WFH Tak Efektif Atasi Polusi Udara, Ombusdman Dorong Pembatasan Kuota BBM Bersubsidi Pertalite dan Solar

Rizky Amin
Rizky Amin
Diperbarui 26 Agustus 2023 19:46 WIB
Jakarta, MI - Penerapan sistem kerja dari rumah (Work from Home/ WFH) oleh pemerintah pusat dan daerah di DKI Jakarta untuk mengatasi polusi udara dinilai tidak efektif jika tidak berbarengan dengan langkah penanganan secara sistemis. "Kerja dari rumah ini satu solusi singkat terhadap polusi udara di DKI Jakarta, tapi dinilai tidak efektif. Perlu dilakukan juga penanganan di sektor hulu dan hilir yang memberikan efek panjang terhadap penanganan polusi,” kata Anggota Ombudsman RI, Hery Susanto di kantor Ombudsman RI, Jumat (25/8) kemarin. Hery merujuk data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), yang menyatakan sektor transportasi sektor transportasi berkontribusi 44 persen dari penggunaan bahan bakar di Jakarta, disusul industri energi (31 persen), manufaktur industri (10 persen), sektor perumahan (14 persen), dan komersial (1 persen). Sementara dari sisi penghasil emisi karbon monoksida (CO) terbesar, yakni sektor transportasi (96,36 persen) atau 28.317 ton per tahun, pembangkit listrik (1,76 persen) atau 5.252 ton per tahun dan industri (1,25 persen) mencapai 3.738 ton per tahun. Lantas Ombudsman RI memberikan masukan kepada pemerintah. Dengan demikian, ia menegaskan perlunya kebijakan pembatasan kuota BBM bersubsidi jenis pertalite dan solar. "Karena jenis ini menyumbang emisi karbon monoksida yang cukup tinggi. Sehingga masyarakat, terutama aparatur sipil negara, menjadi teladan untuk menggunakan BBM nonsubsidi maupun kendaraan listrik," ungkapnya. Pemerintah perlu menuntaskan regulasi teknis dan anggaran untuk implementasi kendaraan listrik, utamanya semua level instansi pemerintah. Kemudian di ranah publik, perlu ada kebijakan yang mendorong terciptanya ekosistem kendaraan listrik dengan memberikan insentif bagi pengguna kendaraan listrik, selain adanya pembebasan sistem ganjil genap. Ia menjelaskan perlu literasi kepada masyarakat terkait penggunaan kendaraan listrik agar masif. "Memiliki kendaraan listrik tidak harus membeli, pemerintah perlu menyusun regulasi konversi mesin dari BBM ke mesin listrik termasuk kemudahan pengurusan ganti mesin dalam STNK dan BPKB kendaraan,” jelas Hery. Selain itu, ia juga meminta pemerintah menambah jumlah transportasi massal yang menggunakan tenaga listrik. Sehingga tingkat polusi udara dapat diturunkan. Perihal Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara, Hery mengatakan pemerintah harus menguatkan pengawasan di lapangan. Misalnya, dengan mengawasi pelaksanaan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan penerapan teknologi ramah lingkungan.