dalam pelaksanaan pekernjaan manage service Digitalisast SPBU dengan uraian sebagai berikut.
1) Pelaksanaan pekerjaan manage service tidak mencapai SLA sehingga PT Telkom dikenakan penalti sebesar Rp7.275.884.779,09
PT Telkom menerima penalti atas tidak terpenuhinva SLA Manage Service periode bulan Juli 2019 sampai dengan bulan Agustus 2022 dengan nilai sebesar Rp7.275.884.779,09.
SLA Manage Service tidak terpenuhi karena PT Telkom tidak mampu memenuhi Mean Time To (MTT) repair, dimana tingkat kerusakan perangkat terutama EDC sangat tinggi (tidak sesuai dengan prediksi di awal) dan melampaui tingkat kecepatan perbaikannya.
PT Pertamina Patra Niaga menyatakan bahwa terhitung per tanggal 11 Agustus 2022 tercatat perangkat EDC masih kurang sebanyak 10.774 unit dari total 22.072 unit sesuai kontrak.
PT Telkom telah menyediakan back up EDC sebanyak 3°%o dan populasi, namun tingkat kerusakan EDC cukup tinggi yang melampaui tingkat kecepatan perbaikannya. Pemenuhan SLA manage service tidak sesuai kontrak di level mitra dan level PT Telkom.
2) Pemenuhan SLA manage service tidak sesuai kontrak di level mitra dan level PT Telkom
Pekerjaan Manage Service oleh Telkomsigma dilaksanakan berdasarkan Perjanjian Induk Nomor K.TEL.5770/HK810/OPS1000000 2021 tanggal 30 Desember 2020, Adendum K.TEL.040/HK.820 OPS-10000000 2021 tanggal 9 Maret 2021 tentang Pengadaan penyediaan kebutuhan Manage Operation Data Center, Dashboard NMS dan tenaga pendukung untuk layanan Digitalisasi SPBU Pertamina.
Perjanjian yang diturunkan ke dalam perjanjian tersebut berupa MTT respon, MTT resolution, dan MTT repair untuk perangkat data center, dashboard dan NMS.
Namun, hasil pekeryaan Manage Service pada kontrak antara PT Telkom dengan Telkomsigma (infrastruktur Data Center, war room, dan pemenuhan jumlah personel serta kehadiran personel) tidak sesuai kontrak antara PT Telkom dengan Pertamina (MTT respon, MTT resolution, and MTT repair untuk perangkat duta center, dashboard dan NMS).
Selain itu, pekerjaan Manage Service dikerjakan oleh Telkom Akses berdasarkan perjanjian Nomor K.TEL.005/HK.810 OPS-10000000 2021 tanggal 5 Maret 2021, tentang Pengadaan pekerjaan manage operation layanan Digitalisasi SPBU Pertamina.
Namun, hasil pekerjaan Manage Service pada kontrak antara PT Telkom dengan Telkom Akses (jumlah personil, kehadiran personil dan ketersediaan alat kerja dan sarana kerja) tidak sesuai kontrak antara PT Telkom dengan Pertamina (MTT respon, MTT resolution, dan MTT repair untuk perangkat ATG, FCC + POS, WAN dan EDC).
Pemenuhan SLA atas pelaksanaan pekerjaan manage service di level mitra merupakan hal yang kmusial supaya SLA di level PT Telkom dengan Pertamina juga dapat terpenuhi.
PT Telkom harus menanggung pembayaran denda atau penalti atas tidak terpenuhinya SLA sesuai kontrak PT Telkom dengan Pertamina. Namun PT Telkom tidak memperhitungkan denda atau penalti kepada mitra atas tidak dipenuhinya SLA tersebut.
Hal-hal tersebut mengakibatkan PT Telkom kehilangan potensi pendapatan sebesar Rp340.457.466.187,50 dani jeda waktu antara data transaksi penjualan SPBU berstatus ready-UAT pada Data Center dengan pelaksanaan penandatanganan BAST; PT Telkom kehilangan potensi pendapatan sebesar Rp66.478.180.247,24 akibat data SPBU tidak masuk ke Data Center;
PT Telkom berpotensi dikenai penalti berupa denda keterlambatan sebesar Rp181.332.921.337,75; dan PT Telkom mengalami kerugian sebesar Rp7.275.884.779.09 akibat tidak terpenuhinya SLA Manage Service pada kontrak digitalisasi SPBU;
Permasalahan-permasalahan tersebut di atas terjadi karena PT Telkom telah memulai pelaksanaan kegiatan investasi hanya berdasarkan PO dengan kemudian melibatkan subsidiaries untuk melakukan perikatan turunan dengan principal/supplier pada saat kontrak utama dengan owner atau bouwheer belum ditandatangani.
Perencanaan investasi pekerjaan digitalisasi SPBU tidak dilaksanakan secara hatihati dan profesional oleh DES PT Telkom dengan hanya bergantung kepada justifikasi analisis kelayakan bisnis namun meminggirkan evaluasi teknis kelayakan proyek.
Atas hal tersebut, PT Telkom sependapat dengan permasalahan yang diungkap atas hasil pemeriksaan BPK dan telah menyusun langkah-langkah perbaikan yang efektif untuk mencegah risiko kerugian perusahaan yang lebih besar.
Sementara BPK merekomendasikan kepada Direksi PT Telkom agar Melakukan koordinasi dan negosiasi dengan PT Pertamina agar menyepakati solusi bersama untuk menghindari kerugian perusahaan yang lebih besar dengan mempertimbangkan hak dan kewajiban para pihak. (wan)
Topik:
EDC Telkom EDC Telkom PT PINS Digitalisasi SPBU Temuan BPK BPK RI PT Telkom Telkom IndonesiaBerita Sebelumnya
Hindari Kerugian Lebih Besar, Gubernur Pramono Didesak Batalkan Kontrak Waduk Giri Kencana Cilangkap
Berita Selanjutnya
Bantuan Kuota Internet 'Dicuri' saat COVID-19
Berita Terkait

Gandeng Pandawara, Telkom Gelar River Clean Up di Sungai Cioray Bandung
25 September 2025 17:19 WIB

APH Didesak Usut Temuan BPK soal Belanja Dinas di Sekwan Purwakarta Rp 468 Juta Tak Didukung SPJ
17 September 2025 23:57 WIB

Pemulihan SKKL Sorong - Merauke: Saat Ini Kapal Perbaikan Telah Memasuki Perairan Wakatobi Menuju Titik Gangguan
23 Agustus 2025 02:38 WIB